ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pemerintah Indonesia mendorong lembaga keuangan khususnya perbankan untuk mendanai proyek-proyek aksi iklim.
Pemerintah telah menghitung anggaran penanganan perubahan iklim sebesar Rp28.223 triliun.
Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani mengatakan pemerintah membutuhkan anggaran untuk membiayai masalah perubahan iklim di tengah keuangan negara yang tidak mampu menanggungnya.
“Saya berharap institusi keuangan akan mulai sangat serius melakukan hal itu, karena tidak mungkin masalah perubahan iklim bisa diatasi tanpa seluruh stakeholder bekerja sama,” ujar Sri Mulyani, Senin (10/10/2022).
Menurut Sri Mulyani, penanganan perubahan iklim untuk memitigasi maupun adaptasi iklim hanya bisa ditangani dengan adanya dukungan pembiayaan dari lembaga keuangan perbankan dan sektor swasta. Hal ini bertujuan agar Indonesia mencapai target net zero emission atau nol emisi karbon pada tahun 2060.
“Mayoritas kebutuhan pendanaan tersebut sektor energi dan transportasi sebesar Rp 26.601 triliun atau 94 persen dari total kebutuhan dana,” jelasnya.
Menurut Sri Mulyani, dibutuhkan dana untuk menangani sampah sebesar Rp829 triliun, Industrial Processes and Product Use (IPPU) sebesar Rp 730 triliun, kehutanan sebesar Rp70 triliun dan pertanian sebesar Rp1,4 triliun.
Sejauh ini, pemerintah telah memperkenalkan climate budget tagging atau penandaan jenis belanja yang mendukung target perubahan iklim sejak beberapa tahun terakhir. Apabila diakumulasikan, pendanaan dari APBN tidak lebih dari 34 persen dari total kebutuhan tiap tahun.
“Masih ada ruang 66 persen kebutuhan anggaran yang bisa diisi oleh berbagai pihak termasuk institusi keuangan perbankan,” imbuhnya.
Sri Mulyani mengingatkan, perubahan iklim saat ini telah menjadi ancaman global yang sangat serius sesudah pandemi Covid-19.
“Kalau negara dan dunia dihadapkan pada kejutan yang besar seperti pandemi setidaknya kita telah mencoba kejutan global tersebut, maka perubahan iklim akan menjadi kejutan yang lain,” jelasnya.
Karena itu, pemerintah saat ini sedang menyusun pasar karbon dan pajak karbon hingga mekanisme transisi energi untuk menggencarkan agenda perubahan iklim.
Sri Mulyani menyebut tantangan lainnya setelah perubahan iklim yakni krisis global karena makanan dan energi serta inflasi yang tinggi.
“Berbagai tantangan tersebut memberikan konsekuensi yang luar biasa bagi negara-negara di dunia,” imbuhnya.
Di lain pihak, perang di Ukraina telah menimbulkan disrupsi pasokan sehingga agregat penawaran pun mengalami kejutan, yang kemungkinan trennya tidak sama seperti masa pandemi Covid-19.
“Ini artinya kita mungkin tidak akan bisa pulih cepat, kecuali kalau terjadi kejutan lainnya di bidang teknologi,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post