ASIATODAY.ID, JAKARTA – Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW) merilis laporan terbarunya bertajuk Economic Update: South-East Asia kuartal tiga (Q3) 2019.
Laporan tersebut mengungkap, pertumbuhan ekonomi di seluruh wilayah Asia Tenggara diperkirakan menurun menjadi 4,5 persen pada 2019, dari 5,1 persen di 2018.
Menurut ICAEW Economic Advisor and Oxford Economics Lead Asia Economist, Sian Fenner, kondisi tersebut masih dipengaruhi pembatasan perdagangan dan tarif antara AS dan Tiongkok yang berkelanjutan.
Fenner memperkirakan akan terjadi kemerosotan prospek ekonomi lebih lebih lanjut di seluruh wilayah Asia Tenggara, terutama bagi negara dengan ekonomi yang lebih bergantung pada perdagangan.
“Secara kesuluruhan, pertumbuhan PDB wilayah Asia Tenggara diperkirakan akan moderat hingga 4,5 persen tahun ini, dan tetap stabil pada angka yang sama hingga 2020,” terang Fenner dalam keterangan resminya, Rabu (25/9/2019).
Kebijakan makro yang akomodatif ditambah desakan aktivitas domestik diperkirakan dapat menahan prospek perdagangan yang lemah. Namun demikian hal ini akan bervariasi di berbagai negara.
Secara umum pertumbuhan ekonomi semester pertama 2019 di seluruh wilayah Asia Tenggara melambat menjadi empat persen dibandingkan dengan semester ke dua 2018, yaitu 4,5 persen. Hal ini merupakan dampak dari perang dagang AS-Tiongkok, melemahnya permintaan domestik Tiongkok dan kecenderungan menurunnya siklus industri elektronik global.
Momentum ekspor yang melambat juga berdampak besar terhadap pertumbuhan ekonomi negara yang bergantung pada perdagangan, seperti Singapura, Thailand, dan Filipina. Sementara itu, Malaysia dan Vietnam telah unggul di wilayah tersebut yang mencerminkan perlambatan pertumbuhan ekspor yang lebih rendah dan permintaan domestik yang kuat.
“Permintaan domestik diperkirakan meningkat akibat dari kebijakan penurunan suku bunga pinjaman,” paparnya.
Menghadapi tantangan eksternal yang kian tajam, dengan lebih rendahnya suku bunga dan lemahnya tekanan inflasi, bank sentral di seluruh wilayah Asia Tenggara diharapkan dapat menurunkan kebijakan suku bunga guna mendukung permintaan domestik. Kebijakan fiskal pun harus lebih kondusif di tengah investasi infrastruktur yang lebih tinggi.
Setelah menurunkan suku bunga sebanyak 50 basis poin (bp) tahun ini, Bank Sentral Indonesia dan Filipina diperkirakan akan menurunkan suku bunga sekali lagi pada kuartal keempat (Q4) tahun 2019. Begitu pula dengan Thailand dan Malaysia yang diperkirakan akan menurunkan suku bunga setidaknya 25 basis poin (bp) pada awal 2020.
Monetary Authority of Singapore (MAS) diharapkan dapat melonggarkan segala kebijakan pada Oktober, bergeser ke apresiasi bias nol pada alat kebijakan utama, SG$NEER, gabungan nilai mata uang berbasis perdagangan terhadap SGD.
Kedepannya, Singapura diperkirakan akan mengalami resesi teknis manufaktur pada kuartal ke tiga (Q3) 2019. Vietnam diperkirakan akan terus unggul di antara negara lainnya, walaupun mengalami penurunan pada pertumbuhan PDB menjadi 6,7 persen pada 2019, diikuti deselerasi selanjutnya menjadi 6,3 persen pada 2020.
Jika AS menerapkan tarif impor lebih tinggi pada Vietnam, pertumbuhan PDB negara tersebut diperkirakan akan menurun menjadi 5,9 persen pada 2020-2021 dibandingkan dengan batas bawah 6,2 persen.
Sementara itu, ICAEW Regional Director, Greater China and South-East Asia, Mark Billington memperkirakan tantangan kondisi eksternal akan terus membebani pertumbuhan perekonomian secara umum di seluruh Asia Tenggara, sama halnya dengan perputaran perdagangan regional. Kebijakan makro akomodatif dinilai akan menahan perdagangan yang melemah.
“Pertumbuhan rendah akan tetap berpotensi di Indonesia, Filipina, dan Thailand, dengan Singapura mengalami dampak terberat,” tandasnya. (AT Network)
,’;\;\’\’
Discussion about this post