ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pemerintah Indonesia kini mulai pasrah menghadapi dampak pandemi coronavirus (Covid-19).
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan pemerintah tengah bersiap menghadapi risiko pertumbuhan ekonomi yang masuk dalam skenario buruk. Hal ini tidak terlepas dari realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I-2020 yang hanya 2,97 persen.
Padahal sebelumnya, pemerintah sangat optimistis pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa tumbuh 2,3 persen dalam skenario berat imbas pandemi covid-19. Sementara dalam skenario sangat berat, pertumbuhan ekonomi minus 0,4 persen.
“Sebagai ilustrasi yang kita hadapi dalam melihat ekonomi kita di kuartal II dan kemungkinan berlanjut di kuartal III, sehingga kemungkinan masuk skenario sangat berat mungkin terjadi dari 2,3 persen jadi minus 0,4 persen,” terang Sri Mulyani saat rapat virtual dengan Komisi XI di Jakarta, Rabu (6/5/2020).
Menurut Sri, pertumbuhan ekonomi kuartal I tertekan cukup dalam karena konsumsi yang hanya 2,84 persen. Jika kondisi ini tidak bisa diantisipasi pada kuartal selanjutnya, maka pertumbuhan ekonomi akan semakin sulit. Apalagi jika pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masih berlanjut.
“Kalau kuartal III dan kuartal IV tidak mampu recover atau pandemi menimbulkan dampak lebih panjang di kuartal II dan kuartal III penuh, PSBB belum ada pengurangan. Kalau itu dilakukan kita memasuki skenario sangat berat,” jelasnya.
Sri Mulyani menerangkan, 57 persen ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi atau setara Rp9.000 triliun. Dari angka tersebut, sekitar Rp5.000 triliun berada di Jawa dan Jabodetabek. Jika terjadi penurunan 10 persen saja, maka menjadi angka yang cukup besar.
“Biasa growth di atas 5 persen hanya jadi 2,84 persen ini masih kuartal I, sebetulnya pembatasan sosial baru dilakukan Maret minggu kedua, bisa dibayangkan kuartal II April-Mei dilakukan PSBB meluas, konsumsi drop jauh lebih besar,” urainya.
Angka Kemiskinan Melonjak
Sri Mulyani juga memaparkan, tingkat kemiskinan melonjak imbas pandemi covid-19. Bahkan angka kemiskinan diproyeksikan akan kembali seperti 2011 lalu.
“Bayangkan Covid-19 yang hanya terjadi beberapa bulan, semua pencapaian penurunan kemiskinan dari 2011 sampai 2020 ini mengalami reverse kembali,” urainya.
Sri menyebutkan, angka kemiskinan pada 2011 sebanyak 29,89 juta orang atau 12,36 persen. Namun, angka tersebut turun di September 2019 menjadi 24,79 juta orang atau 9,22 persen.
Karena itu, pemerintah membuat sejumlah program bantuan sosial (bansos) sebagai jaring pengaman sosial (social safety net) bagi masyarakat yang terdampak. Total anggaran yang disiapkan mencapai Rp110 triliun.
“Oleh karena itu, belanja-belanja bansos jadi salah satu upaya untuk bisa jaga agar kemiskinan tidak semakin melonjak akibat Covid-19 yang menimbulkan PHK dan penurunan kegiatan ekonomi termasuk informal dan UMKM,” terangnya.
Gini rasio juga kata Sri akan mengalami tekanan imbas covid-19. Pasalnya, pandemi tersebut berdampak hampir ke seluruh lapisan masyarakat.
“Dari sisi sosial ekonomi, karena ada pembatasan sosial, yang terkena justru 40 sampai 50 persen masyarakat terbawah sehingga kemungkinan gini ratio tertekan, masyarakat bawah dan menengah tekanan lebih besar. Untuk 30 persen masyarakat top (atas), dalam situasi konsolidasi,” paparnya.
Berdasarkan data BPS gini rasio pada September 2019 sebesar 0,380. Angka ini mengalami penurunan tipis dari rasio gini pada Maret 2019 yang sebesar 0,382. (ATN)
Discussion about this post