ASIATODAY.ID, JAKARTA – Perlahan namun pasti, hegemoni Bitcoin yang masif mulai mempengaruhi eksistensi berbagai mata uang di dunia, bahkan mulai jadi ancaman stabilitas ekonomi di kawasan Asia.
Tak ingin digilas, Indonesia dan India pun merespon dengan cepat dan mulai menyiapkan kebijakan baru.
Bank Indonesia (BI) mulai merumuskan pembentukan mata uang digital yang disebut dengan Central Bank Digital Currency.
“Kami sedang dalam proses merumuskan Central Bank Digital Currency,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo, Kamis (25/2/2021).
Pembentukan mata uang digital tersebut menyusul maraknya penggunaan mata uang kripto (cryptocurrency), salah satunya Bitcoin.
Menurut Perry, Central Bank Digital Currency nantinya akan diedarkan ke perbankan dan teknologi finansial (tekfin), baik secara wholesale maupun ritel.
“Dalam konteks ini kami juga melakukan kerja sama yang erat dengan bank-bank sentral lain. Bersama bank-bank sentral, kami saling studi satu sama lain untuk menyusun dan mengeluarkan Central Bank Digital Currency,” jelasnya.
Perry menegaskan bahwa Bitcoin tidak boleh menjadi alat pembayaran yang sah di Indonesia, termasuk juga mata uang lainnya selain Rupiah.
Dia menegaskan, satu-satunya mata uang sah yang berlaku di Indonesia adalah mata uang rupiah.
“Sesuai UU, di Indonesia hanya ada satu mata uang yang disebut Rupiah, jadi seluruh alat pembayaran menggunakan koin, menggunakan uang kertas, uang digital itu harus menggunakan rupiah dan wewenangnya ada di BI,” tegasnya.
Sementara itu, Bank sentral India, The Reserve Bank of India (RBI), juga mulai khawatir soal dampak negatif mata uang kripto (cryptocurrency) seperti Bitcoin terhadap stabilitas ekonomi di wilayah Asia dan India.
Melansir Bloomberg, Gubernur RBI Shaktikanta Das mengatakan, RBI telah mengemukakan kekhawatirannya terhadap aset-aset kripto sejak beberapa waktu lalu. Beragam masalah yang berpotensi muncul dari aset kripto diantaranya adalah pencucian uang hingga pendanaan untuk teroris.
Das melanjutkan, pihaknya telah menyampaikan kekhawatirannya pada pemerintah India. Menanggapi hal tersebut, pemerintah India tengah menyiapkan regulasi untuk melarang mata uang kripto swasta dan tengah merancang kerangka terkait untuk membuat mata uang kripto resminya sendiri.
Menurut Das, RBI siap mendukung rencana pembuatan mata uang digitalnya sendiri. Apabila hal ini terjadi, maka India akan mengikuti jejak bank sentral di China yang membuat electronic yuan sebagai mata uang digital.
Pada 2018 lalu, RBI juga telah melarang perbankan dan entitas terkait lainnya untuk transaksi kripto. Hal ini terjadi setelah penggunaan mata uang digital dalam kasus pemalsuan pada program demonetisasi Perdana Menteri India, Narendra Modi.
Meski demikian, Mahkamah Agung India telah memangkas sejumlah pelarangan terhadap aset-aset kripto pada tahun lalu seiring dengan petisi yang dilayangkan oleh bursa-bursa kripto di negara tersebut.
Adapun, Bitcoin, salah satu aset kripto paling populer di dunia, mengalami pergerakan yang fluktuatif selama lima tahun terakhir. Aset kripto dengan kapitalisasi pasar terbesar di dunia itu saat ini tengah menyentuh level US$50.000 setelah muncul pernyataan dukungan dari CEO Ark Investment Management, Cathie Wood.
Wood mengatakan, aset-aset kripto seperti Bitcoin tengah menjadi pilihan para investor jangka panjang, tidak hanya spekulan.
Meski demikian, sejumlah pihak mengkhawatirkan ‘gelembung’ harga Bitcoin pada akhirnya akan meletus. CEO Tesla Inc., Elon Musk melalui akun Twitternya mengatakan harga Bitcoin saat ini terbilang tinggi. Sementara itu, Co-Founder Microsoft Corp., Bill Gates mengkhawatirkan para investor pemula yang hanya akan mengikuti tren ini dapat kehilangan uangnya. Kekhawatiran serupa juga diungkapkan Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, yang mengatakan Bitcoin adalah mata uang untuk transaksi yang sangat tidak efisien. (ATN)
Discussion about this post