ASIATODAY.ID, JAKARTA – Ketika Presiden Jokowi mengumumkan Ibu Kota Negara (IKN) baru Indonesia di Kalimantan Timur, kalangan peneliti dan penggiat lingkungan mulai mewaspadai dampak lingkungan yang akan timbul di masa depan. Selain ekologi, keberlanjutan hidup spesies endemik kini dalam ancaman nyata.
Peneliti Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Ramadi mendengungkan, deru pembangunan infrastruktur ibu kota baru dapat mengancam spesies yang hidup di ekosistem Karst Sangkulirang-Mangkalihat Kalimantan Timur, tepatnya di Kabupaten Kutai Timur.
“Karst Sangkulirang-Mangkalihat merupakan rumah kebudayaan masa lalu dan juga rumah berbagai spesies yang khas, unik dan endemik. Beberapa spesies juga sudah mengalami tekanan akibat perubahan lahan antara lain tambang batubara dan perkebunan sawit,” terang Cahyo saat dihubungi Rabu (28/8/2019).
Cahyo memandang, saat ini potensi lingkungan terganggu bakal semakin menguat akibat meningkatnya kebutuhan semen untuk mendukung pembangunan infrastruktur untuk ibu kota baru. Bahkan, sejumlah rencana penambangan batu gamping di Karst Sangkulirang-Mangkalihat untuk industri semen telah bermunculan.
Setidaknya ada beragam spesies yang mendiami Gua-gua di Ekosistem Karst disana terancam akan punah, seperti Kepiting Gua (Guaplax denticulata), Kecoak Raksasa (Miroblatta baai), Kalacemeti Sangkulirang (Sarax sangkulirangensis), Kalacemeti Gua (Sarax cavernicola), dan Kalacemeti Mardua (Sarax mardua).
Karena itu, LIPI mengingatkan kepada pemerintah untuk secara matang memanfaatkan bahan baku yang ada guna mendukung pembangunan infrastruktur ibu kota baru agar mencegah penurunan fungsi ekosistem Karst.
“Disini dibutuhkan kebijaksanaan dalam menjaga keseimbangan. Yang perlu dipertimbangkan sebenarnya pemanfaatan untuk mendukung infrastruktur. Tentu konsekuensinya ke arah penurunan fungsi ekosistem karst karena gangguan terhadap habitat beberapa spesies,” tandas Cahyo.
Selain ekosistem Karst dan berbagai spesies endemiknya, nasib satwa Orang Utan juga kini dalam ancaman.
Anggota Forum Konservasi Orang Utan Kalbar, Andi Fachrizal, mengungkapkan bahwa pemerintah memilih ibu kota baru tepat berada di habitat asli orang utan. Tentu ini akan berdampak pada tatanan yang sudah ada.
“Jika lokasinya di kantong habitat, pasti akan berdampak. Sama saja dengan kita. Sudah sejak lama tinggal dalam satu kawasan, tiba-tiba ada pendatang baru yang ‘super wah’. Sedikit banyak akan berdampak pada tatanan yang ada, Jumat (23/8).
Berdasarkan data Population Habitat Viability Assesment (PHVA) tahun 2016, diperkirakan hanya terdapat 57.350 ekor orang utan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang hidup di habitat seluas 181.692 kilometer persegi. Mereka tersebar di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Sarawak (Malaysia).
PO Manager Protected Areas and Community Conserved Area (CCA) WWF Indonesia, Albertus Tjiu, memprediksi jumlah orang utan Kalimantan akan semakin berkurang. Karenanya, dibutuhkan kolaborasi dari berbagi pihak, mulai dari pemerintah, swasta, akademisi, masyarakat dan NGO, agar Orang Utan Kalimantan tetap bisa bertahan hidup di alam bebas, di tengah berbagai ancaman.
“Kabar tidak bagusnya, diprediksi 100-500 tahun ke depan hanya tersisa 38 persen dari jumlah itu. Itu bisa dicegah dengan berkontribusi menjaga habitat Orang Utan Kalimantan. Bukan tidak mungkin juga angka yang 57 ribu ini bisa ditambah, kalau semuanya berkontribusi,” jelas Albert.
Pengendali Ekosistem BKSDA Kalbar, Eni Ratnawati, pada saat menghadiri Kampanye Orang Utan di Pontianak, memaparkan tentang ancaman bagi kelangsungan hidup populasi orang utan di Kalimantan.
“Fragmentasi lahan jadi ancaman pertama bagi orang utan,” ujarnya.
Daya jelajah Orang Utan yang sangat jauh tak lagi sesuai dengan luasan hutan yang tersedia saat ini.
“Pemerintah memang sudah menentukan peruntukan lahan-lahan. Ada lahan pemukiman, pertanian, kawasan konservasi, dan lain-lain. Kita akui sistem memang sudah menyisihkan ruang-ruang konservasi. Tapi, apakah ideal pembagian itu. Menurut kami, dengan kondisi yang ada sekarang masih belum mencukupi. Kalau boleh mengistilahkan, orang utan saat ini seperti menempati kawasan RS4, yaitu rumah susun sangat sederhana sekali,” jelas Eni.
Presiden Joko Widodo telah memastikan ibu kota baru berada di Kalimantan Timur yakni di Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara menggantikan Jakarta. Jokowi beralasan Kaltim dipilih karena pertimbangan strategis dan kebencanaan.
Pemilihan Kaltim, karena risiko bencana termasuk kecil. Seperti banjir, gempa bumi tsunami, kebakaran hutan, dan gunung berapi. Selain itu Kaltim dipilih karena lokasi geografinya berada di tengah kepulauan Indonesia. Jokowi menambahkan di Kalimantan Timur telah tersedia lahan sekitar 180 ribu hektare.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menggaransi, pemindahan ibu kota tidak akan mengganggu hutan konservasi di Kalimantan Timur. Hutan di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara tidak akan terganggu.
“Pemerintah bahkan akan memperbaikinya termasuk hutan konservasi Bukit Suharto,” kata Bambang Selasa (27/8/2019).
Bambang mengemukakan, dari areal seluas 180 ribu hektare yang disediakan untuk ibu kota baru nanti, kawasan induknya mulai dengan 40 ribu dulu, kemudian suatu saat di masa depan bisa diperluas sampai 180 ribu hektare.
“Seluas 180 ribu itu separuhnya nanti adalah ruang terbuka hijau termasuk hutan lindung,” kata Bambang.
Bambang menegaskan, hutan lindung tidak akan diganggu bahkan di tempat yang disebut tadi sebagian dari Penajem Paser Utara dan Kutai Kartanegara ada hutan konservasi Bukit Soeharto.
“Justru kita akan perbaiki hutan konservasi itu yang sekarang, Pak Gubernur lebih tahu dari saya, ada yang memakainya tidak untuk keperluan hutan, termasuk perkebunan. Jadi, justru akan direhabilitasi yang namanya hutan konservasi Bukit Soeharto,” ujar Bambang seraya menambahkan, untuk hutan lindung yang ada di Kaltim tidak akan diganggu. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post