ASIATODAY.ID, JAKARTA – Bencana kelaparan dunia kini di depan mata akibat krisis pangan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mendengungkan hal ini agar dunia mencari terobosan cepat untuk mengakhirinya.
Perubahan iklim, pemanasan global, ekspor gandum yang ditutup oleh India hingga perang Rusia-Ukraina, menjadi rentetan pemicu krisis pangan dunia ini.
Krisis pangan mulai terjadi setelah Rusia mulai memblokade laut hitam. Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Inggris menyatakan blokade laut hitam yang dilakukan angkatan laut Rusia mendatangkan malapetaka pada pasokan global gandum Ukraina. Hal itu mendorong jutaan orang kelaparan.
Hal itu disampaikan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) pada hari Rabu bahwa blokade angkatan laut Rusia terhadap pelabuhan-pelabuhan utama Laut Hitam telah menghalangi industri pelayaran komersial untuk beroperasi di daerah itu.
Bahkan mekanisme ekspor darat Ukraina sangat tidak mungkin untuk menggantikan kekurangan kapasitas pengiriman.
Pada masa sebelum perang, Ukraina mengekspor 95 persen bahan makanan vitalnya melalui laut. Sekarang, di antara pilihan lain, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sedang dalam pembicaraan dengan negara-negara tetangga tentang penggunaan pelabuhan mereka dan mendapatkan produk di sana dengan kereta api atau truk.
Ada 13 perlintasan kereta api perbatasan antara Ukraina dan negara-negara Eropa – empat mengarah ke Polandia, tiga ke Rumania, dua ke Hongaria, dua ke Slovakia dan dua ke Moldova.
Secara teori, hingga 50.000 ton gabah per hari dapat diproses di perlintasan ini. Namun, Kyiv berada di bawah kekuasaan pengukur rel. Sementara kereta api Eropa umumnya menggunakan pengukur standar 1.435mm — juga dikenal sebagai “pengukur Stephenson” – kereta api Ukraina menggunakan pengukur 1.520mm Rusia.
Perbedaan ini menghadirkan tantangan penting dalam hal mengangkat gerobak Ukraina ke bagian bawah – langkah kunci dalam transfer barang di perbatasan menuju Barat.
Kereta api Lituania dan Latvia beroperasi pada ukuran yang sama dengan Ukraina, dan kedua negara telah menawarkan pelabuhan mereka untuk mengirimkan gandum Kyiv ke benua lain.
Namun, pengukur bukan satu-satunya tantangan. Ada kekurangan lokomotif dan gerbong gandum di negara-negara Eropa untuk menghadapi lonjakan tiba-tiba barang yang datang dari Ukraina, dengan perlintasan kereta api di Rumania dan Polandia sudah dalam kapasitas penuh.
Kereta api lain, seperti Moldova, memiliki batas berat setengah dari Ukraina.
Laporan intelijen Kementerian Pertahanan (Kemenhan) melanjutkan pertempuran telah menempatkan tekanan tidak langsung pada harga biji-bijian global.
“Sementara ancaman blokade angkatan laut Rusia terus menghalangi akses pengiriman komersial ke pelabuhan Ukraina, kekurangan pasokan yang dihasilkan akan semakin meningkatkan harga banyak produk pokok,” ujarnya.
Secara global, harga pangan sekarang hampir 30 persen lebih tinggi dari pada waktu yang sama tahun lalu, menurut PBB.
Harga gandum global, sementara itu, telah meningkat lebih dari 50 persen tahun ini, menurut konsultan pertanian SovEcon, yang memperkirakan Kremlin telah mengumpulkan $1,9 miliar (sekitar £1,53 miliar) pendapatan dari pajak ekspor gandum sejauh musim ini.
Di tengah krisis pangan global yang semakin dalam, negara yang menciptakannya juga menang darinya.
Rusia terus mengirimkan gandumnya — tentu saja, dengan harga yang sekarang lebih tinggi, sehingga menguangkan lebih banyak — kepada pembeli yang masih bersedia dengan pendapatan per ton yang meningkat.
Dengan para ahli mengharapkan musim panen gandum berikutnya yang kaya, Moskow akan terus mengambil untung dari kekacauan yang diciptakannya.
Di seberang spektrum adalah negara-negara dalam bahaya “malnutrisi, kelaparan massal dan kelaparan”
Sementara India tidak berencana segera untuk mencabut larangan ekspor gandum. Meskipun demikian, Menteri Perdagangan Piyush Goyal mengatakan India akan melanjutkan kesepakatan yang dilakukan langsung dengan pemerintah lain.
Produsen gandum terbesar kedua di dunia itu melarang penjualan biji-bijian swasta ke luar negeri pada 14 Mei setelah gelombang panas yang menyengat membatasi produksi dan harga domestik mencapai rekor tertinggi. Harga gandum global melonjak setelah keputusan tersebut.
“Saat ini, ada ketidakstabilan di dunia. Jika kita melakukan itu (mencabut larangan), itu hanya akan membantu pemasar gelap, penimbun dan spekulan. Itu juga tidak akan membantu negara-negara yang benar-benar rentan dan membutuhkan,” kata Goyal ketika ditanya apakah New Delhi memiliki rencana untuk mengizinkan ekspor swasta dilanjutkan, seperti dilaporkan Reuters, Kamis (26/5/2022).
Banyak negara pengimpor gandum, termasuk negara anggota G7, telah meminta India untuk mempertimbangkan kembali keputusannya untuk melarang penjualan gandum ke luar negeri.
“Cara yang lebih cerdas untuk melakukannya adalah melalui jalur pemerintah-ke-pemerintah, saat kami dapat memberikan gandum yang terjangkau kepada masyarakat miskin yang paling rentan,” katanya dalam satu wawancara pada Rabu (25/5/2022) di Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos.
Bulan ini, Menteri Pertanian Amerika Serikat (AS) Tom Vilsack menyatakan “keprihatinan yang mendalam” tentang larangan tersebut.
Goyal juga mengatakan telah berhubungan dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menjelaskan alasan di balik larangan ekspor gandum India.
Dunia Butuh Strategi
Dewan Redaksi surat kabar, The Wall Street Journal (WSJ), pada Rabu (24/5) lalu menulis editorial penting seputar perkembangan operasi militer Rusia di Ukraina.
Mereka menengarai kemungkinan terjadinya bencana kelaparan yang akan melanda warga sipil di sebagian dunia. Pasalnya, hingga saat ini pasukan Rusia masih memblokade pelabuhan-pelabuhan penting Ukraina, yang membuat kapal-kapal komersial—terutama pembawa muatan gandum—tak bisa keluar dari negeri itu untuk mengantarkan pasokan.
Operasi militer Rusia yang dikomandoi Vladimir Putin, menurut editorial WSJ tersebut telah menyebarkan kesulitan kemanusiaan dan ekonomi yang luas. Yang siap datang sebagai masalah di depan adalah kekurangan pangan global.
“Dunia membutuhkan strategi untuk mematahkan blokade Rusia terhadap pelabuhan Ukraina sehingga negara itu dapat mengekspor makanan dan barang-barang lainnya,” tulis editorial tersebut.
Hal itu, kata WSJ, bisa berupa sebuah misi pengawalan menggunakan kapal perang untuk mendampingi kapal dagang bermuatan pangan kemanusiaan keluar dari Laut Hitam.
Menurut editorial tersebut, saat ini Ukraina hanya menguasai Pelabuhan Odessa, karena Pelabuhan Mariupol di Laut Azov telah dihancurkan Rusia dan saat ini sepenuhnya dikuasai aggressor tersebut.
“Meski Ukraina masih menguasai Odessa, tetapi dipastikan kapal perang Kremlin tidak akan membiarkan kapal komersial masuk atau keluar dari pelabuhan Laut Hitam itu,”tulis WSJ.
Konsekuensinya, akan ada kekurangan pasokan yang membuat harga pangan dunia meroket, seiring produksi tanaman tahunan Ukraina yang selama ini mengisi persediaan tidak bisa mencapai pasar dunia.
“Ukraina, berdasarkan data Departemen Pertanian Amerika Serikat, mengekspor sekitar 14 persen jagung dunia, 10 persen gandum dan 17 persen jelai,” tulis WSJ.
Sekitar 50 negara bergantung pada Rusia dan Ukraina untuk setidaknya 30 persen impor gandum.
Persoalan lain, selama ini pemerintah Ukraina menuduh Rusia telah mencuri persedian gandum mereka dan bahan pangan lainnya.
“Memblokade pelabuhan Ukraina dan mencuri gandum kami adalah instrumen dalam perang hibrida Rusia melawan dunia demokrasi,”tulis pemerintah Ukraina di laman resmi beberapa kementerian mereka.
“Diperkirakan ada 22 juta ton biji-bijian yang tersimpan di gudang-gudang di Ukraina saat ini, makanan yang bisa langsung digunakan untuk membantu mereka yang membutuhkan jika bisa keluar dari Ukraina,” kata Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, pekan lalu.
Ursula von der Leyen, presiden Komisi Eropa, beberapa hari kemudian menambahkan pernyataan itu, dengan mengatakan,” Rusia menggunakan kelaparan dan biji pangan untuk mengambil kekuasaan.”
Selama perang berlangsung, tulis WSJ, Komisi Eropa telah berusaha membantu memindahkan bahan pangan tersebut. Masalahnya, Ukraina dan seluruh Eropa bergantung pada infrastruktur kereta api yang berbeda.
“Apalagi dalam waktu normal, pelabuhan Laut Hitam menyumbang 90 persen dari ekspor bahan pangan dan minyak nabati Ukraina,”kata Komisi.
Karena itulah, WSJ berkeras bahwa sebuah ‘Misi Laut Hitam’, beranggotakan negara-negara Eropa dengan persenjataan kapal perang untuk mengawal kapal dagang komersial pengangkut pangan, “mungkin diperlukan untuk mencegah kelangkaan pangan dunia,”tulis WSJ.
WSJ sejatinya tetap menyarankan upaya diplomasi dengan Rusia. Namun, kegagalan misi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres, yang mencoba mencapai kesepakatan untuk membebaskan ekspor Ukraina dan mengunjungi Moskow pada April lalu untuk meminta bantuan Putin, menjadi catatan tersendiri.
“…Meminta belas kasihan Rusia telah terbukti hanya tugas bodoh, seperti yang telah ditunjukkan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, dengan baik. Putin tidak keberatan menimbulkan lebih banyak rasa sakit di Ukraina, dan dia mungkin memandang tekanan pangan global sebagai cara untuk membuat NATO dan negara-negara lain memaksa Ukraina untuk menyelesaikan perang sebagaimana prasyarat yang ia ajukan. Dunia harus berbuat lebih banyak untuk mencegah kelaparan dan risiko kerusuhan yang dapat dipicu oleh melonjaknya harga pangan. Ingat bagaimana Musim Semi Arab dimulai di Tunisia,”tulis WSJ.
Dunia beradab, kata WSJ, harus segera bertindak untuk mencegah hal ini menjadi krisis kemanusiaan yang lebih besar.
Baru manakala diplomasi tidak berhasil, mantan Jenderal Angkatan Darat AS, Jack Keane, menyarankan diadakannya operasi pengawalan kapal dagang dan kapal pengangkut pangan. Misi itu harus dipimpin AS.
“Ini rencana paling baik, yang bisa diajukan sebagai operasi kemanusiaan,”kata Keane. Misinya, kata dia, membentuk koalisi kapal perang internasional untuk mengawal kapal komersial dengan aman keluar dari Odessa dan Laut Hitam.
“Ini seharusnya bisa bekerja sebagai koalisi negara-negara yang bersedia, dan bukan proyek Organisasi Perjanjian Atlantik Utara yang akan membuat Putin mengklaim itu adalah provokasi NATO lainnya,”kata Keane.
Keane menegaskan, AS punya pengalaman sejenis. Negara itu pernah mengerahkan sekutu untuk misi semacam itu dua kali dalam beberapa dekade terakhir. Pada akhir 1980-an, AS menandai dan melindungi kapal tanker minyak Kuwait saat mereka berlayar keluar dari Teluk Persia selama perang kapal tanker Iran-Irak. Pemerintahan Trump memimpin koalisi serupa jika lebih sederhana pada tahun 2019 untuk melindungi kapal tanker minyak yang bergerak melalui Selat Hormuz.
Menjelang bulan keempat invasi yang belum memperlihatkan tanda-tanda berhenti, WSJ mengkhawatirkan akan adanya peningkatan derita ekonomi, dan kekurangan pangan akan segera berubah menjadi tekanan politik di seluruh dunia.
“Jika Putin tidak mau menyerah, dunia beradab harus menemukan cara untuk mematahkan blokade makanan terhadap Ukraina,”tulis WSJ.
Rusia Buka Koridor Kapal Asing
Sementara itu, Rusia akan membuka koridor untuk kapal asing ke Laut Hitam. Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan, koridor beroperasi setiap hari, mulai pukul 08.00 pagi sampai pukul 19.00 malam waktu setempat.
“Untuk memastikan keluarnya kapal asing dengan aman dari pelabuhan Mariupol, koridor sepanjang 115 mil dan lebar dua mil menuju Laut Hitam akan diatur,” ujar pernyataan Kementerian Pertahanan Rusia, dilansir kantor berita TASS, Kamis (26/5/2022).
Angkatan laut Rusia telah menghilangkan bahaya ranjau di pelabuhan Mariupol. Termasuk langkah-langkah untuk membangun kembali infrastruktur pelabuhan.
Rusia telah melancarkan serangan yang disebut sebagai operasi militer khusus ke Ukraina pada Februari. Serangan tersebut telah membuat Barat geram dan menjatuhkan sanksi kepada Rusia. Barat mengisolasi Rusia sebagai bentuk hukuman. Sementara blokade pengiriman biji-bijian oleh Moskow dari pelabuhan Laut Hitam di Ukraina, telah menurunkan harga minyak, dan gas alam. Sedangkan harga biji-bijian, minyak goreng, dan pupuk melonjak.
Laut Hitam adalah lalu lintas pengiriman utama untuk biji-bijian dan produk minyak. Laut Hita. terhubung ke Marmara dan kemudian laut Mediterania melalui Bosphorus, yang mengalir melalui jantung Istanbul, dan Selat Dardanelles di barat laut Turki.
Beberapa negara yang memiliki perbatasan di Perairan Laut Hitam antara lain Bulgaria, Rumania, Georgia, Turki, Ukraina, dan Rusia.
Sebelumnya World Bank menyediakan dana sebesar USD30 miliar untuk membantu membendung krisis ketahanan pangan, akibat konflik Rusia-Ukraina. Konflik ini telah memotong sebagian besar ekspor biji-bijian dari kedua negara.
Dari total dana tersebut, sebanyak USD12 miliar akan dialokasikan untuk proyek-proyek baru. Sementara 18 miliar dolar AS digunakan untuk proyek-proyek terkait pangan dan gizi yang telah disetujui tetapi belum dicairkan.
“Kenaikan harga pangan memiliki dampak yang menghancurkan bagi mereka yang paling miskin dan paling rentan. Untuk menginformasikan dan menstabilkan pasar, sangat penting bahwa negara-negara membuat pernyataan yang jela tentang peningkatan produksi di masa depan, sebagai tanggapan atas invasi Rusia ke Ukraina,” kata Presiden World Bank David Malpass.
World Bank mengatakan, proyek-proyek baru diharapkan dapat mendukung pertanian, perlindungan sosial untuk melindungi dampak dari harga pangan yang lebih tinggi pada orang miskin, serta proyek-proyek air dan irigasi. Sebagian besar sumber pendanaan akan diberkikan ke Afrika dan Timur Tengah, Eropa Timur dan Asia Tengah, serta Asia Selatan. Daerah-daerah ini termasuk yang paling terpukul oleh dampak perang di Ukraina, terutama terkait pasokan biji-bijian.
Misalnya saja, Mesir sangat bergantung pada impor gandum dari Ukraina dan Rusia. Pasokan gandum di Mesir terganggi karena Rusia telah memblokade ekspor pertanian Ukraina dari pelabuhan Laut Hitam. Rusia juga telah memberlakukan pembatasan ekspor domestik.
Rencana World Bank adalah komponen terbesar dari laporan Departemen Keuangan AS yang merangkum rencana aksi ketahanan pangan dari lembaga keuangan internasional yang dirilis pada Rabu (17/5/2022). Bank Eropa untuk Rekonstruksi dan Pembangunan berencana menyediakan dana sebesar 500 juta euro atau USD523,5 juta untuk ketahanan pangan dan pembiayaan perdagangan untuk produk pertanian dan makanan di Ukraina maupun negara tetangga yang terdampak.
Dari total tersebut, Ukraina akan mendapatkan 200 juta euro dan negara tetangga di sekitarnya akan mendapatkan 300 juta euro. (ATN)
Discussion about this post