ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pemerintah Indonesia siap menghadapi gugatan Uni Eropa (UE) di forum Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) terkait dengan larangan ekspor bijih nikel.
Menteri Perdagangan Republik Indonesia Muhammad Lutfi sedang mendalami tuntutan dari negara-negara Uni Eropa serta mengikuti aturan penyelesaian proses sengketa di WTO sesuai dengan aturan yang disepakati.
“Sebagai negara hukum dan demokrasi, Indonesia dengan senang hati akan melayani tuntunan tersebut,” ujar Lutfi dalam konferensi pers secara virtual pada Jumat (15/1/2021).
Berdasarkan kesimpulan Kementerian Perdagangan, tuntutan yang dilayangkan Uni Eropa didasarkan kepada anggapan bahwa aturan yang dimiliki Indonesia mengenai minerba menyulitkan pihak Uni Eropa untuk bisa berkompetisi dalam industri.
Setelah dipelajari oleh pemerintah, jumlah komoditas nikel yang diimpor oleh Uni Eropa dari Indonesia sangat kecil dan dianggap mengganggu produktivitas negara-negara di kawasan tersebut.
Sebelumnya, Uni Eropa memberikan notifikasi bahwa mereka akan terus melanjutkan proses sengketa nikel pada Kamis (14/1/2021). Untuk proses pembahasan sengketa di WTO akan dilaksanakan pada 25 Januari 2021.
Lutfi menegaskan, pemerintah saat ini berkomitmen untuk melakukan kerja sama untuk menciptakan nilai tambah dari perdagangan antara Indonesia dan Uni Eropa, meskipun tetap menyayangkan tuntutan yang dilayangkan.
Pada prinsipnya, pemerintah berkeyakinan aturan yang dimiliki Indonesia berfungsi tidak hanya untuk menjaga sumber daya alam (SDA), tetapi juga memastikan komoditas tersebut merupakan miliki pemeritah Indonesia.
“Masalah aturannya dinilai ilegal, ini baru sangkaan Uni Eropa. Ini akan dibuktikan dulu di panel, dan kita akan membela kepentingan kita. Kami yakin, untuk menjamin sustainability SDA, kita ada di jalan yang benar,” jelasnya.
Uni Eropa sebelumnya mendesak WTO membentuk panel untuk memutuskan kasus tersebut dengan alasan larangan ekspor bijih nikel Indonesia dan persyaratan pemrosesan dalam negeri untuk bijih nikel dan bijih besi adalah ilegal dan tidak adil bagi produsen baja Uni Eropa.
Permintaan Uni Eropa terhadap nikel Indonesia sendiri cukup tinggi setelah industri baja tahan karat UE senilai USD20 miliar berproduksi di level terendah selama 10 tahun.
Sementara Indonesia dinilai oleh pihak UE memberlakukan pembatasan ilegal untuk menguntungkan produsen dalam negeri. (ATN)
Discussion about this post