ASIATODAY.ID, JAKARTA – Situasi ekonomi global menunjukkan tanda peringatan yang lebih jelas ketika data ekonomi terbaru menunjukkan manufaktur yang terjebak dalam kemerosotan, pelemahan ekspor serta penurunan sentimen.
Di Amerka Serikat, indeks aktivitas pabrik secara tak terduga turun ke level terendah sejak 2009 hingga berdampak pada turunnya saham serta imbal hasil obligasi.
Sementara itu, momok deflasi muncul setelah Korea Selatan, pemimpin utama perdagangan internasional, melaporkan penurunan harga konsumen dan Bank Sentral Australia memangkas suku bunga acuannya ke rekor terendah.
Di tengah perang dagang antara AS dan China masih berkecamuk, para eksekutif industri dari Jerman hingga Jepang dan Rusia mengeluhkan bisnis yang sepi, diikuti dengan revisi proyeksi pertumbuhan perdagangan dunia oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Kepala strategi investasi di Oppenheimer Asset Management, John Stoltzfus, mengatakan penurunan manufaktur AS adalah lampu kuning untuk ekonomi negeri Paman Sam.
“The Fed sangat mungkin untuk memotong suku bunga lagi pada akhir Oktober sebagai akibat dari penurunan ini dan selama situasi perang perdagangan tetap ditutupi ketidakpastian,” katanya, seperti dilansir dari Bloomberg, Kamis (3/10/2019).
Meskipun indeks manufaktur China mengalami perbaikan dan belanja konsumen global sebagian besar masih cukup solid, ekonomi dunia secara keseluruhan memberikan sinyal bahwa rebound belum akan terjadi dalam waktu dekat dengan meningkatnya ketegangan dagang dan ketidakpastian Brexit.
Kondisi ini meninggalkan AS, China, Inggris, dan Uni Eropa dibawah tekanan agar segera dapat mengatasi perselisihan antara mereka. Sementara itu para bankir di bank sentral dan pemerintah pusat juga harus memutar pikiran untuk mencari opsi yang dapat mendorong permintaan.
“Mungkin ada beberapa preseden sejak 1930-an prospek pertumbuhan global yang sangat dipengaruhi oleh gangguan kebijakan perdagangan,” kata Kepala Ekonom Fitch Ratings Ltd. Brian Coulton.
Ekonom UBS Group AG memperkirakan pertumbuhan global 2019 hanya akan mencapai 2,3% untuk saat ini, turun hampir 1% lebih rendah dari pada awal kuartal ketiga.
Para bankir di Danske Bank memperingatkan kemungkinan resesi global terjadi dalam dua tahun ke depan sebesar 30%. Adapun, indeks manufaktur global sedikit meningkat pada bulan September, tetapi lapangan kerja turun untuk bulan kelima.
Selain kekhawatiran terhadap ketegangan perdagangan, ada pula masalah industri yang lebih spesifik yakni pelemahan pada otomotif di Jerman dan semikonduktor di Korea Selatan.
Raksasa suku cadang mobil Jerman, Continental AG, bulan lalu menyusun rencana restrukturisasi besar-besaran yang dapat memengaruhi sebanyak 20.000 karyawannya di seluruh dunia.
Bank-bank sentral di seluruh dunia memerangi perlambatan dengan pemotongan suku bunga dan mengeluarkan stimulus moneter.
Pada saat yang mereka juga meningkatkan seruan kepada pemerintah untuk ikut serta dengan langkah-langkah fiskal, mengatakan bank sentral tidak dapat bekerja sendiri menyelamatkan ekonomi.
Indonesia Masih Jauh dari Resesi
Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta mengungkapkan, saat ini Indonesia masih jauh dari ancaman resesi. Dengan ketahanan ekonomi saat ini, Indonesia masih bisa bertahan di tengah perlambatan ekonomi global.
“Beberapa hari ini rupiah bahkan menguat, jadi hemat saya justru karena ada endogen faktor di dalam negeri itu terlalu mensimplifikasi bahwa kalau di luar katakanlah Turki resesi, Argentina, Afrika Selatan itu bukan sesuatu yang baru, kita bicara itu setahun yang lalu,” kata Arif baru-baru ini.
Menurut Arif, sejauh ini ketahanan ekonomi Indonesia ditopang konsumsi rumah tangga terbilang signifikan. Karenanya, secara fundamental Indonesia masih jauh dari bayang-bayang resesi.
“Secara market kita ini besar 260 juta penduduk, kalau kita bicara konsumsi menggerakkan ekonomi PDB-nya sudah 55 persen, orang butuh belanja, butuh barang. Jadi yang disebut dengan capital outflow itu harus kita bagi apakah itu berbasis portfolio?” sebutnya.
Mengenai laporan Bank Dunia yang menyebut bahwa Indonesia bisa terseret resesi global karena ada ancaman capital outlow (arus modal keluar) yang besar, Arif menyebut bahwa anggap saja hal itu sebagai peringatan.
Arif memandang, ancaman capital outflow mungkin ada di pasar saham itu pun hanya terbatas. Sementara untuk surat utang pemerintah, bunga yang diberikan Indonesia masih sangat bersaing.
“Surat utang negara 10 tahun di atas 7 persen ada enggak negara tetangga yang bisa kasih di atas itu? Enggak ada kan? Jadi mungkin masuk portfolio saham, mungkin ya. Tapi saham-saham investor yang jangka panjang mereka enggak bakal keluar. Top 5 itu BUMN, ada BRI, Mandiri, untungnya triliunan,” sebut dia.
“Jadi masih jauh dari ancaman resesi. Kita hargai Bank Dunia jika itu sebagai warning tapi kalau kita lihat secara fundamental kita memiliki ketahan ekonomi,” tambahnya.
Sementara, Senior Economist dan ASEAN UBS, Edward Teather menilai resesi ekonomi yang dialami Singapura akan menguntungkan Indonesia.
“Tidak perlu khawatir atas perlambatan pertumbuhan Singapura terhadap aliran modal,” kata Edward.
Edward memandang, efek pelemahan ekonomi Singapura hanya membayangi sentimen investasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara atau ASEAN. Sisi lain, kondisi tersebut akan menguntungkan Indonesia, terutaman di pasar keuangan.
Hal ini karena negara Singapura ini butuh tempat berinvestasi untuk meningkatkan ekonominya. “Percayalah, investasi di kawasan yang melambat justru menunjukkan sentimen positif ke Indonesia, mencerminkan aliran modal masuk,” ujarnya.
Ekonom Faisal Basri juga meyakini perekonomian Indonesia tidak bakal terdampak resesi global. Syaratnya, pemerintah harus bisa menjaga pertumbuhan konsumsi masyarakat di level 5 persen.
Faisal mengatakan, konsumsi masyarakat saat ini hampir 58 persen dari Produk Domestik Bruto Indonesia. Sehingga, kalau konsumsi itu terjaga maka pertumbuhan ekonomi juga aman.
“Jadi ekonomi Indonesia itu, saya fully confident, misal dunia resesi kita tuh enggak akan resesi,” ujar Faisal di Kantor Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Jakarta Selatan.
Faisal menyebut suatu negara disebut mengalami resesi apabila dalam dua triwulan berturut-turut pertumbuhan ekonominya negatif.
“Enggak ada cerita kita minus,” kata dia. Apalagi, ia melihat masyarakat Indonesia tidak akan lebih miskin dari sekarang. Sehingga, kalau pendapatan turun, konsumsi akan tetap positif.
Tak hanya resesi, Faisal juga percaya Indonesia juga tidak bakal terkena efek sekalipun terjadi krisis keuangan global. Sebab, sektor keuangan Tanah Air masih tergolong dangkal layaknya parit.
“Kita tidak mungkin tenggelam di parit, kalau sistem keuangan kita dalam, baru bisa tenggelam.”
Secara keseluruhan, Faisal memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun ini akan sekitar 5 persen. Adapun pada triwulan III pertumbuhannya diperkirakan pada kisaran 4,9 hingga 5,1 persen.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta para menterinya melaporkan perkembangan terbaru tentang upaya yang sudah mereka lakukan dalam mendorong ekosistem dunia usaha yang mendukung investasi.
“Supaya progres lebih tajam, tidak mengulang. Oleh sebab itu, Menteri Seskab saya persilakan memberikan kelanjutannya,” kata Jokowi saat memimpin rapat terbatas tentang Penataan dan Persyaratan Penanaman Modal di Kantor Presiden, Jakarta.
Jokowi mengatakan, rapat terbatas kali ini merupakan kelanjutan dari rapat sebelumnya. Dari informasi yang diterima, kata Jokowi, ekonomi global yang melambat membuat banyak negara mengalami resesi. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post