ASIATODAY.ID, JAKARTA – Negara-negara berkembang di Kawasan Asia dan Afrika menjadi pusat lokasi atas keterbatasan akses energi. Bahkan setidaknya ada 14 negara yang menderita tidak memiliki electricity access dan clean cooking.
Hal itu terungkap dalam forum G20 Werbinar Series: Achieving Global Energy Access Goals in the Decade of Action di Jakarta, Rabu (27/4/2022).
Untuk mengatasi permasalahan ini, dibutuhkan suntikan modal besar dari para investor.
“Secara global kita butuh investasi sekitar USD30 – USD35 miliar per tahun untuk (penanganan) akses listrik dan USD5 – USD7 miliar per tahun untuk akses memasak bersih. Total, setidaknya kita butuh suntikan investasi USD1,4 triliun per tahun hingga 2030 untuk dua isu tersebut,” ungkap Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, Rida Mulyana.
Rida mengungkapkan, peningkatan akses energi diupayakan akan mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat hingga pada level pengguna akhir.
“Transisi energi berkelanjutan merupakan salah satu tema dalam Presidensi G20 Indonesia dan juga menekankan pada aksesibilitas energi sebagai prasyarat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya di pulau-pulau terpencil dan terluar,” kata Rida.
Menurut Rida, kerjasama multistakeholder akan menjadi cara tepat dalam mencapai tujuan tersebut. Langkah ini sejalan dengan penanganan dekarbonisasi energi sistem sebagai salah satu solusi mitigasi perubahan iklim.
“Ini adalah tantangan besar bagi dunia serta perlu ditangani secara kolektif oleh semua negara,” imbuhnya.
“Pencapaian akses energi universal membutuhkan kerja ekstra dan kerjasama multistakeholder, termasuk dengan memperhatikan isu gender dan inklusivitas,” kata Rida.
Rida menyoroti implementasi tiga prinsip utama dalam mencapai tujuan tersebut, yaitu pasokan listrik yang memadai, kualitas pasokan listrik yang diterima, dan harga listrik yang terjangkau.
Di Indonesia misalnya, akses energi sambung Rida, salah satunya dapat direfleksikan dengan capaian rasio elektrifikasi.
Hingga tahun 2021, rasio elektrifikasi (RE) Indonesia telah mencapai 99,45 persen, sementara rasio desa berlistrik (RDB) sudah pada level 99,62 persen.
“Kami menargetkan penyediaan listrik di seluruh wilayah Indonesia dengan capaian 100% RE di akhir 2022,” ungkapnya.
Di samping rasio elektrifikasi, pemerintah menetapkan target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada tahun 2025.
“Akhir 2021, porsi EBT sudah mencapai 14 persen dalam bauran energi pembangkit listrik,” jelas Rida.
Komitmen Indonesia, sambung Rida, menuju transisi energi bersih diproyeksikan sepenuhnya dengan implementasi dekarbonisasi pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Beberapa kebijakan yang sudah diimplementasikan oleh pemerintah diantaranya tidak ada penambahan pembangkit listrik berbasis batubara kecuali yang sudah berkontrak atau sedang kontruksi.
Selanjutnya, terdapat penambahan pembangkit listrik dari sumber berbasis EBT.
“Kami tengah memiliki tambahan 21 Giga Watt (GW) pembangkit listrik energi terbarukan tambahan di tahun 2030. Dari target ini, kami sudah memiliki listrik 11,1 GW,” ungkap Rida.
Selain itu, Indonesia juga menerapkan kebijakan konversi pembangkit listrik berbahan bakar solar menjadi pembangkit EBT, seperti PLT Surya Fotovoltaik yang akan memproduksi sekitar 1 GW energi yang lebih bersih.
Ada juga meningkatkan konektivitas jaringan untuk memobilisasi sumber EBT ke pusat-pusat permintaan (demand centers) dan mempercepat elektrifikasi melalui program instalasi akses listrik baru.
“Kami sudah melistriki lebih dari 192 ribu rumah tangga berpenghasilan rendah yang saat ini tidak memiliki akses langsung ke listrik,” tegas Rida.
Melalui tebosoan kebijakan tersebut, Rida berharap menjadi langkah awal menuju masa depan energi Indonesia yang lebih berkelanjutan.
“Saya berharap Indonesia dan negara-negara lain dapat belajar bersama dalam mencapai akses energi universal dan transisi energi yang bersih, adil, dan berkelanjutan,” pungkas Rida.
Tekanan di Negara Berkembang
Lanskap masalah dan sistem energi yang beragam menjadi tantangan tersendiri bagi negara berkembang dan emerging economies.
Untuk itu, peningkatan dan peluasan akses energi di negara – negara tersebut harus menyesuaikan dengan kondisi dan keadaan, tantangan, hingga kapasitas wilayah yang ditetapkan.
“Setiap kebijakan, program, dan efektivitas aksi harus dilakukan melalui model bisnis dan instrumen pembiayaan yang inovatif,” kata Prahoro Yulijanto Nurtjahyo, Co-Chair G20 ETWG.
Kebutuhan adopsi akan pilihan teknologi yang inovatif juga diperlukan dengan tetap mempertimbangkan pula keragaman sumber energi lokal.
“Inovasi teknologi ini harus didukung oleh lingkungan dan iklim bisnis yang lebih baik untuk menciptakan lebih banyak peluang, melibatkan pemangku kepentingan terkait, dan memanfaatkan keunggulan kemitraan publik-swasta,” tambahnya.
Ia menekankan pencapaian pencapaian akses energi berkelanjutan harus sejalan dengan pencapaian transisi energi yang adil dan merata.
“Aspek pemerataan people-centered transitions dapat dipastikan melalui perencanaan program dan implementasi yang terukur dalam memenuhi Standar Minimum Energi Modern,” tegasnya.
Standar baru ini diharapkan dapat mendukung emerging market dan negara berkembang, termasuk negara kurang berkembang untuk meningkatkan tingkat pembangunan, mencukupi kebutuhan sosial ekonomi, dan menciptakan peluang ekonomi bermanfaat lainnya untuk pertumbuhan berkelanjutan – termasuk pekerjaan yang layak dan mata pencaharian yang berkualitas.
Menurut Prahoro, Forum G20 diharapkan memiliki potensi besar untuk menjadi faktor kunci untuk mendorong pencapaian akses energi dalam aksi dekade ini. Pertumbuhan ekonomi yang layak dan prospek pasar yang menjanjikan harus dikombinasikan dengan inovasi dalam bisnis, teknologi, dan pembiayaan akan merangsang investasi lebih lanjut dan kemitraan internasional dalam akses energi berkelanjutan.
“Kami berencana untuk memperkuat rekomendasi, praktik, dan pengalaman dalam akses energi berkelanjutan dalam memperkuat hasil utama ETWG G20 di tingkat Menteri. Harapannya, kebutuhan ini dapat dipromosikan ke forum Pemimpin G20 sebagai bagian integral dari G20 Comprehensive Exit Strategy to Support Recovery,” jelas Prahoro. (ATN)
Discussion about this post