ASIATODAY.ID, JAKARTA – Perubahan iklim dan pemanasan global terus mengikis lapisan ozon di atmosfer. Selain bencana alam, kerusakan lapisan ozon menimbulkan dampak besar terhadap sektor pangan di Asia.
Asia Timur tercatat sebagai salah satu wilayah yang paling terdampak kerusakan ozon ini. Sektor pangan di kawasan itu harus mengalami kerugian hingga USD63 miliar atau sekitar Rp 904 triliun per tahun.
Menurut para ilmuwan, emisi bahan bakar fosil telah mendorong perubahan iklim secara masif dan memperburuk kualitas udara di kawasan itu.
Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature Food, pada Senin (17/1/2022), dengan tingkat polusi ozon yang tinggi, China, Korea Selatan, dan Jepang mengalami penurunan hasil panen gandum, beras, dan jagung.
China sendiri kehilangan sepertiga dari potensi produksi gandum dan hampir seperempat dari hasil beras karena ozon mengganggu pertumbuhan tanaman. China memiliki implikasi yang mengkhawatirkan di luar kawasan, dengan Asia menyediakan sebagian besar pasokan beras dunia.
“Asia Timur adalah salah satu keranjang roti dan mangkuk nasi terbesar di dunia,” kata penulis utama Zhaozhong Feng, seorang peneliti lingkungan di Universitas Sains & Teknologi Informasi Nanjing.
Asia juga merupakan hotspot ozon, terbentuk ketika sinar matahari berinteraksi dengan gas rumah kaca seperti nitrous oxide, karbon monoksida, dan senyawa organik yang mudah menguap yang dilepaskan oleh pembakaran bahan bakar fosil.
Di stratosfer, lapisan ozon melindungi planet bumi dari radiasi ultraviolet. Tetapi lebih dekat ke permukaan bumi, ozon dapat membahayakan tumbuhan dan hewan, termasuk manusia.
Feng dan rekan-rekannya menggunakan data pemantauan ozon untuk memperkirakan kerusakan tanaman yang menelan biaya sekitar USD63 miliar. Penelitian sebelumnya tentang topik tersebut telah menggunakan simulasi komputer untuk menilai dampak ekonomi dari polusi ozon pada tanaman.
“Ozon secara langsung merusak ketahanan pangan di China untuk ketiga tanaman”, kata Feng.
Hal ini menjadi perhatian China yang sudah mengkhawatirkan kualitas lahannya yang menurun. Negara ini harus memberi makan seperlima populasi dunia dengan hanya 7 persen dari lahan pertaniannya.
Karena industri, energi, dan ekspansi perkotaan telah bersaing untuk mendapatkan sumber daya lahan yang terbatas, China kehilangan sekitar 6 persen dari lahan suburnya – atau 7,5 juta hektar – dari 2009 hingga 2019, menurut survei tanah negara yang diterbitkan pada Agustus tahun lalu.
Sejak saat itu, Beijing telah menarik “garis merah” untuk melindungi lahan pertanian yang ada.
Para ahli masih mengantisipasi bahwa total lahan akan turun lebih jauh pada tahun 2030.
“Di beberapa bagian dunia, polusi ozon sebanding dengan atau bahkan lebih buruk untuk tanaman daripada penyebab stres besar lainnya seperti panas, kekeringan, dan hama,” kata Katrina Sharps, analis data spasial di Pusat Ekologi dan Hidrologi Inggris. (ATN)
Discussion about this post