ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pemerintah Sri Lanka menutup keran impor sawit dan aktivitas perluasan perkebunan komoditas minyak nabati dari Indonesia dan Malaysia.
Otoritas setempat meminta para produsen untuk mulai mengganti tanaman sawit mereka dengan komoditas yang lebih ramah lingkungan.
Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa dalam keterangan resmi yang dikutip Yahoo Finance pada Senin (6/4/2021) menegaskan bahwa kebijakan ini diterapkan untuk membebaskan negaranya dari perkebunan dan konsumsi sawit yang tidak ramah lingkungan.
Impor dan perluasan sawit di negara tersebut memang meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
“Perusahaan dan entitas yang telah melakukan budidaya kelapa sawit diharuskan mengurangi luas tanam secara bertahap sebesar 10 persen dalam setiap proses. Perusahaan juga harus menggantinya dengan komoditas karet atau tanaman ramah lingkungan lainnya setiap tahun,” demikian instruksi Rajapaksa dalam keterangan resmi.
Pegiat lingkungan menyebutkan bahwa pengembangan perkebunan sawit telah berkontribusi pada deforestasi dan kerusakan lingkungan. Area perkebunan sawit di Sri Lanka mencapai 11.000 hektare menurut asosiasi minyak sawit setempat. Jumlah tersebut mencakup 1 persen dari total area perkebunan yang juga ditanami karet, teh, dan kelapa.
Sri Lanka juga tercatat telah mengguyurkan investasi senilai USD131 juta untuk pengembangan industri minyak sawit domestik. Negara tersebut mengimpor sekitar 131.000 ton minyak sawit pada 2020 dengan 90 persen di antaranya dipasok dari Malaysia dan sebagian besar lainnya dari Indonesia.
Eskpor minyak sawit dan turunannya dari Indonesia ke Sri Lanka tercatat meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Volume ekspor masih berada di kisaran 9.641 ton pada 2017 dan bertambah menjadi 76.435 ton pada 2019. Ekspor minyak sawit sempat terkoreksi selama pandemi pada 2020 menjadi hanya 54.407 ton menurut data Badan Pusat Statistik (BPS). (ATN)
Discussion about this post