ASIATODAY.ID, JAKARTA – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengeluarkan kebijakan terintegrasi untuk mengatasi polusi udara Jakarta, Kamis (1/8/2019). Kebijakan itu tertuang melalui Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 66 Tahun 2019.
Melalui kebijakan itu, Anies menginstruksikan agar seluruh stakeholder terlibat bersama dalam gerakan penghijauan ibukota, baik dilingkungan perumahan maupun pada sarana dan prasarana publik.
“Mengoptimalisasikan penghijauan pada sarana dan prasarana publik dengan mengadakan tanaman berdaya serap tinggi mulai tahun 2019, serta mendorong adopsi prinsip green building melalui penerapan insentif dan diinsentif,” demikian bunyi salah satu poin yang tertuang dalam Ingub 66 Tahun 2019, sebagaimana dikutip Sabtu (3/8/2019).
Instruksi Gubernur itu ditujukan kepada seluruh dinas yang ada di Provinsi DKI Jakarta untuk mengadakan tanaman berdaya serap polutan tinggi pada sarana dan prasarana publik.
Untuk Dinas Pendidikan, Dinas Pemuda dan Olahraga, Dinas Kesehatan diinstruksikan agar menyediakan tanaman yang menyerap polusi di seluruh gedung sekolah, fasilitas olahraga/kepemudaan dan fasilitas kesehatan milih Pemda.
Sementara Dinas Lingkungan Hidup diminta untuk merintis dan menyusun konsep dan mekanisme offsetiing atau pengimbangan emisi melalui penanaman pohon.
Selain itu, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu DKI diminta untuk mempercepat penerbitan revisi Peraturan Gubernur tentang bangunan hijau yang memuat ketentuan insentif dan diinsentif.
Tak hanya itu, Anies juga
akan melarang kendaraan umum berusia diatas 10 tahun untuk beroperasi di jalanan ibu kota. Anies mengatakan, tahun ini merupakan tahun terakhir untuk operasi angkutan yang berusia lebih dari 10 tahun.
“Mulai tahun ini kita akan tuntaskan, tidak ada lagi angkutan umum beroperasi di Jakarta yang berusia di atas 10 tahun dan tidak lulus uji emisi. Ini kita akan strict di tahun 2020,” tegasnya.
Sedangkan untuk kendaraan pribadi berusia lebih dari 10 tahun, Anies akan melarang beroperasi pada 2025.
Untuk menjalankan itu, Kepala Dinas Perhubungan diinstruksikan untuk mempercepat peremajaan 10.047 moda transportasi umum di Ibu Kota.
Anies juga menginstruksikan perluasan sistem ganjil genap terhadap kendaraan bermotor dan akan mulai berlaku pada September 2019. Uji coba ganjil genap untuk menekan polusi udara di Jakarta ini akan dilakukan pada pekan depan.
Menurut Anies, timnya saat ini sedang melakukan finalisasi soal wilayah yang akan menerapkan ganjil genap. Ia menyampaikan akan mengumumkannya pekan depan sebelum uji coba.
Kebijakan terintegrasi Gubernur Anies Baswedan disambut positif oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).
“Kami mengapresiasi kebijakan ini di tengah polusi udara yang melanda Ibu Kota selama beberapa pekan ini,” kata juru kampanye energi dan perkotaan Walhi, Dwi Sawung, dalam keterangan pers tertulis, Jumat (2/8/2019).
Dia menilai penanganan polusi Jakarta harus terintegrasi. Terobosan Anies patut dicontoh daerah lain, bahkan oleh pemerintah pusat.
“Kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah sekitar Jawa Barat dan Banten selayaknya melakukan hal serupa untuk melakukan upaya pengendalian pencemaran udara karena pencemaran udara tidak mengenal batas administratif. Upaya pengendaliannya pun harus lintas batas administratif,” ujar Sawung.
Walhi juga menyampaikan catatan terhadap kebijakan Anies. Pertama, penerapan perluasan kebijakan ganjil-genap untuk mengurangi polusi akibat kendaraan bermotor. Walhi memandang lokasi penerapan ganjil-genap perlu dipilih secara tepat.
“Salah satu contohnya adalah ganjil-genap yang diperluas. Perluasan ganjil-genap ini seharusnya berdasarkan tingkat polusi udara, bukan hanya pada ruas jalan yang mengalami kemacetan,” kata dia.
Walhi juga meminta agar Pemprov DKI memasukkan pengetatan Baku Mutu Udara Ambian (BMUA) dalam Ingub yang diterbitkan Anies itu. Masalah BMUA ini juga perlu diseriusi sebab, BMUA yang digunakan sudah berumur dua dekade dan udara Jakarta sudah berubah kondisi sejak 20 tahun lalu. Produk hukumnya adalah Keputusan Gubernur DKI Nomor 551 Tahun 2001 tentang Penetapan BMUA dan Baku Tingkat Kebisingan.
“Persoalan standar baku mutu udara yang telah berusia 20 tahun inilah yang menyebabkan perdebatan keras udara masih sehat atau tidak karena menurut standar BMUA 20 tahun lalu masih baik-baik saja, sementara menurut standar WHO, udara kita tidak baik-baik saja,” kata dia.
Kepgub Nomor 551 Tahun 2001 itu perlu direvisi dengan cara melibatkan publik. Dengan pelibatan publik, kebijakan tentang lingkungan tersebut diharapkan tak hanya mengakomodasi kepentingan pelaku bisnis, tapi juga kepentingan publik.
“Keterbukaan dan partisipasi publik ini agar kejadian tidak ilmiah ketika menetapkan baku mutu emisi PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) tidak terjadi dalam penentuan BMUA, emisi dioxin diukur 5 tahun sekali. BMUA terbaru harus benar-benar mempertimbangkan kesehatan dan keselamatan publik bukan untuk kepentingan menyelamatkan entitas bisnis tertentu,” tandasnya. (AT Network).
,’;\;\’\’
Discussion about this post