ASIATODAY.ID, JAKARTA – Sebuah kolaborasi riset para ilmuwan di bidang arkeologi dan genetika mencoba menelusuri asal usul manusia Indonesia.
Pasalnya, perpaduan data artefak arkeologi dan riset genetika bisa menjawab berbagai pertanyaan tentang asal usul manusia Indonesia, lingkungan dan peradabannya di masa lalu.
Hal itu terungkap dalam webinar ‘Menyingkap Misteri Asal Usul Leluhur Kita, Genetik Purba dan Budaya Prasejarah Nusantara’ yang digelar Selasa (2/8/2022) lalu.
Forum ini digagas oleh Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah Badan Riset Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Mochtar Riady Institute for Nanotechnology (MRIN).
Hadir dalam webinar pakar pakar genetik dan arkeolog, seperti Prof Herawati Sudoyo (MRIN), Assoc Prof Bastien Llamas (Universitas Adelaide Australia), Gludhug A Purnomo (peneliti Universitas Adelaide Australia), Adhi Agus Actaviana (peneliti BRIN), Dr Hasanuddin (peneliti BRIN), dan Zubair Mas’ud MA (peneliti BRIN).
Peneliti dari Universitas Adelaide, Gludhug A Purnomo, mengatakan dari riset yang dilakukan selama beberapa tahun lalu ditemukan bahwa populasi manusia modern Indonesia berasal dari berbagai macam migrasi di kawasan yang terjadi pada 50 ribu tahun yang lalu.
Migrasi terjadi saat dataran Asia masih menyatu dengan beberapa kepulauan Indonesia seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, membentuk Paparan Sunda. Kemudian Pulau Papua masih menyatu dengan Australia membentuk Paparan Sahul.
Ini meninggalkan Pulau Sulawesi di tengah, yang kemudian diriset oleh Alfred Wallace, sehingga mendapat nama garis Wallacea karena temuan flora dan fauna berbeda dengan sisi barat dan timur Indonesia.
Riset genetika itu mengambil sampel dari DNA (deoxyribonucleic acid) atau pita genetik di tubuh manusia modern Indonesia yang tinggal di Pulau Sulawesi, Pulau Maluku, pulau pulau antara Sulawesi, Maluku sampai Papua, dan Pulau Papua di beberapa kota seperti Sorong, Kerom, dan Mapi.
Uniknya, riset ini mengambil DNA Mitokondria dari garis ibu.
“Dari sini kita bisa melihat migrasi manusia modern mengacu dari garis ibu,” kata Gludhug.
Hasilnya ada sekitar 16 model yang ditemukan dari pemetaan DNA Mitokondria. Garis besarnya, ada hubungan antara sampel DNA Mitokondria di Wallacea dan Papua.
Artinya antara manusia di Sulawesi dan Papua memiliki hubungan kontinuitas. Malah ditemukan sampel Wallacea berusia lebih muda dari Papua. Kemungkinan besar, malah yang di Wallacea berasal dari Papua.
“Jadi kalau awalnya ada teori migrasi dari Paparan Sunda ke Sahul, yang kita temukan dari data ini justru juga sebaliknya. Setelah sampai di Sahul, mereka pindah lagi ke Sunda melewati Wallacea. Mengapa mereka begitu? Studi genetik tidak bisa menjawabnya,” kata Gludhug.
Sampel ini kemudian dibandingkan dengan DNA Mitokondria dari sampel Australia yang memperlihatkan perbedaan. Perbedaannya, kata Gludhug, sampel Australia terlihat memisah.
“Seolah mereka terisolasi amat lama,” kata dia.
Kemudian, pada periode sekitar 1.500-3.000 tahun yang lalu juga terlihat dari sampel ada perubahan amat signifikan yang memicu meledaknya populasi manusia di Wallacea.
Apakah perubahan ini terkait lingkungan maupun iklim, hal tersebut bisa dijawab oleh studi arkeologi.
Namun ia tegaskan, situasi muka laut saat itu amat menentukan. Karena perbedaan antara muka laut saat ini dan ribuan tahun lalu bisa mencapai ratusan meter.
“Ekspansi populasi itu bisa terjadi ketika laut dangkal,” jelasnya.
Prof Herawati Sudoyo menilai, dari data DNA Mitokondria Wallacea dan Papua, serta kondisi lingkungan saat itu, membuat pulau-pulau kecil yang tersebar dari Sulawesi hingga Papua diduga menjadi ‘jembatan’ bagi manusia berpindah pindah. Ini karena berdekatan dan mudah diseberangi
Prof Hera dan Gludhug mengakui, studi mengenai asal usul manusia modern Indonesia harus dikerjakan bersama sama bidang lain.
“Tidak bisa studi genetik saja. Ini harus dikembangkan oleh arkeologi, antropologi, dan lainnya. Bagaimana Indonesia menjadi jembatan antara Asia dan Papua,” kata Gludhug.
Studi genetik dibandingkan dengan temuan yang dipaparkan dari berbagai macam situs arkeologi, mulai dari situs Gua Harimau, situs situs di Maros, Sulawesi, hingga di Raja Ampat. Di Maros ditemukan di dalam satu gua ada dua kerangka dari ras yang berbeda. Ini menjadi pertanyaan besar apakah populasi ketika itu sudah bercampur.
Kemudian di Raja Ampat, Papua, dari paparan peneliti BRIN Zubair Mas’ud ternyata menyimpan banyak sekali situs dengan temuan kerangka manusia yang diduga berumur ribuan tahun. Diduga kuat, Raja Ampat adalah salah satu jembatan migrasi Asia ke Papua dan Australia.
“Posisi Raja Ampat strategis sebagai jalur perlintasan,” kata Zubair.
Zubair kemudian berharap ada beberapa temuan rangka manusia di Raja Ampat untuk bisa diteliti DNA Mitokondria-nya.
Assoc Prof Universitas Adelaide Bastien Llamas mengaku terkejut melihat temuan arkeologis dari Maros dan Papua, terutama Raja Ampat. Dari pertanggalan yang diperoleh di situs tersebut, ternyata masuk di dalam periode teori migrasi di kawasan.
Bastien menganjurkan BRIN harus menggelar kolaborasi riset genetik-arkeologi lebih luas lagi untuk mendapat gambaran lebih besar soal migrasi manusia modern di kawasan. (ATN)
Discussion about this post