ASIATODAY.ID, JAKARTA – Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Mercy Barends meminta Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) agar melakukan studi kelayakan secara komprehensif terkait dengan rencana pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) melalui pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Menurut Mercy, pemanfaatan nuklir sebagai sumber energi sangat positif untuk mempercepat bauran energi nasional, namun pada sisi lain nuklir rentan menimbulkan persoalan, utamanya dampak lingkungan. Belum lagi kata Mercy, posisi Indonesia yang rawan dengan gempa, bisa membahayakan keberadaan PLTN.
“Kita mengingatkan agar studi kelayakan benar-benar dilakukan secara komprehensif, lebih detail dan lebih rigid karena dampak nuklir ini besar jika terjadi kesalahan pengelolaan. Karena itu, penentuan lokasi juga harus dihitung secara matang, mengingat resiko gempa yang sewaktu-waktu bisa terjadi,” jelas Mercy dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII dengan Kepala LIPI, Kepala BATAN, Kepala BAPETEN, Kepala LAPAN, Kepala BPPT dan Kepala BIG di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (23/01/2020).
Merespon hal itu, Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Anhar Riza Antariksawan memastikan pihaknya akan memulai studi kelayakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Kalimantan Barat (Kalbar) pada Semester I 2020.
Dikatakan, dalam studi kelayakan itu, akan dilakukan survei dan evaluasi tapak untuk melihat tapak tersebut potensial atau tidak untuk dibangun PLTN.
“Kami akan memulai studi kelayakan untuk daerah Kalimantan Barat tahun ini,” kata Anhar.
Survei ini, lanjut Anhar, akan menentukan sejumlah aspek penting antara lain teknologi paling siap dibangun di daerah itu, daya dari PLTN yang akan dibangun, aspek keekonomian dari pembangunan PLTN di wilayah itu, serta penyiapan sumber daya manusia.
“Studi kelayakan itu juga akan melihat pemenuhan syarat 19 item infrastruktur. Antara lain terkait regulasi, kesiapan sumber daya manusia, jaringan listrik dan kesiapan pendanaan,” rincinya.
Anhar menjelaskan studi kelayakan itu memerlukan waktu 2 hingga 3 tahun, sehingga diharapkan maksimal 2022 sudah diperoleh dokumen hasil studi kelayakan terkait pembangunan PLTN di Kalimantan Barat.
Pemilihan tapak untuk pembangunan PLTN menjadi hal yang sangat krusial untuk mendukung aspek keamanan dan keselamatan. Kalimantan Barat merupakan daerah yang relatif aman dari gempa dan tsunami sehingga potensial dibangun PLTN, namun kajian mendalam terkait studi kelayakan akan dilakukan.
Dijelaskan, studi kelayakan di Kalimantan Barat mendapat dukungan dari pemerintah daerah setempat dan Kementerian Riset dan Teknologi. Untuk melakukan studi kelayakan, BATAN akan bekerja sama dengan PT Indonesia Power, dan tidak menutup kemungkinan melibatkan perguruan tinggi setempat.
Hasil studi kelayakan yang komprehensif akan memberikan penilaian layak tidaknya dibangun PLTN di wilayah itu.
“Batan berkewajiban memberikan informasi dan kajian ilmiah terkait PLTN,” tambah Anhar.
Secara garis besar kata Anhar, ada tiga prioritas dalam rencana tersebut yakni pembangunan PLTN, teknologi produksi Radioisotop dan Radiofarmaka, dan sistem pemantau radiasi lingkungan untuk keselamatan dan lingkungan.
Anhar menjelaskan, untuk prioritas pertama, yakni pembangunan PLTN. Pihaknya harus menempuh tiga fase, diantaranya pra project, formulasi project, dan pembangunan fisik.
“Pada pra project, utamanya adalah studi kelayakan, setelah itu akan dipastikan akan terus dibangun atau tidak. Kemudian formulasi project. Setelah pemerintah sudah oke untuk dibangun, maka kita akan lakukan hal yang lebih rinci, yaitu kita akan siap melakukan tender, sehingga ada pemenangnya, dan sebagainya,” terang Anhar.
Setelah itu, kata Anhar, program diteruskan ke tahap selanjutnya, yakni pembangunan fisik.
Menurutnya, pembangunan PLTN ini bisa memakan waktu yang lama, sebab untuk tahap pertama saja, normalnya bisa memakan waktu hingga dua sampai tiga tahun.
Anhar melanjutkan, untuk pengembangan Radioisotop dan Radiofarmaka, kini pihaknya telah memiliki reaktor nuklir. Reaktor nuklir digunakan untuk membuat Radioisotop, dan kemudian menjadi Radiofarmaka.
“Jadi Radioisotop dan Radiofarmaka digunakan untuk bidang kesehatan, mengandung bahan radio aktif. Biasanya digunakan untuk membantu melakukan diagnosis atau terapi. Terutama untuk penyakit kanker. Selain itu juga dapat digunakan untuk menghilangkan rasa sakit bagi para penderita kanker dengan stadium tinggi,” jelasnya.
Sebenarnya, lanjut dia, saat ini di Indonesia sudah banyak yang menggunakan Radioisotop dan Radiofarmaka, namun kebanyakan masih impor.
Terakhir, prioritas yang menjadi fokus Batan adalah sistem pemantau radiasi lingkungan untuk keselamatan dan lingkungan. Anhar menjelaskan, sistem itu berguna untuk mendeteksi nuklir yang berada lingkungan.
“Kita deteksi nuklir di alam. Misalkan kalau zaman dulu kan ada yang mencoba senjata nuklir di daerah tertentu yang kita enggak tahu. Nah, sistem itu bisa mendeteksi,” tuturnya.
Anhar memaparkan, jika sudah terdeteksi, laporan itu akan masuk ke dalam radiation portal monitor (RPM) atau portal monitor radiasi.
“Untuk sistem ini, kita harus membuat komponen sekaligus menyatukan sistem. Saat ini, prototipe-nya sudah ada, sedang dalam tahap sertifikasi,” tandasnya. (ATN)
,’;\;\’\’
Discussion about this post