ASIATODAY.ID, JAKARTA – Aksi nyata pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan kebijakan pembangunan hijau (Green Development) mendapat sorotan luas.
Pasalnya, terobosan Presiden Jokowi dalam mengimplementasikan kebijakan pembangunan hijau belum terlihat nyata.
Kebijakan pembangunan rendah karbon misalnya, Indonesia masih tertinggal di level Asia Tenggara (ASEAN). Thailand, Filipina dan Vietnam bahkan jauh lebih progresif.
Dengan demikian, Indonesia dipandang sulit mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 sebagaimana yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Menurut Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Poppy Ismalina, prestasi Jokowi tahun ini adalah naiknya status Indonesia menjadi negara dengan kelas pendapatan menengah ke atas.
“Meski ada prestasi, ini tidak mudah untuk diraih. Di mata investor global, menjalankan usaha baru di Indoneia makin mudah dan cepat tentunya,” ujarnya dalam forum diskusi virtual bertajuk ‘Evaluasi Setahun Jokowi Bidang Ekonomi dan Lingkungan: Transformasi atau Kemunduran?’ yang diprakarsai oleh Indef dan Greenpeace, Jumat (13/11/2020).
Poppy mengungkapkan, kinerja Jokowi dalam daya saing global jalan di tempat. Terlihat aktivitas perdagangan internasional hanya 20 persen dari dinamika ekonomi Indonesia.
Penetrasi produk Indonesia di pasar global juga rendah. Pada 2017, persentase total ekspor 0,8 persen. Sedangkan ekspor produk manufaktur Indonesia terhadap transaksi global 0,5 persen.
“Variasi produk ekspor juga tidak berkembang dari 1996 sampai 2017. Lalu diversifikasi produk ekspor yang kurang berkembang. Selama 20 tahun didominasi sektor primer,” jelasnya.
Sementara dari sisi perlindungan lingkungan hidup, konservasi hutan dan pengurangan emisi karbon, kerja Jokowi malah mundur. Ini dibuktikan dengan disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja.
Dalam regulasi tersebut kata dia, industri tidak lagi diwajibkan mendapatkan izin lingkungan hidup dan diubah menjadi persetujuan lingkungan. Sementara, sembilan kriteria usaha yang berdampak penting dihapus.
“Omnibus Law menjadi ancaman bagi perlindungan lingkungan hidup dan konservasi hutan di Indonesia,” ucapnya
Sorotan juga datang dari Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya.
Menurut dia, satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin belum menunjukkan transformasi yang nyata untuk merealisasikan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada tahun 2030, atau 41 persen dengan dukungan internasional sulit dicapai.
Tata Mustasya menuturkan, berbagai sasaran dan strategi pembangunan berkelanjutan sebetulnya sudah ada di dalam beberapa kebijakan kunci, seperti Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang mencantumkan pembangunan lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim sebagai satu dari tujuh prioritas.
“Saat ini yang dibutuhkan aksi nyata dan segera,” tegas Tata.
“Terdapat gap yang besar antara strategi besar pembangunan dengan turunan kebijakan dan implementasinya,” tambah Tata.
Pada sektor energi, terlihat pemerintah masih memprioritaskan energi kotor dari batu bara padahal sektor energi merupakan sumber emisi terbesar sehingga transisi energi menjadi kunci untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Mengacu pada Rencana Strategis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020-2024, produksi batu bara akan terus meningkat.
Pada 2019, porsi batu bara dalam bauran energi primer pembangkit listrik mencapai 62,2 persen.
“Rendahnya alokasi APBN untuk aktivitas Pembangunan Rendah Karbon (LCD) selama 2018-2020 baik secara nominal (Rp34,5 triliun, Rp23,8 triliun dan Rp23,4 triliun) dan proporsi ke APBN (1,6 persen, 1,4 persen dan 0,9 persen) adalah indikasi kuat bahwa semangat transformasi hijau belum jadi bagian penting dalam merespons pandemi dan build back better seperti dilakukan banyak negara lain,” paparnya.
Pengkajian lebih lanjut menunjukkan sekitar 60 persen dari dana LCD dialokasikan untuk transportasi yang didominasi oleh subsidi tarif transportasi publik.
“Transformasi sektor energi yang vital untuk mencapai target 23 persen pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) di bauran energi mendapat porsi lebih kecil dan masih belum didukung feed-in-tarif yang sesuai dengan karakteristik EBT,” jelas Berly Martawardaya, Direktur Riset INDEF.
Berly menegaskan energi terbarukan seharusnya menjadi prioritas.
Tipe energi ini terbukti menciptakan lapangan kerja tiga kali lebih banyak daripada batu bara di setiap mata rantai selain tidak menghasilkan polusi dan gangguan pernapasan.
Ditambah biaya tenaga surya dan angin terus menurun seiring dengan kemajuan teknologi sehingga meningkatkan efisiensi.
Ia memandang, pemerintah perlu merevisi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dengan target angka yang lebih ambisius.
“Thailand, Filipina dan Vietnam telah menunjukkan bahwa meningkatkan kapasitas terpasang EBT 5-20x dalam 5 tahun bisa dilakukan,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post