ASIATODAY.ID, JAKARTA – Israel sedang menjadi sasaran kecaman dunia internasional akibat tindakannya membunuh ribuan rakyat sipil di Gaza, Palestina.
Sebagai hukuman atas tindakan biadab Israel itu, kini muncul gerakan boikot produk Israel di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Gerakan boikot ini semakin gencar, karena sejumlah produk Israel kini masih beredar bebas di pasaran.
Gerakan boikot mengusung tujuan: berhenti mendukung pihak-pihak yang terlibat dalam atau menormalisasi tindakan Israel terhadap rakyat Palestina.
Adapun gerakan boikot produk Israel secara global dikampanyekan dengan tajuk BDS (Boycott, Divestment, Sanctions). DBS merupakan salah satu inisiatif global yang menentang pelanggaran hak-hak Palestina oleh Israel.
Berikut daftar Perusahaan-perusahaan Israel yang menjadi target utama boikot termasuk di Indonesia.
1. Sabra
Perusahaan makanan ini adalah perusahaan patungan antara PepsiCo dan Strauss Group, perusahaan makanan Israel yang memberikan dukungan finansial kepada militer Israel. Ini mengundang protes karena keterlibatan dalam dukungan militer.
2. Hewlett Packard (HP)
Perusahaan teknologi ini diklaim membantu menjalankan sistem identitas biometric yang digunakan oleh Israel untuk membatasi pergerakan warga Palestina. Hal ini telah menuai kritik luas karena dinilai sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
3. Pillsbury
Perusahaan roti ini membuat produknya di atas tanah Palestina yang dicuri di pemukiman ilegal Israel. Ini dianggap sebagai eksploitasi sumber daya alam Palestina.
4. AXA
Perusahaan asuransi ini diduga membiayai pencurian tanah dan sumber daya alam Palestina. Peran perusahaan dalam konflik ini menjadi sorotan utama.
5. Puma
Perusahaan olahraga ini mensponsori asosiasi sepak bola di Israel, yang mencakup tim-tim di permukiman ilegal Israel di tanah Palestina. Ini dianggap sebagai bentuk normalisasi hubungan dengan entitas yang melanggar hukum internasional.
6. SodaStream
Perusahaan minuman ini secara aktif terlibat dalam kebijakan Israel menggusur penduduk asli Bedouin di Negev. Produk mereka menjadi target utama boikot.
7. Ahava
Perusahaan kosmetik ini memiliki fasilitas produksi, pusat pengunjung, dan toko utama di pemukiman ilegal Israel. Ini dianggap sebagai bentuk dukungan terhadap pemukiman ilegal.
8. Siemens
Perusahaan teknologi ini terlibat dalam proyek permukiman ilegal apartheid Israel melalui rencana pembangunan EuroAsia Interconnector, yang akan menghubungkan jaringan listrik Israel dengan Eropa.
Produk-produk yang diduga berafiliasi dengan Israel
Menurut laporan dari kelompok pro-Palestina, terdapat ratusan produk yang diduga berafiliasi dengan Israel. Produk-produk tersebut mencakup berbagai macam merek, mulai dari makanan dan minuman, hingga produk teknologi dan fashion.
Berikut adalah beberapa produk yang diduga berafiliasi dengan Israel:
Makanan dan minuman: Danone, McDonald’s, Starbucks, Coca-Cola, Burger King, Pizza Hut, Papa John’s, Nestle, Jaffa, Eden, Strauss, Tivall, Nestle Teknologi: Motorola, Intel, IBM, AOL, META
Kosmetik: L’Oréal, Revlon, Estée Lauder, Kimberly-Clark, Pakaian: M&S, Timberland, River Island, Delta,
Dampak Boikot Produk Israel
Boikot produk Israel telah menimbulkan dampak yang signifikan bagi perekonomian Israel. Menurut laporan dari Kementerian Ekonomi Israel, boikot tersebut telah menyebabkan kerugian ekonomi sebesar US$3 miliar pada tahun 2022.
Boikot produk Israel juga telah menyebabkan penurunan penjualan produk-produk Israel di berbagai negara. Misalnya, penjualan produk-produk Danone di Arab Saudi menurun sebesar 20% pada tahun 2022.
Gerakan boikot produk Israel adalah cara bagi individu dan kelompok untuk menunjukkan solidaritas dengan rakyat Palestina dan menentang tindakan yang dianggap melanggar hak asasi manusia dan hukum internasional.
Di berbagai belahan dunia, aksi ini memicu kesadaran akan pentingnya perdamaian dan keadilan di Timur Tengah, serta mendesak pihak-pihak terkait untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan untuk konflik yang telah berlangsung puluhan tahun. (AT Network)
Simak Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post