ASIATODAY.ID, BALI – Pemerintah Indonesia dan Korea Selatan sepakat memperluas kerjasama bilateral dalam memperkuat aksi iklim dan memulai beberapa rencana aksi mulai tahun depan.
Terdapat empat poin area kerjasama yang dibahas dalam pertemuan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dengan Menteri Samudera dan Perikanan Republik Korea Moon Seong Hyeok, secara daring pada Hari Jumat (26/11/2021).
Poin pertama adalah Karbon Biru (Blue Carbon). Ekosistem karbon biru memiliki peran penting untuk penyerapan karbon. Indonesia memiliki mangrove dan padang lamun sebagai bagian dari ekosistem karbon biru.
“Saya setuju bahwa kita perlu melakukan pemetaan dan pemantauan ekosistem Blue Carbon dengan menggunakan teknologi remote sensing yang dikombinasikan dengan drone dan survei secara langsung,” ujar Menko Luhut kepada Menteri Moon.
“Saya pikir metodologi untuk pengukuran, pelaporan dan verifikasi sangat penting untuk dikembangkan dari mangrove dan padang lamun, dan saya ingin ini memulai penelitian ini dimulai di tahun 2022 mendatang,” tambah Menko Luhut.
Merespon pernyataan Menko Luhut, Menteri Moon setuju untuk melakukan penelitian dan studi bersama tentang karbon biru mulai tahun depan.
“Saya percaya bahwa kedua negara akan meletakkan dasar kerja sama mulai dari pembentukan badan konsultatif ahli, mengadakan seminar online, dan pelatihan di Korea serta survey langsung ke lokasi,” ujarnya.
Menko Luhut juga mengapresiasi perhatian pemerintah Korea untuk bekerja sama dalam pembangunan persemaian mangrove. Hal ini akan sangat mendukung program rehabilitasi mangrove.
Indonesia mengajukan alternatif 3 lokasi untuk pilot project, yaitu di Brebes, Cilacap dan Belitung.
Indonesia telah memiliki Peraturan Presiden terkait Carbon Pricing. Ini akan menjadi dasar kerja sama perdagangan karbon. Pada gelaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 tahun 2022 di Bali mendatang.
Presiden Joko Widodo akan menyampaikan pesan kepada pemimpin dunia dalam forum terkait pentingnya restorasi Mangrove untuk menghasilkan karbon kredit. Hal ini dikemukakan supaya negara-negara atau pemimpin dunia tidak hanya bicara konsep tapi melakukan tindakan nyata dan rill, seperti yang sudah dilakukan Indonesia saat ini.
Kerja sama perdagangan karbon ini juga akan menjadi salah satu area kerja sama dengan Republik Korea kedepannya. Komitmen ini akan diperkuat melalui penandatanganan letter of intent dalam rangkaian kegiatan G20 tahun depan.
Selain itu, poin lain yang juga dibahas adalah tentang masalah sampah laut, terutama sampah plastik.
Dalam kesempatan itu, Menko Luhut mengatakan bahwa Indonesia dan Republik Korea telah bekerja sama dalam penanganan masalah sampah plastik sejak tahun 2019 melalui serangkaian workshop dan pelatihan tentang pemantauan sampah plastik yang menjadikan Labuan Bajo sebagai lokasi percontohan.
“Kami ingin melanjutkan kerja sama dengan kegiatan yang lebih luas lagi,” tutur Menko Luhut.
Dengan komitmen pengurangan sampah laut, dia mengatakan bahwa dukungan dari pemerintah Korea sangat penting untuk membantu Indonesia dalam mengurangi sampah plastik di sektor hulu melalui peningkatan pemanfaatan bahan plastik ramah lingkungan, dan inovasi menuju ekonomi sirkular.
Di sisi hilir, lanjut Menko Luhut, juga dapat bekerja sama dalam mengembangkan fasilitas pengelolaan sampah di kota-kota pesisir dengan menekankan pada penerapan teknologi mutakhir seperti RDF, serta sampah plastik teknologi daur ulang.
Tindakan kolaboratif lain yang juga penting untuk dilakukan bersama adalah menangani kebocoran sampah di sungai dan perairan laut, termasuk pemantauan mikroplastik di laut.
“Saya berharap kegiatan proyek ini juga bisa dimulai awal tahun depan,” tambahnya.
Menyambung Menko Luhut, Menteri Samudera dan Perikanan Republik Korea menyebutkan bahwa mulai tahun depan, pemerintah Korea berencana melanjutkan proyek ODA lainnya untuk pengelolaan sampah laut di Indonesia.
“Kami akan memberikan dukungan yang diperlukan seperti memasang jaring ramah lingkungan untuk mencegah limbah sungai masuk ke laut, dan melakukan program peningkatan kapasitas untuk meningkatkan kesadaran publik tentang masalah ini,” ujar Menteri Moon.
Area kerja sama ketiga adalah untuk meningkatkan sektor budidaya rumput laut dan ikan napoleon. Indonesia dan Korea merupakan produsen rumput laut terbesar di dunia.
Jumlah produksi kedua negara tersebut menyumbang 30 persen dari total produksi dunia. Oleh karena itu, Menko Luhut percaya bahwa industri ini akan memainkan peran penting sebagai salah satu sektor yang dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, inklusif dan berkelanjutan.
Terkait budidaya Ikan Napoleon, Menko Luhut menjelaskan “Di Kabupaten Natuna sudah ada budidaya ikan napoleon, diharapkan dengan kerjasama ini dapat menghasilkan metode budidaya baru yang dapat lebih produktif dan berkelanjutan”.
Selain poin-poin diatas, Menko Luhut juga menegaskan perlu adanya capacity building. Baik untuk para akademisi dan masyarakat pesisir yang terdampak langsung, dikarenakan kedua kelompok tersebut merupakan komponen yang sangat diperlukan untuk keberhasilan proyek ini.
Sebagai penutup, Menteri Moon menyampaikan tim pakar Republik Korea akan berkunjung ke Indonesia pada pertengahan Desember tahun ini untuk melakukan survei dan pengambilan data.
Berkenaan dengan hal tersebut, Menko Luhut menyatakan siap menerima dan memfasilitasi selama di Indonesia dan mengundang untuk berdiskusi langsung di Kantor Kemenko Marves, serta menugaskan Deputi Nani untuk mempersiapkannya.
Pertemuan lanjutan diusulkan pada awal tahun 2022 untuk membicarakan progress perkembangan rencana kerja sama ini. (ATN)
Discussion about this post