ASIATODAY.ID, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat Donald Trump sedang mengubah kebijakan perdagangannya dengan mengeluarkan beberapa negara dari daftar negara berkembang.
Pemerintah Amerika Serikat tengah mempersempit daftar internalnya terkait negara-negara yang masuk kategori developing dan least-developed untuk menurunkan batasan syarat suatu negara bisa diinvestigasi karena menganggu industri AS dengan subsidi ekspor yang tidak adil. Hal ini diketahui berdasarkan pemberitahuan dari Kantor Perwakilan Dagang AS.
Selain China, India, dan Afrika Selatan, Pemerintah Negeri Paman Sam tersebut mencabut preferensi khusus untuk beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia.
Selain Indonesia, negara berkembang lain yang terkena pencabutan preferensi khusus yaitu Albania, Argentina, Armenia, Brazil, Bulgaria, China, Colombia, Costa Rica, Georgia, Hong Kong, India, Kazakhstan, Kirgizstan, Malaysia, Moldova, Montenegro, Makedonia Utara, Romania, Singapura, Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand, Ukraina, dan Vietnam.
The US Trade Representative (USTR) menyatakan keputusan tersebut bertujuan untuk memperbarui pedoman investigasi perdagangan karena panduan sebelumnya, yang berlaku mulai 1998, dinilai sudah usang.
Keputusan tersebut bakal berdampak pada penambahan tarif perdagangan untuk beberapa negara eksportir utama dunia. Hal ini juga menunjukkan kegeraman Trump karena negara dengan ekonomi besar, seperti China dan India, diberikan hak untuk menikmati preferensi khusus karena dipandang sebagai negara berkembang oleh Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO).
Dalam kunjungannya di World Economic Forum di Davos pada bulan lalu, Trump mengatakan jika WTO memperlakukan negaranya dengan tidak adil.
“China dipandang sebagai negara berkembang, begitu juga dengan India. Namun, kami tidak. Selama yang saya pahami, kami juga negara berkembang,” ujarnya, melansir Bloomberg, Sabtu (22/2/2020).
Tujuan dari pemberian preferensi khusus dari WTO bagi negara berkembang adalah untuk membantu negara tersebut untuk mengurangi kemiskinan, membuka lapangan pekerjaan, dan berintegrasi ke sistem perdagangan dunia.
Di bawah aturan WTO, pemerintah suatu negara harus menghapus penyelidikan anti-subsidi jika jumlah subsidi de minimis, atau biasanya ditentukan kurang dari 1 persen ad valorem.
Namun, untuk negara berkembang WTO memberikan standar yang berbeda, yaitu subsidi di bawah 2 persen ad valorem.
Pemerintah AS memutuskan untuk mengakhiri preferensi khusus bagi negara-negara berkembang yang memiliki kategori, seperti anggota perhimpunan ekonomi global, seperti G20, OECD, atau yang diklasifikasikan Bank Dunia sebagai negara berpenghasilan tinggi.
Pada Juli tahun lalu, Trump merilis memo eksekutif yang memerintahkan Perwakilan Perdagangan AS Robert Lighthizer untuk memastikan apakah ada kemajuan berarti dari kebijakan tersebut.
Beberapa negara yang telah dikeluarkan dari daftar USTR telah sepakat untuk melepaskan hak-hak mereka sebagai negara berkembang di perdagangan ke depan, seperti Brasil, Singapura, dan Korea Selatan.
Daya Saing Indonesia Terancam
Ekonom Indonesia memandang kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump ini bisa berdampak terhadap daya saing pada ribuan jenis produk.
“Selama ini banyak pelaku usaha menikmati fasilitas bea masuk yang rendah untuk ekspor tujuan Amerika Serika,” terang Peneliti Indef Bhima Yudhistira saat dihubungi, Sabtu (22/2/2020).
Menurutnya, fasilitas GSP selama ini diberikan Amerika pada negara berkembang dan miskin. Apabila Indonesia tidak masuk dalam daftar penerima GSP lagi, maka Indonesia akan kehilangan daya saing pada ribuan jenis produk. Tercatat dari Januari-November 2019, terdapat USD2,5 miliar nilai ekspor Indonesia dari pos tarif GSP.
“Ekspor ke pasar AS terancam menurun, khususnya sektor tekstil dan pakaian jadi,” imbuhnya.
Kebijakan baru Donald Trump tersebut telah berlaku sejak 10 Februari 2020 dengan begitu, Indonesia telah dikeluarkan dari daftar developing and least-developed countries sehingga special differential treatment (SDT) yang tersedia dalam WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures tidak lagi berlaku bagi Indonesia.
Akibatnya, de minimis thresholds untuk marjin subsidi agar suatu penyelidikan anti-subsidi dapat dihentikan berkurang menjadi kurang dari 1 persen dan bukan kurang dari 2 persen.
Selain itu, kriteria negligible import volumes yang tersedia bagi negara berkembang tidak lagi berlaku bagi Indonesia. Dampaknya memang kebijakan ini cenderung membuat perdagangan Indonesia buntung, padahal selama ini Indonesia menikmati surplus dari AS.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) surplus perdagangan Indonesia dengan AS pada Januari 2020 senilai USD1,01 miliar, angka ini tumbuh dibandingkan dengan surplus periode sama tahun lalu, yakni senilai USD804 juta.
Data tersebut juga menyebutkan Negara Paman Sam tersebut menjadi negara terbesar kedua pangsa ekspor non-migas Indonesia sebesar USD1,62 miliar pada Januari 2020.
Kerja sama Indonesia – Amerika
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan terus mendorong peningkatan perdagangan dengan Amerika Serikat (AS) sebagai mitra strategis dan pasar ekspor utama Indonesia.
Dalam menjaga pasar ekspor ke AS, penting bagi Indonesia untuk mempertahankan Generalized System Preference (GSP).
“Fasilitas GSP yang diberikan AS dapat meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia di pasar AS. Selain itu, GSP juga bermanfaat bagi industri AS untuk mendorong ekspornya ke pasar global. Dengan membeli bahan baku dari Indonesia yang berkualitas dan harganya bersaing, produk ekspor AS dapat menjadi lebih kompetitif di pasar dunia,” terang Menteri Perdagangan, Agus Suparmanto melalui keterangan tertulisnya, yang diterima Kamis (19/2/2020).
Menurut Mendag, berbagai isu yang menjadi hambatan akses pasar AS ke Indonesia sebagaimana dituangkan dalam GSP Country Practice Review 2018 telah diselesaikan Kemendag bersama kementerian lembaga terkait antara lain Kemenko Perekonomian, Kementerian Pertanian, Kementerian Luar Negeri, OJK, BI sejak 2018. Hal ini termasuk dua isu yang masih tersisa yaitu reasuransi dan izin impor produk hortikultura.
Dalam menjawab kepentingan AS untuk menyeimbangkan neraca perdagangannya dan peningkatan perdagangannya dan mengurangi defisit, Indonesia mengharapkan kedua negara dapat meningkatkan dua kali lipat nilai perdagangannya. Ke depan Indonesia-AS menargetkan peningkatan perdagangan menjadi dua kali lipat sehingga menjadi USD60 miliar pada 2024.
“Potensi perdagangan kedua negara masih banyak yang dapat dikembangkan. Perdagangan baik barang maupun jasa kedua negara dapat terus ditumbuhkan ekspornya sehingga dapat mengurangi defisit AS dan meningkatkan ekspor Indonesia,” kata Agus.
Indonesia, lanjut Mendag, akan membeli lebih banyak produk asal AS untuk memenuhi kebutuhan bahan baku/penolong bagi industri dalam negeri, antara lain produk kapas, kedelai, jagung, gandum, dan hortikultura.
Selain itu, Indonesia juga akan menawarkan produk-produk yang lebih kompetitif ke pasar AS seperti travel bags, perikanan, buah-buahan, perhiasan, TPT, besi baja, elektronik. Mendag juga telah menyelesaikan dua isu akses pasar AS yang masih tersisa untuk mempertahankan GSP AS.
Mendag juga mengungkapkan, untuk menjaga hubungan perdagangan dan investasi dengan AS sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo Kemendag akan fokus pada deregulasi atau penyederhanaan perizinan dan reformasi birokrasi, serta transformasi ekonomi termasuk penguatan SDM dan pembangunan infrastruktur.
“Intinya untuk menumbuhkan perdagangan dan investasi serta menciptakan lapangan kerja,” imbuhnya.
Kemudian dalam meningkatkan akses pasar, Kemendag juga segera menyelesaikan perundingan yang masih berjalan dengan beberapa negara mitra, antara lain Uni Eropa, Turki, Pakistan, Tunisia, Bangladesh, Maroko, dan yang paling penting dengan 16 negara yang tergabung dalam Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional.
Pada 2019, total perdagangan barang Indonesia-AS baru mencapai USD26,97 miliar. Pada periode tersebut ekspor Indonesia ke AS sebesar USD17,72 miliar dan impor Indonesia dari AS tercatat sebesar USD9,26 miliar. Dengan demikian, Indonesia mengalami surplus perdagangan sebesar USD8,46 miliar.
Produk ekspor utama Indonesia ke AS adalah udang, karet alam, alas kaki, pakaian jadi, dan ban. Sementara, impor utama Indonesia dari AS adalah kedelai, kapas, tepung, suku cadang pesawat, dan gandum. Sementara total nilai investasi AS di Indonesia pada 2019 tercatat sebesar USD989,3 juta. Beberapa sektor investasi AS terdiri dari 788 proyek di sektor pertambangan; industri listrik, gas dan air; serta industri jasa. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post