ASIATODAY.ID, JAKARTA – Amerika Serikat (AS) dilaporkan kian meningkatkan intensitas pergerakan militernya di Laut China Selatan.
Yang terbaru, Amerika ‘memagari’ Laut China Selatan dengan armada tempurnya. Strategi ini sebagai salah satu cara untuk mempersempitbruang gerak armada tempur China.
Melansir Japan Times, pada Minggu (28/6/2020), dua kapal induk AS memulai latihan bersama di Laut Filipina. Latihan bersama ini digelar sehari setelah para pemimpin Asia Tenggara menyampaikan beberapa pernyataan terkuat mereka yang menentang klaim Beijing atas hampir seluruh wilayah Laut China Selatan dengan alasan historis.
Dua kapal perang AS itu adalah USS Nimitz dan USS Ronald Reagan Carrier Strike Groups. Angkatan Laut AS mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa keduanya memulai latihan untuk meningkatkan komitmen responsif, fleksibel, dan abadi Amerika Serikat untuk perjanjian pertahanan timbal balik dengan sekutu dan mitra di Indo-Pasifik.
“Kami secara agresif mencari setiap peluang untuk memajukan dan memperkuat kemampuan dan kecakapan kami dalam melakukan semua operasi perang domain,” kata Laksamana Muda George Wikoff, komandan Carrier Strike Group 5.
Dia menambahkan, “Angkatan Laut AS tetap memiliki misi yang siap dan dikerahkan secara global. Operasi dual carrier menunjukkan komitmen kami terhadap sekutu regional, kemampuan kami untuk secara cepat memerangi kekuatan di Indo-Pasifik, dan kesiapan kami untuk menghadapi semua pihak yang menentang norma-norma internasional yang mendukung stabilitas regional.”
Fokus pernyataan yang ditujukan pada sekutu regional itu akan menambah tekanan pada China, yang mengklaim sebagian besar Laut China Selatan, meskipun Filipina, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Taiwan dan Brunei memiliki klaim yang tumpang tindih di perairan itu.
Beberapa hari sebelumnya, Angkatan Laut Amerika juga mengumumkan, kapal tempur litoral USS Gabrielle Giffords bergabung dengan dua kapal Pasukan Bela Diri Jepang untuk melakukan pelatihan di Laut China Selatan yang kontroversial pada hari Selasa pekan lalu.
Melansir Stripes.com, kapal Angkatan Laut AS berlayar dengan kapal pelatihan JMSDF JS Kashima dan JS Shimayuki untuk menekankan pentingnya komunikasi dan koordinasi saat beroperasi bersama.
“Kesempatan untuk beroperasi dengan teman-teman dan sekutu kita di laut sangat penting untuk kesiapan dan kemitraan kita bersama,” kata Komandan Belakang Expeditionary Strike Group 7, Laksamana Muda Fred Kacher dalam pernyataannya seperti yang dikutip Stripes.com.
Intensitas Aktivitas Militer AS
Titik masuk timur Laut China Selatan dan perairan di sekitarnya dilaporkan telah menunjukkan kesibukan aktivitas militer dalam beberapa hari terakhir, termasuk, menurut sebuah think tank China, beberapa misi pengawasan oleh pesawat mata-mata AS.
South China Sea Strategic Situation Probing Initiative, yang berbasis di Institut Penelitian Kelautan Universitas Peking di Beijing, mengatakan telah mencatat adanya misi dengan menggunakan situs pelacakan penerbangan dan memposting gambar dugaan penerbangan di Twitter.
Drew Thompson, seorang peneliti di National University of Singapore, menulis di Twitter bahwa di antara pesawat-pesawat itu, sepasang Orion P-8 Angkatan Laut AS telah mengambil alih posisi atas target kepentingan bawah laut, yang kemungkinan besar merupakan kapal selam milik Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) yang bergerak melalui Bashi Channel.
“Dengan kapal induk Reagan yang beroperasi di dekatnya, mengawasi dengan cermat area tersebut dan menciptakan apa yang disebut garis piket adalah langkah standar untuk melindungi kapal induk dari kapal selam yang berbasis di Hainan,” tulis Thompson seperti yang dilansir Japan Times, merujuk pada Pulau Hainan, rumah bagi pangkalan kapal selam China.
AS menegaskan bahwa kebebasan akses sangat penting untuk perairan internasional.
Washington mengecam Beijing karena aktivitasnya di jalur air, termasuk pembangunan pulau-pulau di mana beberapa di antaranya adalah rumah bagi lapangan terbang kelas militer dan persenjataan canggih.
Melansir Japan Times, AS khawatir pos terdepan dapat digunakan untuk membatasi pergerakan bebas di jalur air internasional, yang mencakup jalur perairan laut vital untuk perdagangan global dengan nilai sekitar USD3 triliun setiap tahunnya.
Kementerian Pertahanan China telah membantah pihaknya berupaya untuk memperkuat kontrol Laut China Selatan.
Sebaliknya, China menuduh Washington pada pekan lalu sebagai pihak yang meningkatkan ancaman dan mencoba untuk menabur perselisihan di antara negara-negara regional dan menstigma anti-China di tengah upaya memerangi pandemi corona.
Pemimpin ASEAN Bersikap
Sebelumnya, pada Sabtu (27/6/2020), Asosiasi Negara Asia Tenggara (ASEAN) mengatakan dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Vietnam atas nama 10 negara blok bahwa perjanjian lautan tahun 1982 di AS harus menjadi dasar dari hak kedaulatan dan hak-hak di jalur air yang disengketakan.
“Kami menegaskan kembali bahwa UNCLOS 1982 adalah dasar untuk menentukan hak maritim, hak berdaulat, yurisdiksi dan kepentingan sah atas zona maritim,” demikian pernyataan ASEAN, merujuk pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut, yang mendefinisikan hak-hak negara ke lautan dunia dan membatasi zona ekonomi eksklusif di mana negara-negara pantai memiliki hak khusus untuk menangkap ikan dan sumber daya energi.
Pertemuan puncak itu digelar secara virtual dan diselenggarakan oleh Vietnam. Pertemuan ini diselenggarakan setelah negara-negara ASEAN mulai melonggarkan pembatasan pergerakan akibat wabah Covid-19 di wilayah masing-masing. Para pemipin ASEAN menegosiasikan protokol perjalanan di antara sesama anggota.
Blok yang terdiri 10 negara ini juga telah berjanji akan bekerjasama untuk memerangi virus corona.
“Sementara seluruh dunia terentang tipis dalam perang melawan pandemi, tindakan dan tindakan yang tidak bertanggung jawab yang melanggar hukum internasional masih terjadi, mempengaruhi lingkungan keamanan dan stabilitas di wilayah tertentu, termasuk wilayah kami,” kata Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc dalam pidato pembukaannya di Hanoi tanpa menyebut China secara langsung, dilansir Bloomberg, Jumat (26/6).
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Mike Pompeo mengatakan, Washington mendukung pendirian ASEAN soal Laut China Selatan.
Pompeo mengatakan, China tidak dapat memperlakukan Laut China Selatan sebagai kekaisaran maritimnya.
Melalui akun Twitternya, seperti dilansir Sputnik pada Minggu (28/6/2020), Pompeo mengatakan penyelesaian isu Laut China Selatan harus sesuai dengan hukum internasional, termasuk di dalamnya Konvensi PBB untuk Hukum Laut atau UNCLOS.
“AS menyambut desakan para pemimpin ASEAN bahwa perselisihan Laut China Selatan harus diselesaikan sesuai dengan hukum internasional, termasuk UNCLOS. China tidak dapat dibiarkan untuk memperlakukan Laut China Selatan sebagai kekaisaran maritimnya. Kami akan segera berbicara tentang topik ini,” ucap Pompeo. (ATN)
Discussion about this post