ASIATODAY.ID, JAKARTA – Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 yang digelar di Bandung, Jawa Barat, Indonesia, telah berlalu lebih dari setengah abad yang lalu, namun semangat dari pertemuan tersebut masih relevan dan sangat dibutuhkan bagi hubungan internasional, maupun di Kawasan Asia dan Afrika hingga kini.
Saat ini, kondisi dunia tengah dihadapkan berbagai krisis multidimensi akibat konflik dan rivalitas geopolitik yang makin menajam. Operasi militer khusus yang dilancarkan oleh Rusia ke Ukraina, kian mempertajam rivalitas negara-negara barat dengan Rusia.
Negara-negara barat yang tergabung dalam NATO yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS) sebagai pendukung Ukraina, telah memberlakukan banyak sanksi terhadap Rusia. Akibatnya, dunia mengalami krisis diberbagai dimensi, mulai dari krisis pangan, energi hingga keuangan global.
Selain dengan Rusia, rivalitas geopolitik AS juga terjadi dengan China di Kawasan Indo Pasifik. Situasi ini memicu kekhawatiran negar-negara di Asia akan pecahnya konflik besar.

Indonesia sebagai tuan rumah KAA 1955, memiliki banyak jejak bersejarah dari peristiwa fenomenal tersebut.
KAA selalu menjadi tema yang menarik karena tidak hanya dapat dilihat dari sudut pandang sejarah tetapi juga bisa dilihat dari sudut pandang sosial, politik, kebudayaan maupun hubungan internasional.
Berikut 5 memori paling bersejarah dari KAA 1955 yang dirangkum Asiatoday dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
1. Ide Penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika
Berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945 ternyata tidak juga membuat kondisi dunia menjadi aman. Munculnya dua negara adidaya yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet sebagai pemenang perang, membawa dunia memasuki babak baru dalam sejarah yaitu era perang dingin. Pada periode ini konstelasi politik dunia terbagi menjadi dua, yaitu blok barat yang dipimpin Amerika Serikat (AS) dan blok timur yang dipimpin Uni Soviet (US), sekarang Rusia.
Kedua blok berusaha menarik negara-negara lain untuk masuk menjadi anggota blok mereka. Pertarungan yang pada awalnya didasari oleh perbedaan ideologi antara kapitalis dengan komunis kemudian berlanjut dalam persaingan bidang persenjataan, teknologi luar angkasa dan pembentukan pakta-pakta pertahanan. Persaingan tersebut ikut mempengaruhi keadaan negara-negara di benua Asia dan Afrika. Pada awal tahun 1950-an beberapa negara Asia-Afrika menjadi ajang pertentangan kedua blok tersebut.
Selain perang dingin, ketegangan politik di dunia juga disebabkan karena masih adanya imperialisme terutama di belahan Asia dan Afrika seperti Vietnam, Aljazair, Tunisia, dan Maroko. Beberapa negara yang telah merdeka pun masih banyak yang menghadapi masalah sisa-sisa imperialisme seperti Indonesia tentang Irian Barat, India-Pakistan tentang Kashmir dan negara-negara Arab tentang Palestina.
Di dalam mengatasi persoalan-persoalan dunia tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebenarnya menjadi organisasi internasional yang paling berwenang, namun pada kenyataannya PBB belum berhasil menyelesaikan permasalahan yang ada, terutama terkait masalah ketegangan di dunia akibat Perang Dingin.
Keadaan itulah yang melatarbelakangi lahirnya gagasan untuk mengadakan sebuah konferensi yang melibatkan negara-negara di Asia dan Afrika.
2. Ide Lahirnya Konferensi Asia-Afrika
Terkait kondisi politik dan keamanan dunia yang masih mencekam, pemerintah Indonesia merasa perlu bertindak untuk turut serta meredakan ketegangan yang disebabkan oleh pertentangan blok barat dan blok timur. Indonesia bersikap tegas dengan mengeluarkan kebijakan politik yang bebas dan aktif.
Selain itu, Indonesia juga menerapkan politik bertetangga baik (good neighbor policy).
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, di depan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) pada 25 Agustus 1953 menyampaikan keterangan tentang politik luar negeri Indonesia. Di dalam kesempatan itu, Ali Sastroamidjojo menyatakan bahwa keaktifan pemerintah untuk ikut meredakan ketegangan dunia memerlukan kerjasama dengan negara-negara yang keadaan dan kedudukannya sama dengan Indonesia, yaitu negara-negara Asia-Afrika yang memiliki pendirian sama terhadap persoalan internasional.
Lebih lanjut Ali Sastroamidjojo menjelaskan bahwa pada umumnya negara-negara Asia-Afrika yang paling merasakan pengaruh dari perang dingin. Oleh karena itu, suatu usaha bersama harus dilakukan untuk membebaskan negara-negara Asia-Afrika dari tekanan-tekanan yang disebabkan oleh perang dingin. Pernyataan tersebut mencerminkan ide dan kehendak pemerintah Indonesia untuk mempererat kerja sama di antara negara-negara Asia dan Afrika.
Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Ceylon (Srilanka) Sir John Kotelawala mengundang para Perdana Menteri dari Birma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud mengadakan suatu pertemuan informal di negaranya.
Undangan tersebut diterima baik oleh semua pimpinan pemerintah negara yang diundang. Pertemuan yang kemudian disebut Konferensi Kolombo itu dilaksanakan pada 28 April sampai dengan 2 Mei 1954. Konferensi ini membicarakan masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama di antaranya soal keamanan internasional dan stabilitas di Asia.
Konferensi dimulai pada 28 April 1954 di gedung senat di Kolombo, dihadiri oleh semua perdana menteri yang diundang. Ketika pidato pembukaan, para perdana Menteri menyampaikan tema yang hampir sama yaitu persoalan perang dingin yang berdampak pada meningkatnya ketegangan-ketegangan di Asia.
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo menyampaikan kekhawatiran akan munculnya kembali bahaya kolonialisme dalam bentuk lama ataupun baru. Untuk itu ia menyatakan bahwa konferensi tidak hanya membantu meredakan perang dingin, tetapi juga menjadi titik temu bagi kelanjutan perjuangan melawan kolonialisme.
Di dalam konferensi tersebut, hal yang menarik perhatian para peserta konferensi adalah usulan dari Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo untuk mengadakan pertemuan yang lebih luas, bukan hanya diikuti oleh negara-negara Asia tetapi juga negara-negara Afrika yang sedang menghadapi permasalahan yang sama. Pernyataan tersebut memberi arah kepada lahirnya konferensi negara-negara Asia-Afrika.
3. Usaha-Usaha Persiapan Konferensi Asia-Afrika
Salah satu kesepakatan di Konferensi Kolombo adalah memberi tugas kepada Indonesia untuk menjajaki kemungkinan diadakannya Konferensi Asia-Afrika (KAA).
Pemerintah Indonesia selanjutnya melakukan pendekatan melalui saluran diplomatik kepada 18 negara Asia-Afrika. Tujuannya adalah mengetahui sejauh mana pendapat negara-negara tersebut terhadap ide mengadakan KAA. Di dalam pendekatan tersebut dijelaskan bahwa tujuan utama konferensi itu ialah untuk membicarakan kepentingan bersama bangsa-bangsa Asia-Afrika, mendorong terciptanya perdamaian dunia, dan mempromosikan Indonesia sebagai tempat konferensi.
Pada umumnya negara-negara yang dihubungi menyambut baik ide tersebut dan menyetujui Indonesia sebagai tuan rumahnya, walaupun dalam hal waktu dan peserta konferensi terdapat perbedaan pandangan.
Desakan agar segera diadakan konferensi negara-negara Asia-Afrika kembali disampaikan oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo ketika berkunjung ke India pada September 1954. Pada kunjungan tersebut Ali Sastroamidjojo dan Nehru membicarakan perkembangan yang terjadi di dunia, khususnya Asia Tenggara sejak berakhirnya Konferensi Kolombo.
Dari hasil pertemuan itu kedua perdana menteri mengeluarkan pernyataan bersama menyetujui perlunya KAA dilakukan secepat mungkin dan juga kesepakatan agar sebelum KAA diadakan perlu adanya pertemuan antara perdana menteri negara-negara Konferensi Kolombo.
Setelah lawatannya ke India, PM Ali Sastroamidjojo selanjutnya mengunjungi Birma. Pada akhir kunjungan juga disepakati dengan Perdana Menteri U Nu bahwa KAA sangat perlu dan bermanfaat bagi perdamaian dunia.
Setelah serangkaian pertemuan dan penjajakan yang dilakukan Indonesia, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengundang para perdana menteri yang hadir di Konferensi Kolombo untuk mengadakan pertemuan di Bogor pada tanggal 28-31 Desember 1954.
Pertemuan yang disebut Konferensi Bogor itu telah mengajukan rekomendasi untuk:
1. Mengadakan KAA di Bandung pada April 1955.
2. Menetapkan lima negara peserta Konferensi Bogor sebagai negara-negara sponsor.
3. Menetapkan 25 negara-negara Asia dan Afrika yang akan diundang.
4. Menentukan empat tujuan pokok dari KAA, yaitu untuk;
a) memajukan kemauan baik dan kerja sama antara bangsa-bangsa Asia-Afrika dalam menjelajah dan memajukan kepentingan-kepentingan bersama mereka serta memperkokoh hubungan persahabatan dan tetangga baik;
b) meninjau masalah-masalah hubungan sosial, ekonomi dan kebudayaan dari negara-negara yang diwakili;
c) mempertimbangkan masalah-masalah sosial, ekonomi dan kebudayaan dari negara-negara yang diwakili;
d) mempertimbangkan masalah-masalah kepentingan khusus dari bangsa Asia dan Afrika, seperti masalah mengenai kedaulatan nasional, rasialisme dan kolonialisme;
e) meninjau kedudukan Asia-Afrika serta rakyatnya, serta memberikan sumbangan yang dapat mereka berikan dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama dunia.
4. Panitia Pelaksana Konferensi Asia-Afrika
Di dalam persiapan pelaksanaan KAA, Indonesia membentuk sekretariat konferensi yang diwakili oleh negara-negara penyelenggara. Untuk mewujudkan keputusan-keputusan Konferensi Bogor, segera dibentuk Sekretariat Bersama (Joint Secretariat) oleh lima negara penyelenggara. Indonesia diwakili oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri Roeslan Abdulgani yang juga menjadi ketua, dan 4 (empat) negara lainnya diwakili oleh Kepala-kepala Perwakilan Negara masing-masing di Jakarta, yaitu U Mya Sein dari Birma, M. Saravanamuttu dari Srilanka, B.F.H.B. Tyobji dari India, dan Choudhri Khaliquzzaman dari Pakistan.
Di dalam Sekretariat Bersama terdapat 10 (sepuluh) orang staf yang melaksanakan pekerjaan sehari-hari, terdiri atas 2 (dua) orang dari Birma, seorang dari Srilanka, 2 (dua) orang dari India, 4 (empat) orang dari Indonesia, dan seorang dari Pakistan.
Selain itu terdapat pula 4 (empat) komite terdiri atas Komite Politik, Komite Ekonomi, Komite Sosial dan Komite Kebudayaan. Terdapat pula panitia yang menangani bidang-bidang : keuangan, perlengkapan, dan pers.
Pemerintah Indonesia sendiri pada 11 Januari 1955 membentuk Panitia Interdepartemental (Interdepartemental Committee) yang diketuai oleh Sekretaris Jenderal Sekretariat Bersama dengan anggota-anggota dan penasehat yang berasal dari berbagai departemen guna membantu persiapan-persiapan konferensi.
Di Bandung, tempat diadakannya konferensi, dibentuk Panitia Setempat (Local Committee) pada 3 Januari 1955 yang diketuai oleh Sanusi Hardjadinata, Gubernur Jawa Barat. Panitia setempat bertugas mempersiapkan dan melayani soal-soal yang bertalian dengan akomodasi, logistik, transport, kesehatan, komunikasi, keamanan, hiburan, protokol, penerangan, dan lain-lain.
Gedung Concordia dan Gedung Dana Pensiun dipersiapkan sebagai tempat sidang-sidang konferensi. Hotel Homann, Hotel Preanger, dan 12 (dua belas) hotel lainnya serta perumahan perorangan dan pemerintah dipersiapkan pula sebagai tempat menginap para tamu yang berjumlah sekitar 1.300 orang. Keperluan transportasi dilayani oleh 143 mobil, 30 taksi, 20 bus.
Di dalam kesempatan memeriksa persiapan-persiapan terakhir di Bandung pada 17 April 1955, Presiden Soekarno meresmikan penggantian nama Gedung Concordia menjadi Gedung Merdeka, Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwi Warna, dan sebagian Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia-Afrika. Penggantian nama tersebut dimaksudkan untuk lebih menyemarakkan konferensi dan menciptakan suasana konferensi yang sesuai dengan tujuan konferensi.
Pada 15 Januari 1955, surat undangan KAA dikirimkan kepada kepala pemerintahan 25 (dua puluh lima) negara Asia dan Afrika. Dari seluruh negara yang diundang hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu Federasi Afrika Tengah (Central African Federation), karena masih dibawah pemerintahan jajahan Perancis saat itu. Sedangkan 24 (dua puluh empat) negara lainnya menerima baik undangan itu, Sebagian besar delegasi peserta konferensi tiba di Bandung melalui Jakarta pada 16 April 1955.
Satu hari sebelum KAA dibuka, pada 17 April 1955, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengundang para ketua delegasi yang telah datang di Jakarta untuk membicarakan prosedur dan agenda guna melancarkan jalannya konferensi. Pembicaraan secara informal tersebut menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
1. Ketua konferensi ialah Perdana Menteri Indonesia.
2. Rules of procedure disusun bersama sesederhana mungkin.
3. Keputusan tidak akan diambil melalui pemungutan suara melainkan atas dasar kata-sepakat dari seluruh peserta konferensi.
4. Sekretariat Bersama akan bertindak sebagai Sekretariat Konferensi dalam bentuk dan susunan yang sama.
5. Lima pokok acara yang akan dibicarakan ialah: (a) Kerjasama ekonomi, (b) Kerjasama kebudayaan, (c) Hak-hak asasi manusia dan hak menentukan nasib sendiri (termasuk soal Palestina dan rasialisme), (d) Masalah bangsa-bangsa yang tidak merdeka (termasuk soal Irian Barat dan soal Afrika Utara), (e) Masalah perdamaian dunia dan kerjasama internasional (termasuk tentang PBB, soal Indo-China, Aden dan soal pengurangan senjata pemusnah massal)
5. Pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika
Pada Senin, 18 April 1955 sekitar pukul 08.30 WIB, para delegasi dari berbagai negara berjalan meninggalkan Hotel Homann dan Hotel Preanger menuju Gedung Merdeka secara berkelompok untuk menghadiri pembukaan KAA. Banyak di antara mereka memakai pakaian nasional masing-masing. Mereka disambut hangat oleh rakyat yang berdiri disepanjang Jalan Asia-Afrika dengan tepuk tangan dan sorak sorai riang gembira.
Perjalanan para delegasi dari Hotel Homann dan Hotel Preanger ini kemudian dikenal dengan nama Langkah Bersejarah “The Bandung Walk”. Sekitar pukul 09.00 WIB, semua delegasi sudah tiba di Gedung Merdeka.
Tidak lama kemudian rombongan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, tiba di Gedung Merdeka. Di depan pintu gerbang Gedung Merdeka kedua pucuk pimpinan pemerintah Indonesia itu disambut oleh lima perdana menteri negara sponsor.
Setelah diperdengarkan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, maka Presiden RI Ir. Soekarno mengucapkan pidato pembukaan yang berjudul “Let a New Asia and New Africa be Born” (Lahirlah Asia Baru dan Afrika Baru) pada pukul 10.20 WIB.

Dalam kesempatan tersebut, Soekarno menyatakan bahwa “Peserta konferensi yang berasal dari kebangsaan yang berlainan, begitu pula latar belakang sosial dan budaya, agama, sistem politik, bahkan warna kulit pun berbeda-beda. Meskipun demikian, kita dapat bersatu, dipersatukan oleh pengalaman pahit yang sama akibat kolonialisme, oleh ketetapan hati yang sama dalam usaha mempertahankan dan memperkokoh perdamaian dunia,”
Pada bagian akhir pidatonya, Soekarno mengatakan:
“I hope that it will give evidence of the fact that we, Asian and African leaders, understand that Asia and Africa can prosper only when they are united, and that even the safety of the world at large can not be safeguarded without an united Asia-Africa.
I hope that it conference will give guidance to mankind, will point out to mankind the way which it must take to attain safety and peace. I hope that it will give evidence that Asia and Africa have been reborn, that a New Asia and New Africa have been born!”
“Saya berharap konferensi ini akan menegaskan kenyataan, bahwa kita, pemimpin pemimpin Asia dan Afrika, mengerti bahwa Asia dan Afrika hanya dapat menjadi sejahtera, apabila mereka bersatu, dan bahkan keamanan seluruh dunia tanpa persatuan Asia-Afrika tidak akan terjamin. Saya harap konferensi ini akan memberikan pedoman kepada umat manusia, akan menunjukkan kepada umat manusia jalan yang harus ditempuhnya untuk mencapai keselamatan dan perdamaian.
Saya berharap, bahwa akan menjadi kenyataan, bahwa Asia dan Afrika telah lahir kembali. Ya, lebih dari itu, bahwa Asia Baru dan Afrika Baru telah lahir!”
Pada pukul 10.45 WIB. Presiden Soekarno mengakhiri pidatonya, dan selanjutnya bersama rombongan meninggalkan ruangan. Perdana Menteri Indonesia, sebagai pimpinan sidang sementara, membuka sidang kembali. Atas usul Ketua Delegasi Mesir (Perdana Menteri Gamal Abdel Nasser) yang kemudian disetujui oleh pimpinan delegasi-delegasi : Republik Rakyat China, Yordania, dan Filipina, serta karena tidak ada calon lain yang diusulkan, maka secara aklamasi Perdana Menteri Indonesia terpilih sebagai ketua konferensi.
Selain itu, Ketua Sekretariat Bersama Konferensi, Roeslan Abdulgani dipilih sebagai Sekretaris Jenderal Konferensi.
Sidang konferensi terdiri atas sidang terbuka untuk umum dan sidang tertutup hanya bagi peserta konferensi. Dibentuk tiga komite, yaitu Komite Politik, Komite Ekonomi, dan Komite Kebudayaan.
Semua kesepakatan tersebut selanjutnya disetujui oleh sidang dan susunan pimpinan konferensi adalah sebagai berikut :
Ketua Konferensi : Mr. Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Indonesia
Ketua Komite Politik : Mr. Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Indonesia
Ketua Komite Ekonomi : Prof. Ir. Roosseno, Menteri Perekonomian Indonesia
Ketua Komite Kebudayaan : Mr. Moh. Yamin, Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Indonesia
Dalam sidang-sidang selanjutnya muncul beberapa kesulitan yang telah diduga sebelumnya. Kesulitan-kesulitan itu terutama terjadi dalam sidang Komite Politik. Perbedaan pandangan politik dan masalah-masalah yang dihadapi antara negara-negara Asia-Afrika muncul ke permukaan.
Akan tetapi berkat sikap bijaksana dari pimpinan sidang serta hidupnya rasa toleransi dan kekeluargaan di antara peserta konferensi, maka jalan buntu selalu dapat dihindari dan ketegangan dapat diakhiri.
Setelah melalui sidang-sidang yang menegangkan dan melelahkan selama satu minggu, maka Sidang Umum terakhir KAA dilaksanakan pada 24 April 1955.
Dalam Sidang tersebut dibacakan rumusan pernyataan dari tiap-tiap panitia sebagai hasil konferensi oleh Sekretaris Jenderal Konferensi. Sidang Umum kemudian menyetujui seluruh pernyataan tiap-tiap panitia tersebut. Acara dilanjutkan dengan pidato sambutan para ketua delegasi.
Setelah itu, Ketua Konferensi menyampaikan pidato penutupan dan menyatakan bahwa KAA ditutup.
Dalam komunike terakhir itu dinyatakan bahwa KAA telah meninjau kepentingan bersama negara-negara Asia dan Afrika dan telah merundingkan cara-cara bagaimana dapat bekerja sama dengan lebih erat di bidang ekonomi, kebudayaan, dan politik.
Hal yang paling monumental dari hasil KAA ialah Dasa Sila Bandung, yaitu suatu pernyataan politik berisi prinsip-prinsip dasar dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama dunia.
Adapun 10 prinsip itu ialah :
1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta azas-azas yang termuat dalam piagam PBB.
2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa-bangsa.
3. Mengakui persamaan semua suku-suku bangsa dan persamaan semua bangsa-bangsa besar maupun kecil.
4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soal-soal dalam negeri negara lain.
5. Menghormati hak tiap-tiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara sendirian atau secara kolektif, yang sesuai dengan Piagam PBB.
6. a. Tidak mempergunakan peraturan-peraturan dari pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu dari negara-negara besar.
b. Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain.
7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi ataupun penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik sesuatu negara.
8. Menyelesaikan segala perselisihan-perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrase atau penyelesaian hakim atau pun lain-lain cara damai lagi menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan, yang sesuai dengan Piagam PBB.
9. Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama.
10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional. (ATN)
Discussion about this post