ASIATODAY.ID, JAKARTA – Transisisi energi fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT) yang saat ini sedang menjadi tren global, diperkirakan akan berdampak besar terhadap ekspor batu bara Indonesia.
Menurut Manager Program Transformasi Energi, IESR, Jannata Giwangkara, permintaan batu bara Indonesia dari luar negeri diperkirakan akan berkurang di masa depan.
“Proyeksi permintaan energi di Indonesia akan mengalami penurunan,” kata Jannata saat Peluncuran Laporan Seri Studi Peta Jalan Transisi Energi Indonesia, di Jakarta, Rabu (4/11/2020).
Dikatakan, sebagai negara eksportir batu bara, Indonesia terancam kehilangan pasar karena negara tujuan ekspor mulai beralih pada energi selain fosil.
“Ini dilakukan dalam rangka menjaga kelestarian lingkungan sehingga mereka mulai beralih pada sumber energi yang rendah karbon. Beberapa negara tujuan sudah mulai melakukan transisi ke EBT yang rendah karbon,” jelasnya.
Negara-negara yang mulai melakukan transisi energi diantaranya, Jepang, Vietnam, Filipina dan Korea. Penurunan permintaan ekspor batu bara ini juga akan berdampak bagi sejumlah wilayah di Indonesia yang hidup dari industri ini.
Setidaknya ada 5 kabupaten di 4 provinsi yang akan terganggu lantaran mengandalkan sektor batu bara sebagai pendapatan daerah.
Dari data tahun 2018, Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur, kontribusi batu bara terhadap PDB sebesar 32 persen dan sebanyak 65 persen dari peryambangan dan penggalian. Adapun nilai kontribusi yang diberikan sebesar Rp160,59 miliar.
Masih di Kalimantan Timur, Kutai Timur menyumbang Rp123,5 miliar dari kontribusi pertambangan, penggalian dan batu bara. Sementara di Paser, kontribusi pertambangan dan penggalian sebesar 75 persen dan batu bara 70 persen dengan nilai Rp48,2 miliar.
Di Balangan, Kalimantan Selatan, sektor batu bara, pertambangan dan penggalian berkontribusi ke daerah sebesar Rp 10,75 miliar. Sedangkan di Muara Enim, Sumatera Selatan sektor yang sama berkontribusi ke daerah sebesar Rp52,72 miliar.
Jannata menerangkan, penurunan permintaan batu bara ini akan mengancam setidaknya 100 ribu orang pekerja di sektor batu bara.
“Penurunan permintaan batu bara ini akan menimbulkan pengangguran lebih dari 100 ribu pekerja langsung di Indonesia,” jelas Jannata.
Dengan situasi ini, pemerintah daerah diharapkan mulai mencari alternatif lain sebagai sumber pendapatan daerah, misalnya mulai mencari sumber ekonomi dari sektor pariwisata dan sebagainya.
“Kalau ada penurunan, maka daerah harus bersiap. Ini juga yang kita lihat dan perlu antisipasi dan mitigasi untuk persiapan skenario transisi energi,” tandasnya.
Percepat Transisi Energi
Sementara itu, Pemerintah Indonesia konsisten mempercepat transisi energi fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan, pandemi global Covid-19 telah memberikan efek berganda pada aspek sosial dan ekonomi, termasuk subsektor ketenagalistrikan.
Menurut Arifin, situasi sulit di tengah pandemi Covid-19 ini harus dapat digunakan sebagai momentum yang baik untuk mendorong transisi energi untuk menjaga ketahanan energi.
“Situasi sulit yang kita hadapi saat ini dapat digunakan sebagai momentum untuk mendorong percepatan transisi energi melalui pengembangan energi terbarukan dan efisiensi energi dalam menjaga ketahanan energi, sekaligus mewujudkan kemandirian energi jangka panjang,” ujar Arifin di forum Seminar Digital Hari Listrik Nasional ke-75, Rabu (4/11/2020).
Pada kesempatan tersebut, Arifin juga menerangkan berbagai kebijakan yang dilakukan Pemerintah dalam upaya transisi energi.
“Kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam upaya transisi energi ke depan, yakni fleksibilitas pengembangan pembangkit EBT dalam RUPTL PLN 2019-2028, di mana pencapaian target bauran dan penambahan pembangkit EBT dapat dilakukan di luat rincian RUPTL tersebut sesuai dengan kebutuhan sistem kelistrikan lokal,” jelas Arifin.
Kebijakan selanjutnya adalah pengembangan smart grid. Menurut Arifin, sesuai Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2019-2038, pada tahun 2020, smart grid telah mulai diimplementasikan di beberapa daerah di Jawa-Bali dan secara bertahap diterapkan pada sistem di luar Jawa-Bali.
“Penggunaan smart grid memungkinkan sistem pengaturan tenaga listrik secara efisien, menyediakan keandalan pasokan tenaga listrik yang tinggi, pemanfaatan sumber EBT, dan memungkinkan partisipasi pelanggan dalam penyediaan tenaga listrik,” imbuhnya.
Arifin juga menjelaskan bahwa saat ini Pemerintah sedang melakukan revisi grid code, yang masih dalam proses pembahasan, serta diharapkan akan segera selesai. Kemudian pengembangan distributed generation, micro-grid, dan distributed storage, di mana PLN tengah melakukan studi pemasangan baterai di Bali dengan kapasitas 50 MW/200MWh.
“Jika studi ini layak, maka baterai menjadi alternatif untuk mitigasi kekurangan daya jangka pendek, dan dapat menjadi cadangan untuk generator EBT intermittent. Selain itu Tabung Listrik (Talis) juga terus dikembangkan untuk melistriki daerah-daerah perdesaan yang terpencil,” tambah Arifin.
Kebijakan lainnya adalah pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap, di mana konsumen PLN dapat memasang PLTS Atap dan menghasilkan listrik sendiri, bahkan mengekspor ke PLN. Hingga semester I 2020, PLTS Atap yang telah dipasang mencapai 11,5 MWp oleh 2.346 pelanggan.
Pemerintah pun saat ini tengah menyusun Peraturan Presiden tentang EBT yang mengatur pembelian listrik EBT oleh PLN. Selain itu, pemerintah juga mengimbau penggunaan energi bersih di kawasan wisata. Diharapkan kawasan wisata tidak lagi menggunakan pembangkit listrik berbahan bakar batubara atau BBM dan mengganti secara bertahap dengan pembangkit berbasis gas atau EBT.
Arifin juga mengajak Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) untuk menyusun peta jalan dan merumuskan kebijakan energi nasional.
“Dalam program transisi energi, Pemerintah mengajak peran serta MKI bersama stakeholder untuk mencari solusi terbaik dalam menyusun peta jalan dan merumuskan kebijakan energi nasional,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post