ASIATODAY.ID, JAKARTA – Di tengah dunia sedang fokus melawan COVID-19 selama beberapa bulan terakhir, Republik Rakyat China (RRC) telah melipatgandakan kampanyenya guna memaksakan tatanan might makes right (yang kuat yang benar) di Laut China Selatan.
Menurut David R. Stilwell, Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Biro Asia Timur dan Pasifik, Beijing berupaya menggerogoti hak berdaulat negara-negara pesisir lainnya dan menghalangi akses mereka terhadap sumber daya lepas pantai – sumber daya yang dimiliki negara-negara tersebut, bukan China.
“Beijing menginginkan kekuasaan untuk dirinya sendiri. Mereka ingin menggantikan hukum internasional dengan aturan yang mengancam dan memaksa,” tegas Stilwell saat berbicara dalam forum virtual yang digagas oleh Centre For Strategic and International Studies baru-baru ini sebagaimana dikutip dari Kedubes AS di Jakarta, Selasa (28/7/2010).
Dalam beberapa bulan terakhir, Beijing telah menenggelamkan kapal penangkap ikan Vietnam, mengirim armada bersenjata untuk mengintimidasi eksplorasi energi lepas pantai Malaysia, dan mengerahkan pasukan angkatan laut untuk mengepung pos-pos terluar Filipina.
David menyebutkan, Beijing telah melakukan militerisasi lebih lanjut di pulau-pulau buatannya di gugus kepulauan Spratly dengan mengerahkan pesawat baru.
“Mereka telah mengumumkan larangan penangkapan ikan secara sepihak. Mereka telah menyelenggarakan latihan-latihan militer yang mengancam stabilitas di perairan yang diperebutkan di sekitar wilayah yang disengketakan,” jelasnya.
“Mereka semakin sering menggunakan pulau-pulau buatannya sebagai pangkalan untuk operasi intimidasi – guna membatasi akses negara-negara pesisir Asia Tenggara terhadap ladang minyak, gas, dan penangkapan ikan lepas pantai,”.
“Kita semua tahu mengapa ini penting. Dengan mengklaim “kedaulatan yang tidak bisa diganggu gugat” atas wilayah yang lebih besar dari Mediterania dan menginjak-injak hak orang lain, Beijing mengancam tatanan yang ada yang telah memberikan kemakmuran selama beberapa dekade bagi Asia. Tatanan itu didasarkan pada kebebasan dan keterbukaan, gagasan yang ditentang Beijing,” urainya.
Perdagangan senilai hampir empat triliun dolar AS melintasi Laut China Selatan setiap tahun. Lebih dari satu triliun dolar AS dari nilai itu terkait dengan pasar AS.
Laut tersebut merupakan ladang bagi migas lepas pantai yang dapat dipulihkan dan diperkirakan bernilai 2,6 triliun dolar AS. Di sini juga terdapat beberapa wilayah penangkapan ikan terkaya di dunia yang mempekerjakan sekitar 3,7 juta orang di negara-negara pesisir Asia Tenggara.
“Sumber daya ini adalah hak ulayat negara-negara Asia Tenggara, sumber kehidupan masyarakat pesisir mereka, dan sumber pencaharian bagi jutaan warga negara mereka. Itu adalah warisan untuk anak cucu masing-masing negara tersebut. Perilaku Beijing adalah serangan terhadap orang-orang Asia Tenggara saat ini, dan dari generasi ke generasi,” tandasnya.
PERINGATAN PUTUSAN MAHKAMAH ARBITRASE
Minggu ini menandai peringatan keputusan bersejarah tentang hukum internasional di Laut China Selatan: putusan Mahkamah Arbitrase 2016.
Kasus arbitrase damai ini dibawa – dengan keberanian yang sesungguhnya – oleh Filipina. Dan putusannya bulat: klaim maritim Sembilan-Garis Putus-Putus Bejing tidak memiliki dasar hukum internasional. Mahkamah memenangkan Filipina seutuhnya atas seluruh tuntutan hukumnya.
Sejak itu, Beijing berusaha mendelegitimasi dan mengabaikan putusan itu, meskipun ada kewajiban untuk mematuhinya sebagai salah satu pihak Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS).
“Beijing suka menampilkan dirinya sebagai juara multilateralisme dan lembaga internasional, tetapi telah mengabaikan putusan tersebut sebagai “tidak lebih dari selembar kertas,” kata David.
“Hanya orang yang mudah tertipu atau terkooptasi yang masih dapat memuji kepura-puraan Beijing sebagai warga dunia yang baik. Hari ini kita mendengar semakin banyak suara yang terdengar menentang agresivitas dan kesepihakan Beijing,” tambahnya.
“Bulan lalu kami menyambut baik desakan para Pemimpin ASEAN yang secara jelas menyatakan sengketa Laut China Selatan harus diselesaikan berdasarkan hukum internasional, termasuk UNCLOS,” imbuhnya.
Dunia yang lebih luas juga angkat bicara dan mengambil tindakan, sebagai pembuktian bahwa tindakan Beijing menimbulkan ancaman terbesar bagi kebebasan maritim di mana pun di muka bumi ini.
Masalah Laut China Selatan memiliki kaitan langsung dengan masa depan Samudra Arktik, Samudra Hindia, Laut Mediterania, dan jalur hubungan laut penting lainnya. Hal yang dipertaruhkan di Laut China Selatan berdampak langsung pada setiap negara dan orang yang bergantung pada kebebasan maritim dan kebebasan perdagangan maritim untuk bergerak guna memastikan kemakmuran negara mereka.
KEBIJAKAN AS DI LAUT CHINA SELATAN
Amerika Serikat telah memperkuat pendekatan kami terhadap Laut China Selatan.
“Kebijakan kami adalah untuk memperjuangkan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka di mana semua negara yang majemuk di dalamnya dapat hidup dan makmur dalam keadaan damai. Kebijakan kami menghargai kemajemukan negara-negara tersebut. Kebijakan kami membela kedaulatan, kemerdekaan, dan pluralisme. Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka berarti sebuah kawasan di mana negara-negara aman dalam kedaulatan mereka dan setara dalam memanfaatkan semua sumber daya global secara bersama (global commons). Tidak ada kekuatan hegemonik yang mendominasi orang lain atau mengubah perairan internasional menjadi zona eksklusif,” urainya.
“Pendekatan kami dibangun di atas catatan panjang Amerika di Pasifik dalam menjaga perdamaian, menegakkan kebebasan maritim yang selaras dengan hukum internasional, dengan mempertahankan laju perdagangan tanpa hambatan, dan mendukung penyelesaian sengketa secara damai. Ini adalah kepentingan utama dan tetap yang kami miliki bersama dengan banyak sekutu dan mitra kami,”.
“Dalam beberapa tahun terakhir kami telah memperdalam kolaborasi kami di seluruh kawasan ini. Kami telah meningkatkan dukungan pengembangan kapasitas maritim kami untuk mitra Asia Tenggara, menegaskan kembali aliansi, dan mempertahankan kecepatan irama aktivitas militer yang kuat untuk menjaga perdamaian. Hal ini termasuk operasi kebebasan navigasi, di antaranya lima operasi di Laut China Selatan sepanjang tahun ini; operasi kehadiran militer, di antaranya operasi dua kapal induk awal bulan ini; patroli pesawat pembom strategis; serta operasi dan latihan gabungan bersama para sekutu dan mitra kami,”
Sejauh ini, Amerika Serikat terus menjadi sumber terbesar investasi komersial di kawasan ini.
Perdagangan barang dan jasa kami senilai hampir 300 miliar dolar AS per tahun dengan 650 juta orang di ASEAN membantu memastikan kemakmuran yang terus tumbuh di wilayah yang dinamis tersebut.
Negara-negara ASEAN sekarang menghasilkan hampir tiga triliun dolar AS dari PDB tahunan. Standar kehidupan telah meningkat pesat, berkat energi luar biasa ASEAN, dan sistem global yang telah lama mempertahankan stabilitas, keamanan, dan kemakmuran.
“Kemarin, Menlu Pompeo mengumumkan langkah penting untuk memperkuat kebijakan kami, dan untuk berdiri teguh bersama para mitra Asia Tenggara kami dalam membela hak-hak berdaulat mereka. Menlu mengeluarkan pernyataan kebijakan tentang klaim maritim di Laut China Selatan, pada kesempatan peringatan putusan arbitrase 2016. Sejak putusan itu, kami telah mengatakan bahwa itu adalah “final dan mengikat secara hukum” pada kedua belah pihak, China dan Filipina. Pengumuman berikut ini tersebar lebih jauh, untuk memperjelas: RRC tidak berhak untuk menggertak negara-negara Asia Tenggara demi sumber daya lepas pantai mereka,” tegasnya.
Secara spesifik, Menlu AS Pompeo mengatakan tiga hal utama:
Pertama, RRC tidak memiliki klaim maritim yang sah berhadapan dengan Filipina atas wilayah perairan yang ditentukan oleh Mahkamah Arbitrase untuk termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Filipina atau di batas landas kontinennya. Di dalam wilayah-wilayah itu, tindakan intimidasi Beijing terhadap penangkapan ikan dan pengembangan energi lepas pantai Filipina adalah melanggar hukum, sama halnya dengan tindakan sepihak RRC untuk mengeksploitasi sumber daya tersebut. RRC juga tidak memiliki klaim secara hukum atas Mischief Reef atau Second Thomas Shoal, yang keduanya berada di dalam yurisdiksi Filipina.
Kedua, karena Beijing telah gagal membuktikan klaim maritim yang sah dan koheren di Laut China Selatan, Amerika Serikat menolak semua klaim RRC atas wilayah perairan teritorial laut sejauh 12 mil laut dari pulau-pulau di gugus Kepulauan Spratly. . Ini berarti Amerika Serikat menolak semua klaim maritim di wilayah perairan sekitar Vanguard Bank (Vietnam), Luconia Shoal (Malaysia), perarian ZEE Brunei, dan Natuna Besar (Indonesia). Setiap tindakan RRC mengganggu pengembangan perikanan dan hidrokarbon negara-negara lain di wilayah-wilayah perairan ini ataupun melakukan tindakan serupa secara sepihak – tidak dibenarkan secara hukum. Titik.
Ketiga, RRC tidak memiliki klaim teritorial atau maritim yang sah atas James Shoal, di lepas pantai Malaysia. Yang ini perlu dianalisis sejenak. James Shoal adalah unsur bawah laut sekitar 20 meter di bawah permukaan laut. Jaraknya hanya 50 mil laut dari Malaysia – dan lebih dari 1.000 mil laut dari daratan China. Namun Beijing mengklaimnya sebagai “titik paling selatan China”! Klaim ini tidak masuk akal – tampaknya berasal dari kekeliruan atlas kuno Inggris dan kesalahan penerjemahan selanjutnya, yang menyebutkan gagasan bahwa beting bawah air tersebut sebenarnya adalah gundukan pasir di atas ombak. Tetapi tidak demikian. Namun propaganda Beijing menggembar-gemborkan bahwa James Shoal sebagai wilayah RRC dan kapal-kapal Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (People’s Liberation Army/PLA) China ditempatkan di sana untuk mengadakan upacara pengambilan sumpah yang terlihat seperti unjuk kekuatan. Hukum internasional jelas: Tidak ada yang berhak atas unsur bawah laut. James Shoal bukan dan tidak pernah menjadi wilayah China, Beijing juga tidak dapat menuntut hak maritim yang sah dari klaim palsu tersebut.
“Dalam semua kasus ini, Amerika Serikat mendukung para sekutu dan mitra Asia Tenggara kami dalam menegakkan hak-hak berdaulat mereka, dan dengan seluruh dunia yang taat hukum dalam mempertahankan kebebasan di laut. Seperti yang dikatakan oleh Menlu AS, dunia tidak dapat – dan tidak akan – membiarkan Beijing memperlakukan Laut China Selatan sebagai imperium maritimnya,” imbuhnya. (ATN)
Discussion about this post