ASIATODAY.ID, JAKARTA – Peristiwa langit berwarna merah di Muaro Jambi, Jambi ramai menjadi perbincangan publik di Indonesia.
Pasalnya, langit merah di wilayah iti berwarna semakin gelap seiring dengan pekatnya kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Menurut Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Siswanto, fenomena ini bisa dijelaskan secara ilmiah.
Berdasarkan asil analisis citra satelit Himawari-8 pada Sabtu (21/9/2019) di sekitar Muaro Jambi, menunjukkan banyak titik panas dan sebaran asap yang sangat tebal.
“Wilayah lain pada satelit tampak berwarna cokelat namun di Muaro Jambi menunjukkan warna putih yang mengindikasikan lapisan asap sangat tebal. Hal ini dimungkinkan karena kebakaran lahan/hutan yang terjadi di wilayah tersebut, terutama pada lahan-lahan gambut,” jelas Siswanto, dalam siaran pers di Jakarta, Minggu (22/9/2019).
Dikatakan, tebalnya asap juga didukung oleh tingginya konsentrasi debu partikulat polutan berukuran &10 mikron (PM10). Sabtu, pada tengah malam, pengukuran konsentrasi PM10 menunjukkan kondisi tidak sehat (373,9 ug/m3).
Jika ditinjau dari teori fisika atmosfer, pada panjang gelombang sinar tampak, langit merah disebabkan oleh adanya hamburan sinar matahari oleh partikel mengapung di udara yang berukuran kecil (aerosol).
Fenomena ini dikenal dengan istilah hamburan mie (Mie Scattering). Mie scattering terjadi jika diameter aerosol dari polutan di atmosfer sama dengan panjang gelombang dari sinar tampak (visible) matahari.
“Panjang gelombang sinar merah berada pada ukuran 0,7 mikrometer. Kita mengetahui bahwa konsentrasi debu partikulat polutan berukuran kurang dari 10 mikrometer sangat tinggi di sekitar Jambi, Palembang, dan Pekanbaru. Tetapi langit yang berubah merah terjadi di Muaro Jambi. Ini berarti debu polutan di daerah tersebut dominan berukuran sekitar 0,7 mikrometer atau lebih dengan konsentrasi sangat tinggi. Selain konsentrasi tinggi, tentunya sebaran partikel polutan ini juga luas untuk dapat membuat langit berwarna merah,” tulis Siswanto.
Ukuran partikel bisa lebih dari 0.7 mikrometer karena mata manusia hanya dapat melihat pada spektum visibel (0.4-0.7 mikrometer),” tandasnya.
Kebakaran Hutan Kian Meluas
Berdasarkan hasil analisis Citra Satelit Lansat TM 8 oleh Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, hingga Minggu (22/9/2019) tercatat 47.510 hektare lebih kawasan hutan dan lahan di Jambi yang terbakar.
“Dari luasan itu, lebih dari separo, tepatnya 28.889 hektare berada di kawasan gambut. Luas lahan yang terbakar ini menyumbang kabut asap dan partikel debu yang membahayakan kesehatan manusia,” terang Direktur KKI Warsi Rudy Syaf.
Jika dilihat pada pemanfaatan lahan, kebakaran hutan dan lahan terjadi hampir di semua peruntukan. Meliputi Hutan Tanaman Industri dengan areal terbakar seluas 10.194 hektare, Hak Penguasaan Hutan (HPH) 8.619 hektare, perkebunan sawit 8.185 hektare, hutan lindung 6.712 hektare, restorasi ekosistem 6.648 hektare, Taman Nasional 3.395 hektare, lahan masyarakat 2.956 hektare, dan Taman Hutan Raya 801 hektare.
“Jika melihat data ini, kebakaran yang terjadi di Provinsi Jambi hampir semuanya berada dalam kawasan yang ada pemilik dan pihak yang bertanggung jawab terhadap kawasan tersebut,” kata Rudi Syaf.
Banyak pemegang izin yang mengalami kebakaran berulang, terutama di kawasan gambut. Diantaranya perusahaan HPH PT PDI dan PT PBP yang juga mengalami kebakaran pada 2015. Demikian dengan perusahaan HTI juga mengalami kebakaran berulang, di antaranya PT Wira Karya Sakti, dan eks PT Diera Hutani Lestari. Perkebunan Sawit yang juga berulang diantaranya PT CIN, PT ATGA, PT KUS.
“Kebakaran berulang ini menunjukkan bahwa ada ketidakmampuan pemegang izin di kawasan gambut untuk menjaga kawasan kelolanya aman dari bahaya kebakaran,” ujarnya.
Rudy memandang, ada ketidakpatuhan pemegang izin di kawasan ini untuk mempertahankan muka air gambut minimal 40 sentimeter di bawah permukaan tanah. Selain itu ada juga ketidakpatuhan untuk menyiapkan sarana dan prasaran serta sumber daya untuk penanggulangan kebakaran.
Padahal PP No 57 tahun 2016 jelas menyebutkan kewajiban untuk mempertahankan muka air gambut minimal 40 sentimeter dari permukaan, dan kewajiban untuk tersedianya peralatan dan manusia yang bertanggung jawab untuk mencegah kebakaran secara mutlak.
Selain faktor kelalaian pemegang konsesi, terindikasi kuat kebakaran dipicu oleh aktivitas ekonomi, terutama untuk pembukaan lahan oleh perusahaan.
“Memang izin baru tidak ada yang diterbitkan, namun ada indikasi kuat lahan yang sudah mendapatkan izin tahun-tahun sebelum moratorium izin, tahun ini dibuka untuk areal perkebunan dengan cara membakar,” jelas Rudi.
Kebekaran juga terindikasi kuat dilakukan oleh masyarakat kelas menengah yang menyasar kawasan-kawasan yang seharusnya tidak memungkinkan untuk perladangan dan pembukaan kebun. Misalnya kawasan lindung, taman nasional, kawasan restorasi dan taman hutan raya.
Kepolisian Polisi Daerah Jambi telah menetapkan 19 orang tersangka pelaku pembakaran hutan dan lahan yang semuanya perorangan. Belum ada perusahaan perkebunan yang dijadikan tersangka.
“Sebanyak 19 orang tersangka itu ada di Polres Muarojambi, Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Bungo dan Polres Tebo,” kata juru bicara Polda Jambi Komisaris Besar Kuswahyudi Tresnadi. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post