ASIATODAY.ID, YANGON – Para jenderal Myanmar dilaporkan telah menyampaikan sikap politiknya untuk mendekatkan hubungan dengan Amerika Serikat (AS) dan lepas dari cengkraman dan pengaruh China.
Diplomat swasta Israel-Kanada yang bekerja untuk junta militer Myanmar Ari Ben Menashe mengatakan, para jenderal juga berusaha meninggalkan politik setelah kudeta.
Dalam wawancara via telepon, Ben-Menashe menyampaikan bahwa dia dan perusahaannya Dickens & Madson Canada disewa oleh jenderal Myanmar untuk membantu berkomunikasi dengan Amerika Serikat dan negara lain yang dia sebut “salah paham” dengan junta.
Menurut Ari, pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi sejak 2016 membangun hubungan yang terlalu dekat dengan China agar disukai para jenderal.
“Ada dorongan nyata untuk bergerak ke Barat dan Amerika Serikat daripada mencoba lebih dekat dengan China,” kata Ben-Menashe Sabtu (6/3/2021) kepada Reuters.
“Mereka tidak ingin menjadi boneka China,” ujarnya.
Ari Ben-Menashe yang merupakan mantan pejabat intelijen militer Israel mengatakan para jenderal Myanmar juga ingin memulangkan Muslim Rohingya yang melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh.
Ben-Menashe mengungkapkan telah melakukan pembicaraan setelah kunjungan ke Naypyidaw, guna menandatangani perjanjian dengan menteri pertahanan junta militer, Jenderal Mya Tun Oo.
Imbalannya, dia akan dibayar dengan biaya yang dirahasiakan jika sanksi terhadap militer dicabut.
Seorang juru bicara pemerintah militer tidak menjawab panggilan telepon untuk dimintai komentar.
Ben-Menashe mengaku ditugaskan untuk menghubungi Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) agar mendapatkan dukungan atas rencana pemulangan minoritas Muslim Rohingya. Ratusan ribu orang Rohingya melarikan diri dari serangan militer pada 2016 dan 2017.
“Ini pada dasarnya mencoba untuk mendapatkan dana bagi mereka agar mengembalikan apa yang mereka sebut Bengali,” ujar Ben-Menashe, menggunakan istilah yang digunakan beberapa orang di Myanmar untuk Rohingya, menyiratkan bahwa mereka bukan dari negara tersebut.
Hingga kini, situasi di Myanmar makin mencekam. Ratusan ribu orang telah melakukan protes di hampir setiap kota di Myanmar selama berminggu-minggu menuntut pembebasan Suu Kyi dan pengembalian kekuasaan.
Namun beberapa hari ini polisi kerap melepas tembakan dan membubarkan massa dengan gas air mata.
PBB mencatat setidaknya ada lebih dari 50 orang tewas dan 1.700 orang ditangkap sejak aksi melawan kudeta berlangsung.
Ben-Menashe menyebut bahwa polisi yang menangani protes, bukan militer, meski ada foto dan rekaman video tentara bersenjata hadir dalam demonstrasi tersebut.
Dia berargumen bahwa militer ditempatkan untuk mengawasi pemulihan demokrasi setelah kudeta yang dilancarkannya.
“Mereka ingin sepenuhnya keluar dari politik, tetapi ini adalah proses,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post