ASIATODAY.ID, JAKARTA – Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mencoret Indonesia dan sejumlah negara dari negara berkembang, hingga kini masih menarik perhatian publik di Indonesia.
Pemerintah memandang, kebijakan pemerintah Amerika itu tidak berpengaruh terhadap pemberian fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) oleh Amerika terhadap Indonesia. Fasilitas GSP tidak menjadikan status negara berkembang sebagai pertimbangan.
Menurut Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono, pernyataan United States Trade Representative (USTR) yang mengeluarkan Indonesia dan sejumlah negara lain dari daftar negara berkembang adalah untuk investigasi countervailing duty (CVD) terhadap negara-negara berkembang.
“Notice USTR yang baru tersebut tidak berpengaruh terhadap pemberian fasilitas GSP Indonesia. Kebijakan tersebut hanya berdampak pada US countervailing duty investigations bukan pada program GSP,” ujarnya melalui keterangan tertulisnya, Selasa (25/2/2020).
Dikatakan, status penerima GSP yang didasarkan pada 15 kriteria eligibilitas, merujuk pada Undang-undang yang berbeda, termasuk kriteria negara berkembang dan LDCs yang ditentukan oleh Bank Dunia. Sementara Undang-Undang GSP tidak menjadikan status negara berkembang sebagai pertimbangan.
Selain Indonesia, investigasi CVD dilakukan terhadap negara-negara berkembang yang dideklarasikan sendiri oleh AS yang meliputi Albania, Argentina, Armenia, Brasil, Bulgaria, Tiongkok, Kolumbia, Kosta Rika, Georgia, Hong Kong, India, Kazakhstan, Republik Kyrgyzstan, Malaysia, Moldova, Montenegro, Makedonia Utara, Rumania, Singapura, Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand, Ukraina, dan Vietnam.
Susiwijono menjelaskan, pemerintahan AS mendasarkan kebijakan tersebut untuk negara-negara yang termasuk dalam kategori tertentu, seperti mereka yang menjadi anggota klub ekonomi global seperti G-20, OECD atau yang diklasifikasikan sebagai negara berpendapatan tinggi oleh Bank Dunia.
“USTR melakukan revisi metodologi dalam mengklasifikasi negara dengan ekonomi berkembang yang didasarkan pada panduan yang disusun pada 1998,” paparnya.
Sementara WTO memiliki preferensi khusus pengkategorian negara berkembang dan negara maju. Pengklasifikasian negara berkembang bertujuan untuk membantu negara-negara miskin dalam mengurangi kemiskinan, menghasilkan lapangan kerja dan mengintegrasikan diri mereka ke dalam sistem perdagangan global.
Di bawah aturan WTO, pemerintah diwajibkan untuk menghentikan penyelidikan tugas countervailing jika jumlah subsidi asing de minimis, yang biasanya didefisinisikan kurang dari satu persen ad valorem.
Pada negara berkembang kata dia, WTO memberi standar berbeda, yakni mengharuskan penyelidik untuk menghentikan penyelidikan tugas jika jumlah subsidi kurang dari dua persen ad valorem.
“Berbagai pelaku usaha di Indonesia kemungkinan berpandangan bahwa kebijakan tesebut dapat berdampak pada manfaat GSP Amerika Serikat untuk produk ekspor Indonesia. Salah satu kriteria Fasilitas GSP adalah pemberian kepada negara least developed countries dan negara berkembang,” tandasnya. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post