ASIATODAY.ID, NEW YORK – Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden Siap menggelontorkan USD100 miliar untuk menyokong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam mengatasi kekurangan dana iklim global.
Seorang pejabat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyampaikan hal ini setelah pertemuan tertutup antara negara-negara di sela-sela sidang umum, Senin (21/9/2021).
Biden akan menyampaikan pidato pertamanya kepada badan dunia sebagai pemimpin Amerika pada Selasa (22/9/2021). Ia diwakilkan oleh utusan iklim AS John Kerry pada pertemuan yang diadakan oleh pemerintah Inggris dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres.
Menjelang kesepakatan Paris (Paris Agreement), negara-negara maju berjanji untuk memobilisasi USD100 miliar per tahun sejak 2020. Tujuannya adalah mendukung negara-negara miskin dengan adaptasi iklim, tetapi saat ini ada kekurangan sekitar USD20 miliar.
“Kami memang mendengar dari perwakilan AS di ruangan itu bahwa beberapa kabar baik sudah dekat,” kata pejabat PBB itu, Senin (21/9). Ia menambahkan, ada pandangan dan sinyal yang sangat positif datang dari perwakilan AS.
“Kami tidak memiliki detailnya, tentu saja, tetapi mudah-mudahan ini akan membantu memberikan kejelasan tentang bagaimana AS bermaksud untuk meningkatkan dukungan mobilisasi USD100 miliar,” imbuhnya.
Pengumuman itu menjadi sepotong harapan di bidang iklim, setelah banyak laporan ilmiah baru-baru ini memberikan gambaran suram tentang masa depan planet bumi. Pasalnya, pencemar utama dunia terus memuntahkan gas rumah kaca pada tingkat yang mengkhawatirkan.
Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson, yang menjadi tuan rumah bersama pertemuan itu, mengarahkan para pemimpin untuk membahas tugas atas kegagalan mereka menghormati janji bersama terkait dana tersebut. Padahal, penghimpunan dana dimaksudkan untuk memberikan USD100 miliar setiap tahun dari 2020 hingga 2025.
“Semua orang mengangguk dan kita semua setuju bahwa sesuatu harus dilakukan,” kata Johnson.
Negaranya akan menjadi tuan rumah konferensi tingkat tinggi (KTT) iklim COP26 yang sangat penting di Glasgow pada November 2021.
“Namun saya akui saya semakin frustrasi karena sesuatu yang banyak dari Anda telah putuskan, tidak dilakukan sama sekali,” tambahnya, dalam pernyataan sambutan yang dibagikan oleh perwakilan kantor PM.
Pekan lalu, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengkonfirmasi bahwa hanya USD79,6 miliar yang dimobilisasi pada 2019.
“Kami mendengar dari beberapa negara industri tanda-tanda kemajuan yang samar,” kata Johnson kepada wartawan seusai pertemuan, menyebut Swedia dan Denmark.
Kedua negara telah mengumumkan bahwa mereka akan mengalokasikan 50% atau lebih, diambil dari pendanaan iklim negara, untuk adaptasi di negara berkembang. Ini merupakan salah satu tujuan utama PBB.
“Mari kita lihat apa yang akan dikatakan presiden Amerika Serikat besok,” tambahnya, mengisyaratkan berita baik yang akan disampaikan.
Transisi dari Batubara
Pemerintah Inggris pada bagiannya mengumumkan janji pendanaan iklim senilai USD15 miliar selama lima tahun ke depan. Pihaknya juga mengumumkan pada Senin bahwa USD750 juta dari jumlah itu akan dialokasikan untuk mendukung negara-negara berkembang memenuhi kebutuhan target nol bersih dan mengakhiri penggunaan batubara.
“Kami adalah orang yang menciptakan masalah. Revolusi industri kurang lebih dimulai di negara kami,” lanjut Johnson.
“Jadi tentu saja saya memahami perasaan ketidakadilan di negara berkembang. Tapi saya katakan kepada mereka, itulah mengapa kita harus mendapatkan dana untuk membantu Anda membuat kemajuan yang Anda butuhkan,” tuturnya.
Pertemuan itu dilakukan beberapa hari setelah Guterres memperingatkan dunia berada di jalur bencana hingga pemanasan 2,7 derajat Celaius, menyusul laporan mengejutkan terbaru oleh para ilmuwan PBB yang diluncurkan minggu lalu terkait pemanasan global.
Angka tersebut akan menghancurkan target suhu kesepakatan iklim Paris, yang bertujuan untuk pemanasan jauh di bawah 2 derajat Celcius dan sebaiknya dibatasi pada 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri.
Guterres mengatakan kepada wartawan, dirinya menyebut konferensi dengan Johnson sebagai panggilan membangunkan untuk menanamkan rasa urgensi pada keadaan mengerikan dari proses iklim menjelang COP26.
Sementara mengakui negara-negara berkembang perlu memimpin, sekjen juga meminta beberapa negara berkembang untuk berusaha lebih keras.
Ini berarti panggilan untuk negara-negara China, India, Brazil, Rusia, Indonesia, dan Afrika Selatan.
Perjanjian Paris menyerukan emisi nol bersih pada 2050, dengan pengurangan yang kuat pada 2030, untuk memenuhi sasaran 1,5 derajat Celcius.
Dengan hanya 1,1 derajat Celcius pemanasan sejauh ini, dunia telah menyaksikan semburan bencana cuaca mematikan yang diintensifkan oleh perubahan iklim dalam beberapa bulan terakhir. Mulai dari gelombang panas yang melelehkan aspal, hingga banjir bandang, dan kebakaran hutan yang tidak dapat dijinakkan. (ATN)
Discussion about this post