ASIATODAY.ID, JAKARTA – Empat wakil negara di Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Antar-Pemerintah ASEAN atau ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) mendesak Myanmar untuk mematuhi prinsip-prinsip yang tertuang dalam Piagam ASEAN dan Deklarasi HAM.
AICHR pun merasa prihatin atas kondisi di Myanmar.
“Sebagai anggota ASEAN, kami sangat prihatin dan mendesak Myanmar untuk mematuhi dan menghormati prinsip-prinsip yang tertuang dalam Piagam ASEAN dan Deklarasi HAM ASEAN,” kata empat wakil di AICHR yaitu Yuyun Wahyuningrum (Indonesia), Eric Paulsen (Malaysia), Dr. Shashi Jayakumar (Singapura), dan Prof. Dr. Amara Pongsapich (Thailand), dikutip dari pernyataan tertulis, Sabtu (6/2/2021).
AICHR mengamati secara cermat atas peristiwa di Myanmar yang menyebabkan deklarasi keadaan darurat dan penyerahan kekuasaan kepada militer, setelah pemilu pada 8 November 2020.
“Kami menyerukan tujuan dan prinsip yang diabadikan dalam Piagam ASEAN termasuk kepatuhan pada aturan hukum, pemerintah yang baik, serta prinsip-prinsip demokrasi dan pemerintahan konstitusional, serta mendukung, melindungi HAM dan penghormatan terhadap kebebasan fundamental,” tulis pernyataan bersama itu.
Keempat wakil negara di AICHR itu juga menyatakan dukungan atas proses perdamaian dan demokratisasi di Myanmar. Semua pihak diminta menyelesaikan perselisihan lewat mekanisme hukum dan dialog secara damai.
“Kami mengharapkan hasil demokratis dan damai berdasarkan kehendak dan kepentingan rakyat Myanmar,” sebut pernyataan itu.
Suu Kyi dan Presiden Win Myint ditahan pada Senin (1/2/2021) dini hari yang diduga sebagai kudeta setelah Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) memenangkan pemilu. Pemungutan suara di Myanmar pada November adalah pemilu demokrasi kedua sejak negara itu keluar dari cengkraman pemerintahan militer selama 49 tahun.
Beberapa jam setelah penangkapan, militer lewat siaran di televisi mendeklarasikan status darurat dan mengambil alih negara selama satu tahun. Penangkapan terjadi setelah meningkatnya ketegangan antara pemerintah sipil Myanmar dan militer karena perselisihan pemilu pada 2020. Myanmar, yang juga disebut Burma, dipimpin oleh militer sampai reformasi demokrasi dimulai sejak 2011.
Dalam pemilu November, pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) Suu Kyi memenangkan cukup kursi untuk membentuk pemerintahan. Namun, militer menuding kecurangan dalam pemungutan suara.
Pada Senin (1/2/2021), militer menyatakan telah menyerahkan kekuasaan kepada panglima tertinggi Min Aung Hlaing. Tentara dikerahkan ke jalanan di ibu kota, Naypyidaw, dan kota utama, Yangon.
Koneksi data internet seluler dan beberapa layanan telepon juga diblokir. NetBlocks, organisasi non-pemerintah yang melacak penutupan internet, melaporkan gangguan parah kepada koneksi web. Nomor telepon di ibu kota Naypyidaw juga tidak dapat dijangkau.
Pekan lalu, militer telah memberi sinyal bisa merebut kekuasaan untuk menyelesaikan klaim penyimpangan suara yang secara mudah dimenangkan oleh partai NLD. (ATN)
Discussion about this post