ASIATODAY.ID, JAKARTA – Komitmen Indonesia untuk menjadikan ekonomi hijau atau ekonomi berkelanjutan sebagai role model masih menghadapi banyak tantangan. Selain soal standarisasi, ekonomi hijau juga belum menjadi agenda kolektif elemen bangsa.
Menurut Analis Eksekutif Senior Departemen Internasional Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Ahmad Rifqi, salah satu tantangannya adalah mengubah pola pikir para pelaku industri untuk menjalankan ekonomi berkelanjutan yang ternyata tidak mudah, terutama awareness yang masih rendah dari para pelaku industri.
Disisi lain, belum ada standarisasi yang jelas untuk para pelaku industry dalam mengembangkan ekonomi berkelanjutan. Apalagi saat ini, masih sedikit peluang bisnis yang bisa diraih oleh para pemain di dalamnya.
“Respon yang muncul terhadap komitmen Indonesia cukup bagus, termasuk dari dunia internasional. Namun evaluasi masih harus dilakukan untuk penyempurnaan. Kami berharap sektor sektor jasa keuangan berupaya mengadaptasi keuangan berkelanjutan dengan tetap memperhatikan risiko dari perubahan iklim,” ujarnya, Selasa (23/3/2021).
Sementara itu, Presiden Direktur PT Bank DBS Indonesia Paulus Sutisna mengatakan bahwa Indonesia sejatinya merupakan pasar yang menarik bagi investor karena demografinya, sumber daya alam, dan populasi umur produktif yang tinggi.
Selain itu, Indonesia juga mampu mendapatkan keuntungan dari perbaikan ekonomi global, terutama kebutuhan akan sumber daya alam yang tinggi. Kendati demikian, Indonesia masih belum bisa keluar dari ekonomi berbasis sumber daya alam.
Untuk itu, Bank DBS terus aktif menggandeng para ahli di bidang perekonomian untuk berdiskusi akan peran pemerintah dan swasta dalam berkolaborasi untuk mendorong agenda keberlanjutan atau sustainability.
Kepala Studi Lingkungan, LPEM FEB UI Alin Halimatussadiah, memandang saat ini beberapa negara sudah mulai untuk menjalankan ekonomi hijau, seperti Korea Selatan dan Uni Soviet.
Indonesia kata dia, sudah harus mulai melakukan transisi ke ekonomi berkelanjutan. “Kita harus mengarah ke pathway yang lebih hijau dan berkelanjutan. Bukan hanya untuk mendapatkan manfaat lingkungan tapi juga ekonomi yang nantinya bisa menurunkan poverty di Indonesia,” ujarnya.
Menurutnya, langkah green recovery ini akan memberikan keuntungan yang berlipat ganda, baik untuk lingkungan maupun perekonomian. Untuk itu, setiap pelaku harus lebih jeli melihat sektor apa saja yang bisa dikembangkan termasuk juga dengan caranya yang tentu saja harus dilakukan dengan studi yang lebih komprehensif.
Alin menjelaskan, beberapa sektor yang bisa disasar untuk green recovery ini adalah renewable energy, pertanian, perhutanan, dan perikanan. Sektor tersebut banyak digeluti oleh masyarakat menengah ke bawah sehingga ketika sektor tersebut bisa lebih berkembang, maka nilai tambah yang diangkat akan lebih besar.
Sebelumnya, pemerintah juga telah menyusun green taxonomy sebagai acuan dan kriteria bagi pihak di jasa finansial untuk mendukung ekonomi hijau di Indonesia.
Kendati demikian, Chief Sustainability Officer Bank DBS Mikkel Larsen mengatakan bahwa dalam pelaksanaan green taxonomy, setiap bank harus memiliki sistem yang menunjang perekonomian hijau agar pelaksanaannya dapat diterapkan secara jangka panjang.
“Penerapan sustainable finance di perbankan harus memiliki rencana yang matang dari lembaga perbankan. Sebab, OJK sebagai regulator telah memiliki regulasi yang mendukung pelaksanaan green taxonomy, tetapi inisiatifnya harus dilaksanakan menurut kebijakan masing-masing perbankan,” tandas Larsen. (ATN)
Discussion about this post