ASIATODAY.ID, JAKARTA – Laju deforestasi secara nasional yang turun pada periode 2019-2020, tidak serta-merta membuktikan tata kelola hutan di Indonesia berjalan maksimal. Sebab, fakta lain menunjukkan dalam beberapa tahun terakhir, terjadi pengurangan tutupan hutan di 10 provinsi yang kaya hutan.
Di tengah pandemi, transparansi dan praktik anti-korupsi justru sedang diuji untuk bisa mewujudkan sektor hutan yang berkelanjutan dan benar-benar bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
Salah satu bukti bahwa deforestasi masih terjadi adalah dari laporan yang diterbitkan Auriga Nusantara berjudul ‘Menatap ke Timur: Deforestasi dan Pelepasan Kawasan Hutan di Tanah Papua’.
Laporan yang dirilis pada Februari 2021, mengungkap tren deforestasi pada 2015-2019 justru terjadi di provinsi yang kaya hutan (forest-rich provinces) yakni Papua, Papua Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah,
Aceh, Maluku, dan Maluku Utara.
Provinsi tersebut memiliki 88 juta hektare tutupan hutan alam nasional atau mewakili 80% dari seluruh tutupan hijau di Indonesia.
“Saat ini, tren deforestasi sedang mengarah ke Indonesia bagian timur. Hal ini akan mengancam luasan tutupan hutan yang seharusnya diperuntukkan untuk kawasan konservasi pada provinsi-
provinsi tersebut,” ujar Timer Manurung, Ketua Auriga Nusantara, Kamis (16/12/2021).
Timer menambahkan tren tersebut juga terlihat pada aplikasi Mapbiomas Indonesia
(http://platform-map.nusantara.earth/) yang dikembangkan Auriga Nusantara.
Dibangun bersama jejaring masyarakat sipil di dalam negeri dan bekerja sama dengan Mapbiomas Brazil dan Woods & Wayside International, peta ini bisa melihat transisi luas tutupan hutan dan
penggunaan lahan dengan lebih akurat.
Data yang ditangkap Mapbiomas Indonesia pada 2015-2019 menunjukkan terjadinya transisi lahan yang cukup signifikan. Diantaranya, peralihan hutan menjadi menjadi mangrove sebanyak 532 hektare, tanaman hutan 185,831 hektare, tumbuhan non hutan sebanyak 1,7 juta hektare, kelapa sawit sebanyak 416.277 hektare, dan pertanian lain sebesar 2,7 juta hektare.
Total deforestasi dalam rentang waktu tersebut mencapai sekitar 5,2 juta hektare yang hanya menyisakan 96 juta hektare formasi hutan.
“Mapbiomas Indonesia akan dimutakhirkan seiring tahun berjalan, artinya akan ditampilkan deforestasi pada tahun-tahun mendatang. Demikian juga klasifikasi lahan yang ditampilkan akan ditambah, termasuk tutupan lahan di daerah aliran sungai sehingga terlihat korelasi antara deforestasi dengan banjir yang terjadi,” tambahnya.
Tata kelola pada Institusi Sektor Kehutanan
Keterlibatan Auriga Nusantara sebagai bagian dari masyarakat sipil sangat penting untuk mengawal transparansi dan anti korupsi yang sangat dibutuhkan dalam tata kelola kelembagaan di sektor hutan Indonesia.
Prof Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) mengkritisi sebuah fakta bahwa saat ini korupsi yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya alam termasuk bidang kehutanan sudah terinstal ke dalam institusi dan sistem pemerintahan.
Hasil riset tahun 2013 mengenai suap di perusahaan kehutanan masih terjadi hingga hari ini, konflik lahan dan hutan bertambah meluas, demikian pula tumpang tindih penggunaan hutan dan lahan secara sistematis terus terjadi hingga mencapai 77 juta hektare.
“Ironinya semua itu berjalan sesuai dengan peraturan dan pedoman kerja, dan tidak ada yang melanggar hukum,” ujarnya.
Menurut dia, hal itu terjadi karena korupsi dalam pelaksanaan tata kelola selain dilaksanakan melalui penggunaan instrumen negara (state capture corruption) misalnya melalui penetapan pasal-pasal dalam peraturan-perundangan, juga melalui pelemahan fungsi-fungsi lembaga negara (institutional corruption).
“Korupsi ini bukan dilakukan dengan cara barter atau quid pro quo, tetapi melalui regulasi dan prosedur resmi yang dijalankan oleh lembaga resmi. Dalam perizinan, korupsi demikian ini, selain mempermudah dan melonggarkan prosedur izin, juga memperlancar jalannya izin, tetapi lembaga perizinan tidak mampu mengendalikan izin-izin yang dikeluarkannya di lapangan,” jelas Prof. Hariadi.
Lebih jauh dijelaskan, state capture corruption ini dapat pula berupa internalisasi berbagai jenis peraturan daerah, termasuk mengurangi luas kawasan lindung dalam tata ruang, memudahkan kelompok usaha tertentu untuk menjalankan bisnisnya di daerah, maupun penetapan kebijakan yang
menguntungkan kelompok tertentu dalam peraturan daerah.
“Hal demikian itu berakibat lemahnya penegakan hukum serta lemahnya pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, tetapi semua itu sudah berjalan sesuai dengan peraturan-perundangan,” jelasnya.
Transparansi syarat utama ekonomi eksploratif dan berkelanjutan
Merefleksikan lemahnya aspek kelembagaan yang menyuburkan korupsi, Dr. Rimawan, peneliti Ekonomi, Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga seorang aktivis anti
korupsi menyampaikan pandangannya.
Menurutnya, salah satu persyaratan kemajuan sebuah negara adalah aspek
kelembagaan yang kuat, sehingga bisa menjamin perkembangan ekonomi dan memberikan manfaat sesungguhnya bagi kesejahteraan rakyat.
Pada negara maju, aspek kelembagaan mengatur tata hubungan antar elemen masyarakat, sehingga menurunkan aspek korupsi. Akhirnya, potensi negara untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat akan berhasil.
“Saya mengamati bahwa struktur ekonomi Indonesia sejak Belanda mengambil alih VoC di tahun 1800 hingga sekarang masih didominasi ekonomi ekstraktif. Natural resource curse hypothesis terjadi di perekonomian Indonesia, negara dengan kandungan sumberdaya melimpah cenderung tidak memiliki sistem kelembagaan yang baik, sehingga pembangunan ekonomi di negara-negara tersebut suboptimal dan tertinggal dari negara yang justru tidak memiliki sumberdaya alam,” ujarnya.
Menurut laporan jurnal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dirilis pada 24 Maret tahun 2020, di sektor perkebunan sawit ditemukan potensi pajak yang tidak dipungut oleh pemerintah sekitar Rp 18,13 triliun pada tahun 2016. Padahal, potensi pajak di tahun tersebut bisa mencapai Rp 40 triliun.
Salah satu faktor penyebab rendahnya penerimaan negara tersebut, yaitu rendahnya tingkat kepatuhan pajak, yang mana kepatuhan Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi hanya 6,3% dan WP Badan sebesar 46,3% (KPK, 2016).
Rimawan menekankan bahwa pandemi menciptakan kontraksi ekonomi di seluruh dunia. Semua negara menerapkan budget defisit, kebutuhan mengkompensasi masyarakat akibat pandemi meningkat, namun rasio pajak mengalami penurunan drastis akibat kontraksi ekonomi.
Modal finansial menjadi sangat langka sejak pandemi dan akan terus berlaku hingga 5-10 tahun mendatang. Kelangkaan modal dapat diminimalisasi dengan menggerakkan modal sosial, namun modal sosial hanya berjalan jika ada kepercayaan. Kepercayaan adalah fungsi dari integritas dan transparansi.
Membangun modal sosial dalam jangka panjang hanya akan berhasil jika integritas dan transparansi dilakukan secara konsisten antar waktu.
Ditambah lagi, sekarang tuntutan dari dunia internasional sudah semakin tinggi, dimana keberlanjutan menjadi elemen utama dalam ekonomi. Semua sektor akan terdorong menuju kepada green economy (ekonomi hijau) atau blue economy (ekonomi biru) yang menempatkan dampak lingkungan dan sosial setara dengan dampak ekonomi.
“Inilah momentum perubahan ekonomi Indonesia guna memutus rantai ekonomi ekstraktif menuju ke struktur ekonomi alternatif yang lebih mendukung ke arah pembangunan berkelanjutan. Jadi, sekarang semuanya kembali lagi kepada pemerintah untuk menentukan arah
pembangunan Indonesia kedepannya. Sebagai tuan rumah G20, komitmen Indonesia sebagai negara yang semakin bermartabat untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan akan
semakin disorot. Maka, sudah saatnya rakyat bisa menikmati hasil pembangunan secara adil dan mencapai tingkat kesejahteraan yang seharusnya mereka nikmati dari negara yang kaya ini,” tutup Rimawan. (AT Network)
Discussion about this post