ASIATODAY.ID, JAKARTA – Deforestasi menjadi ancaman nyata bagi masa depan hutan Indonesia.
Menurut Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB) Muhammad Buce Saleh, selama 20 tahun terakhir (sepanjang tahun 1990-2020), tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan tajam.
“Hutan menjadi kunci dalam pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs),” kata Bruce Dalam orasi ilmiahnya, Sabtu (26/2/2022).
Bruce mengungkapkan, praktik pengelolaan hutan di Indonesia selama ini menghadapai berbagai persoalan.
Keberadaan sumber daya hutan (SDH) di Indonesia meliputi areal yang sangat luas. Seiring dengan perkembangan penduduk dan tuntutan pembangunan, luasan hutan tersebut semakin berkurang.
“Di Pulau Sumatera, terjadi penurunan sebesar 18%, Pulau Jawa sebesar 9%, Pulau Kalimantan sebesar 20%, Pulau Sulawesi sebesar 14%, Pulau Maluku sebesar 10%, Pulau Bali Nusa sebesar 17% dan Pulau Papua sebesar 7%,” jelasnya.
Perencanaan skenario pemanfaatan SDH Indonesia dalam perspektif waktu 2005-2025, Bruce telah memperkirakan luas tutupan hutan akan berkurang 20% pada tahun 2025.
Tren tersebut terkonfirmasi dari data penurunan tutupan hutan periode 1990-2020 sekitar 19%.
Berdasarkan uraian tersebut maka keadaan SDH Indonesia dalam periode 20 tahun ke depan (2005-2025) akan berada dalam tiga skenario, yakni skenario pesimis, skenario moderat, dan skenario optimis.
Buce menjelaskan, skenario pesimis ketika kondisi luas kawasan hutan akan berkurang sebesar 20% dan konflik masih tetap berlangsung.
Skenario moderat dengan kondisi luas kawasan hutan akan berkurang sebesar 20%, namun konflik dapat diselesaikan. Sehingga luas tutupan hutan kemungkinan akan lebih besar dari luas kawasan hutan.
Sementara skenario optimis, imbuhnya, di mana kondisi luas kawasan hutan dapat dipertahankan dan konflik dapat diselesaikan.
Menurut Bruce, skenario optimis merupakan kondisi yang sangat ideal.
“Ini mungkin terjadi bila kita mencegah pertambahan penduduk serta pertumbuhan ekonomi sudah tidak tergantung lagi kepada SDH,” jelasnya.
“Hasil analisis terhadap semua skenario masa depan SDH Indonesia dan semua alternatif arahan pemanfaatannya menunjukkan bahwa skenario yang paling mungkin dilakukan adalah skenario moderat,” ungkapnya.
“Arah pemanfaatan SDH lebih diutamakan untuk usaha skala kecil baik di hutan alam maupun hutan tanaman. Sedangkan usaha skala besar yang ada sekarang didorong agar mempunyai kinerja baik,” sambungnya.
Menurutnya, skenario dan arahan pemanfaatan SDH Indonesia di atas hanya gambaran kecil dari penerapan perencanaan spasial.
Pada dekade mendatang, perkembangan ilmu dan teknologi akan semakin pesat.
Tantangannya adalah kemampuan dalam memanfaatkan ilmu dan teknologi tersebut dalam perencanaan spasial SDH agar lebih transparan, partisipatif, dan kolaboratif.
“Namun, penerapan teknologi semata belum mampu mengurai permasalahan pengelolaan SDH. Dibutuhkan pengetahuan atau bidang ilmu lainnya seperti ilmu sosial, ekonomi dan politik,” tambahnya.
Nanoteknologi
Sementara itu, Prof. Dr. Akhiruddin, S.Si., M.Si, menyampaikan ringkasan orasi ilmiahnya berjudul “Eksplorasi Biomassa Melalui Pendekatan Nanoteknologi untuk Penyediaan Material dan Piranti Maju”.
Menurut Akhiruddin, pemanfaatan nanoteknologi dapat mengolah biomassa dari tumbuhan dan hewan menjadi material dan produk fungsional yang sangat menjanjikan.
“Eksplorasi biomassa dapat menghasilkan material maju dengan karakteristik dan fungsi baru sehingga dapat diterapkan dalam berbagai teknologi termasuk teknologi tinggi,” katanya.
Menurut dia, nanoteknologi adalah teknologi merekayasa dan mengontrol materi pada dimensi dari satu sampai 100 nanometer.
Pada rentang dimensi tersebut fenomena unik tercipta yang pada akhirnya menciptakan aplikasi teknologi baru.
Komponen biomassa, kata dia, dapat dieksplorasi menjadi nanomaterial dengan pendekatan nanoteknologi.
Nanomaterial yang dihasilkan melalui pendekatan nanoteknologi telah diterapkan pada berbagai bidang meliputi bidang medis, bidang lingkungan, bidang pertahanan, dan bidang energi.
Sedangkan Prof. Dr. Ir. Rilus A Kinseng, M.A, menyampaikan ringkasan orasi ilmiahnya bertajuk “Konflik dan Perubahan Sosial pada Komunitas Nelayan dan Pedesaan di Indonesia”.
Rilus menyampaikan, konflik pada komunitas nelayan dan pedesaan di Indonesia dapat menelan korban harta benda dan bahkan nyawa manusia, perlu dikelola dengan baik agar tidak destruktif.
Menurut dia, konflik pada komunitas nelayan disebabkan oleh ketidakberesan sosial meliputi, sumber penghidupan, keadilan hukum, serta martabat.
“Konflik pada komunitas nelayan dan pedesaan terutama dipicu oleh ketidakberesan sumber penghidupan,” katanya. (ATN)
Discussion about this post