ASIATODAY.ID, JAKARTA – Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR Republik Indonesia, Fadli Zon menyoroti lambannya sikap ASEAN dalam merespon krisis politik di Myanmar.
Fadli Zon menyatakan pihaknya mengutuk apa yang dilakukan rezim kudeta Myanmar terhadap rakyat sipil di negeri itu.
Sikap BKSAP ini didasarkan atas pengamatan secara seksama dan sebagai institusi yang dimandatkan untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam konstitusi.
“Sebagai Ketua BKSAP DPR RI, saya mengutuk keras aksi brutal rezim militer Myanmar terhadap rakyat sipil dan para demonstran pro-demokrasi yang menyebabkan jatuhnya puluhan korban tewas, luka-luka, dan penahanan ribuan orang tanpa proses hukum,” ujar Fadli, dikutip Jumat (12/3/2021).
Fadli menegaskan, BKSAP DPR juga mendesak PBB, ASEAN, dan komunitas internasional lainnya untuk secara cepat melakukan langkah-langkah yang diperlukan.
Menurut Fadli Zon, Komunitas internasional terutama PBB dan ASEAN harus sigap untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraan rakyat Myanmar pada umumnya sebagai prioritas. Demikian pula repatriasi ratusan ribu warga etnis Rohingya yang diusir dengan penuh kekerasan oleh militer Myanmar.
Langkah prioritas lainnya lanjut Fadli, yaitu memulihkan demokrasi dan menjaga perdamaian, stabilitas, dan kesejahteraan kawasan.
“Saya mendesak rezim militer Myanmar untuk membebaskan para tahanan termasuk anggota parlemen, oposisi, jurnalis, aktivis HAM dan demokrasi serta menjamin keselamatan petugas medis dalam menyelamatkan mereka yang terdampak dalam aksi menentang kudeta,” sambungnya.
Dunia internasional terutama PBB dan ASEAN kata Fadli harus segera merumuskan cara yang sesuai dengan hukum dan norma internasional agar militer Myanmar dan pihak-pihak yang berkonflik di Myanmar dapat berdialog secara setara, yaitu dengan pembebasan tokoh-tokoh oposisi sipil terlebih dahulu.
“Saya menilai ASEAN lamban dalam menyikapi kudeta itu. ASEAN seharusnya lebih progresif dan dinamis dalam memaknai prinsip non-interference. Prinsip non-interference seharusnya ditempatkan dalam kerangka kewajiban negara-negara anggota ASEAN untuk menjalankan prinsip dan nilai-nilai bersama secara utuh yang termuat dalam Piagam ASEAN,” imbuhnya.
Bersama BKSAP DPR, Fadli juga mendukung penuh Pemerintah Indonesia sebagai peacemaker, problem solve, dan bridge builder dalam menyelesaikan krisis Myanmar.
“Tentu saja itu harus dijalankan secara prudence agar tidak mengorbankan prinsip good neighborhood policy dengan tetap berkomitmen untuk menjadikan demokrasi dan HAM sebagai salah satu norma dasar pembentukan Komunitas Keamanan ASEAN,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post