ASIATODAY.ID, GLASGOW – Pemerintah Inggris melalui Menteri Negara Pasifik dan Lingkungan, Zac Goldsmith, mengundang para pemimpin dunia untuk berkomitmen menjaga kesehatan laut dunia untuk mencapai emisi nol karbon dan menjaga temperatur bumi tidak melebihi 1.50 C dalam pertemuan COP26 Presidency Ocean Action Ministerial Event pada Jumat (5/11/2021).
Mewakili Pemerintah Indonesia, Deputi Bidang Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Nani Hendiarti turut berpartisipasi dalam pertemuan tersebut bersama pemimpin negara lainnya dan pakar kelautan dunia.
“Laut yang sehat merupakan poin penting untuk melawan perubahan iklim. Melindungi laut dan seluruh ekosistemnya sangat penting untuk membantu kita mengatasi perubahan iklim dan menanggapi dampaknya”, ujar Menteri Goldsmith dalam pembukaannya, dikutip siaran pers kemenkomarves, Senin (8/11/2021).
Lebih lanjut disampaikan, diskusi ini ingin menekankan bahwa lautan merupakan salah satu bagian penting dari ketahanan iklim bumi. Negara-negara kepulauan tentunya dibutuhkan komitmen dan aksi nyata demi mengurangi dampak pemanasan global khususnya bagi masyarakat pesisir.
Pertemuan ini hadir sebagai salah satu bentuk pengingat bagi seluruh dunia untuk mulai menyadari pentingnya tindakan mitigasi dari kehidupan kemaritiman tersebut.
Setelah dibuka oleh Menteri Goldsmith, pernyataan pertama disampaikan oleh Sylvia Earle; pakar biologi laut dunia, “Laut adalah sumber kehidupan dan menyerukan untuk menjaga 30%-nya sebagai kawasan yang terjaga,” tegasnya.
Indonesia pun menjadi salah satu negara yang dikaruniai lautan luas dengan berbagai sumber dayanya, dan tidak menutup fakta bahwa kegiatan kemaritiman memberikan kontribusi dalam menurunkan keseimbangan iklim kelautan yang memiliki dampak luas bagi manusia.
Pada pernyataan Indonesia, Deputi Nani menyampaikan aksi rencana strategis pemerintah dalam rehabilitasi mangrove seluas 600.000 hektar sampai dengan tahun 2024 sebagai bentuk kontribusi Indonesia dalam menanggulangi perubahan iklim.
“Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki cadangan karbon biru yang begitu besar, untuk itu kami terus berjibaku dalam merehabilitasi mangrove sebagai salah satu sumbernya dan tentunya ini membutuhkan dukungan dari dunia internasional,” tegasnya.
“Mangrove tidak hanya untuk mitigasi perubahan iklim, tapi memberikan manfaat bagi masyarakat pesisir melalui ekonomi biru. Masyarakat pesisir dapat memanfaatkan produk turunannya untuk menambah pendapatan”, tambah Deputi Nani.
Turut hadir pula membuka John Kerry, Utusan Khusus Presiden AS untuk Perubahan Iklim yang menyampaikan pengalamannya hidup di lautan semasa muda dan menegaskan bahwa lautan adalah kunci untuk solusi perubahan iklim.
Selain Indonesia, perwakilan menteri dari beberapa negara yang diundang berasal dari Ekuador, Seychelles, Costa Rica, Fiji dan Belize. Pertemuan ini tentunya memberikan komitmen nyata bagi berbagai negara perwakilan yang ada, dalam mengawal serius perkembangan aksi tiap negara dalam menjaga iklim bumi.
Pemulihan Ekonomi Berbasis Laut
Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi memastikan implementasi berbagai komitmen Indonesia untuk Pemulihan Ekonomi Berbasis Laut yang Berkelanjutan di Indonesia.
Pernyataan ini disampaikan Deputi Basilio yang mewakili Indonesia pada Ocean Panel Leader Meeting, High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy (HLP SOE) dalam rangkaian agenda COP-26 UNFCCC di Glasgow, Skotlandia, pada hari Selasa (2/11/2021).
HLP SOE merupakan forum yang diinisiasi oleh PM Norwegia pada tahun 2018 dengan 14 negara anggota, yakni: Norwegia, Palau, Australia, Kanada, Chili, Fiji, Ghana, Jamaika, Jepang, Kenya, Meksiko, Namibia, Portugal dan Indonesia.
Pada pertemuan ini, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Basilio Dias Araujo mengingatkan dua tantangan utama yang dihadapi saat ini, yaitu pandemi Covid-19 dan dampak sosial-ekonominya, sehingga perlu langkah strategis pemulihan yang konkrit untuk menanganinya.
“Pertama, kita harus percepat pemulihan ekonomi melalui ekonomi berbasis laut yang berkelanjutan, ini ada di Sustainable Ocean Plans hingga tahun 2025,” tutur Deputi Basilio.
Tantangan pemulihan ekonomi sungguh tidak mudah, ini sesuai perkiraan IMF, bahwa pertumbuhan ekonomi dunia menurun dari -3% menjadi -4.9% di tahun 2020.
“Kita harus kerja keras dan perkuat kerjasama sehingga (ekonomi) negara anggota Ocean Panel bisa bangkit lebih cepat,” seru Deputi Basilio.
Deputi Basilio juga menyampaikan Indonesia siap memimpin wujudkan agenda strategis Ekonomi Laut Berkelanjutan. Hal ini jelas akan didukung para pemimpin dunia dalam agenda G20 yang akan datang pada tahun 2022 dan ASEAN pada tahun 2023 yang Indonesia akan jadi Pemimpin dan tuan rumah untuk kedua Organisasi prestisius tersebut.
“Kedua, kita harus perkuat kerjasama regional dan internasional,” lanjut Deputi Basilio.
Indonesia berkomitmen melakukan transisi ke ekonomi rendah karbon melalui pendanaan untuk membangun pembangkit energi bersih.
“Kami kerjasama dengan pemerintah daerah dan sektor swasta, kolaborasi untuk terus mengurangi penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara,” terangnya.
Menurut Deputi Basilio, penataan “transformasi” tentunya harus dilakukan hati-hati, terukur dan bertahap.
Deputi Basilio meyakini serangkaian tindakan prioritas untuk segera kurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akan berkontribusi signifikan bagi kesehatan laut dan ekonomi masyarakat pesisir dan nelayan yang bergantung pada sumber daya laut.
Terakhir, Deputi Basilio menilai Pertemuan Leaders tentang Ekonomi Laut Berkelanjutan ini menjadi momentum strategis dan peran penting untuk menguatkan kerjasama antar negara dan memperbaiki pemulihan ekonomi serta menjaga sustainabilitas laut sesuai target Sustainable Development Goals (SDGs) khususnya target #14.
“Deklarasi Statement by the High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy di COP-26 tahun ini jelas memiliki nilai politis strategis. Pernyataan para Pemimpin dari 14 negara anggota SOE ini akan jadi kekuatan baru, harapan baru bagi pemulihan ekonomi dan ketahanan laut kita pasca COVID-19,” pungkas Deputi Basilio.
Green and Smart Port
Untuk memitigasi dampak perubahan iklim, Indonesia berkomitmen melakukan berbagai perubahan salah satunya di sektor NDC, termasuk sektor transportasi laut. Komitmen ini dibahas pada salah satu sesi side event COP26 di Indonesia Pavilion dengan judul Green and Smart Ports In Climate Actions Indonesia A Transition to Blue Port – Balancing Environmental Challenges With Economic Demands, di Glasgow, Skotlandia pada Selasa (2/11/2021).
Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan bahwa sektor transportasi, khususnya maritim merupakan salah satu penyumbang utama emisi GRK akibat kegiatan pelayaran dan pelabuhan masyarakat.
“Kajian GRK IMO Keempat 2020 memperkirakan bahwa kegiatan pelayaran telah mengeluarkan total satu juta dan lima puluh enam ton CO2 pada 2018 terhitung sekitar dua koma delapan sembilan persen dari total emisi CO2 antropogenik global untuk tahun yang sama,” ujar Menhub Budi.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal atau MARPOL Annex VI untuk menetapkan ketentuan yang sesuai terkait tindakan perlindungan lingkungan di wilayah pelabuhan. Hal lainnya yang pemerintah Indonesia lakukan adalah dengan menggunakan truk CNG di area pelabuhan, menggunakan penghubung pelabuhan untuk menghubungkan kapal ke instalasi linstrik di dermaga. Upaya ini dilakukan untuk menciptakan green port di Indonesia.
Pada kesempatan yang sama, Staf Ahli Menteri (SAM) Bidang Manajemen Konektivitas Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Sahat Panggabean menjelaskan lebih lanjut terkait penguatan implementasi kebijakan green port dan ekosistem konektivitas di pelabuhan-pelabuhan utama indonesia terkait perubahan iklim.
“Merujuk pada Paris Agreement, pemerintah Indonesia telah menetukan target pengurangan emisi pada tahun 2030, 29 persen dengan dukungan nasional dan 40 persen dukungan internasional,” ujar SAM Sahat.
Untuk mencapai target tersebut pemerintah Indonesia telah menetapkan mitigasi dalam lima aksi yaitu hutan dan lahan gambut, energi dan transportasi, limbah, agrikultur, serta sektor industri. Tidak dapat disangkal, dampak perubahan iklim yang dikaitkan dengan sektor transportasi, yaitu pelabuhan, telah menumbuhkan kesadaran dari pihak-pihak terkait untuk menciptakan kondisi tata kelola pelabuhan yang kondusif.
“Indonesia telah menerapkan kerangka kerja dan monitoring online sistem dalam pengurangan efek rumah kaca khususnya sektor energi dan transportasi yang berkaitan dengan pengelolaan sampah dan upaya kualitas lingkungan,” ungkapnya.
Menurut Staf Ahli Menteri Sahat, Indonesia telah merancang 4 element terkait design green port yaitu management ISO series, aktivitas pelabuhan, konservasi energi, serta manajemen lingkungan.
“Mengacu pada limbah pelabuhan terdapat lima karakteristik yaitu, limbah berminyak, limbah berbahaya, limbah domestik, sampah, dan polusi udara.
Dalam penyusunan green port pelaksanaannya dilakukan dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi melibatkan Kementerian teknis yaitu Kemeterian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Usaha Milik Negara Seperti PT. Superintending Company of Indonesia (SUCOFINDO), serta PT. Pelabuhan Indonesia (PELINDO).
Di samping itu, kriteria green port Indonesia juga mengacu pada green port di negara lain seperti Green port Award System (GPAS), Apec Port System Network (APSN) untuk aspek manajemen, serta The World Association For Waterborn Transport Infrastructure (PIANC) untuk aspek teknis.
“Pada tahun 2019 kami telah melakukan uji coba penilaian green port di 10 pelabuhan besar di Indonesia. uji coba beberapa pelabuhan Indonesia dapat memenuhi kriteria green port dan berkomitmen untuk terus meningkatkan kinerjanya. langkah selanjutnya untuk menerapkan green port di seluruh pelabuhan di Indonesia,”imbuh SAM Sahat.
Indonesia memiliki 2459 pelabuhan di Indonesia, jika semua kriteria green port terapkan diharapkan Indonesia dapat mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca di sektor transportasi energi.
Salah satu kriteria penilaian Green Port dari segi lingkungan adalah terkait perubahan iklim, dan pelabuhan telah menjalankan program yang terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dengan melaksanakan penanaman mangrove. Pihak pelabuhan dalam hal ini PT. Pelindo dan beberapa perusahaan lainnya termasuk asosiasi dibawah koordinasi Deputi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan, Kemenko Marves akan mendukung program rehabilitasi mangrove, dan hal ini akan menambah bobot penilaian dari Green Port itu sendiri. (ATN)
Discussion about this post