ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang didirikan tahun 1949 dibentuk karena adanya Pakta Warsawa dari Uni Soviet. Namun kini eksistensi NATO sesungguhnya tidak lagi diperlukan karena Rusia sendiri telah menanggalkan ideologi dan sistem politik komunisme.
“Maka agresivitas NATO di Eropa Timur hanya akan memancing kemarahan Rusia,” kata Prof Ginandjar Kartasasmita dalam kuliah umumnya bertajuk “Security Dilemma”, dan Kepentingan Nasional Indonesia dan Asia” (Belajar dari Kasus Rusia – Ukraina) di Kampus Universitas Paramadina, Jakarta, Rabu (30/3/2022).
Acara ini dimoderatori oleh Rektor Universitas Paramadina, Prof Didik J Rachbini dengan pembahas Direktur PGSD Universitas Paramadina Dr Phil. Shiskha Prabawaningtyas.
Ginandjar mengawali kuliah umumnya dengan menjelaskan, konflik Rusia-Ukraina adalah konflik ikutan pasca bubarnya ideologi dan sistem politik komunis Rusia di bawah Perestroika Gorbachev.
Kebijakan Gorbachev memicu disinterasi Uni Soviet yang berujung pada pemisahan 3 negara bagian utama USSR Belarus, Rusia dan Ukraina.
Setelah masing-masing menjadi negara merdeka timbul ketegangan Rusia-Ukraina terutama dalam soal aset dan infrastruktur militer Uni Soviet yang banyak terdapat di Ukraina. Begitupun soal Etnis Rusia di Ukraina, dan isu Crimea (65,3% etnis Rusia).
“Agresi Rusia ke Ukraina adalah soal prinsip keanggotaan Ukraina dalam NATO, yang terbuka kemungkinannya setelah amandemen konstitusi Ukraina pada 2019. Rusia menganggap prospek keanggotaan Ukraina ke dalam NATO sebagai pelanggaran terhadap “garis merah” Rusia dan ancaman terhadap keamanan Rusia. Sementara sebagian negara-negara eks USSR (Uni Soviet) juga sudah bergabung ke dalam NATO”.
Perang Rusia-Ukraina saat ini, disebut Ginandjar adalah penyelesaian sengketa model Abad 20 yang ditandai dengan dua kali Perang Dunia serta beberapa perang besar Korea, Vietnam, Afghanistan dan lain-lain.
Terdapat ofensif satu negara ke negara lain dan menimbulkan korban jutaan warga sipil baik meninggal ataupun mengungsi.
“Padahal selama dua dasawarsa Abad 21 dunia telah semakin mengglobal baik hubungan antar negara, kehidupan individu dan sosial, ekonomi, politik telah disatukan oleh kemajuan teknologi digital dan komunikasi yang sangat pesat (Dani Rodrik, March 2022 pada buku Hyper Globalization, Harvard University)”.
“Berbagai model bisnis dan kegiatan ekonomi keuangan terinteraksi mendunia dengan berbagi aplikasi internet, sosmed dan aneka gadget. Di dunia politik, perangkat teknologi membuka pintu datangnya era Demokrasi Digital”.
Demokrasi kembali ke arah demokrasi langsung seperti zaman Athena Yunani, namun saat ini demokrasi langsung difasilitasi oleh kemajuan perangkat teknologi komunikasi dan digital.
“Tidak ada lagi dua kutub ideologi yang berhadapan diametral, seperti pada era perang dingin. Rusia pun telah menjadi negara kapitalis. Sistem politik otoritarian tetapi sistem ekonomi kapitalis, sama seperti China. Konflik-konflik timur tengah, Laut China Selatan, Semenanjung Korea perang skala besar menjadi semakin dihindarkan, diganti oleh perang ekonomi. perang teknologi cyber war, sebagai bagian kehidupan sehari-hari”.
Karenanya menurut Ginandjar, serangan Rusia ke Ukraina adalah hal mengejutkan. Hal itu merupakan bagian dari “Security Dilemma” yang tidak lagi dapat membedakan tindakan ofensif dan defensif dalam melindungi keamaman dan kepentingan nasional masing-masing negara.
“Bagi Barat, agresi Rusia adalah langkah ofensif tapi bagi Rusia adalah langkah defensif terutama mencegah Ukraina melebur ke dalam NATO”.
Konflik peradaban sekarang adalah konflik peradaban Barat vs peradaban Timur. Namun mentalitas Rusia lebih banyak ke Timur. 70% sikap mental Rusia mewakili peradaban Timur.
“Rusia tidak betul-betul Barat meski bersistem Demokrasi tetapi bukan demokrasi murni. Jika Rusia adalah negara demokratis, maka tidak akan terjadi invasi ke Ukraina, karena harus menunggu izin parlemen Rusia. Zaman ke depan adalah abad yang dipimpin oleh China dengan kekuatan ekonomi dan teknologinya. Teknologi adalah kunci kemenangan peradaban saat ini”.
Sementara itu dalam pembahasannya Shishkha Prabawanigtyas menyatakan, kejutan yang terjadi pasca-agresi Rusia ke Ukraina memunculkan pertanyaan apakah telah pecah dan bergesernya bangunan western trans Atlantik yang ditandai ketika Rusia membangun proxy dengan China.
“Apakah hal itu juga sebagai bagian dari perjalanan value western yang dilihat oleh peradaban non barat sebagai peradaban hipokrit, dan mementingkan diri sendiri. Mungkinkah akan bergeser ke sebuah peradaban baru yang masih menyusun bentuknya sendiri?”.
Masih menjadi pertanyaan besar, akan bergerak ke arah mana setelah sebelumnya ada clash antara Komunis vs Demokrasi dan kemudian Demokrasi vs Otokrasi.
Terjadi benturan nilai peradaban dan tarik menarik antara sistem nilai demokrasi dan otokrasi, apalagi setelah terbukti sistem besar demokrasi tidak menjamin efektivitas negara ketika berhadapan dengan pandemi Covid-19. (ATN)
Discussion about this post