ASIATODAY.ID, JAKARTA – Badan Energi Internasional atau International Energy Agency (IEA) menyerukan agar pemerintah di dunia menambah atau mengganti sekitar 80 juta kilometer jalur transmisi listrik atau saluran udara tegangan tinggi (SUTET) pada tahun 2040 untuk memberi jalan bagi energi bersih dari sumber energi baru dan terbarukan.
Jumlah ini hampir setara dengan panjang jaringan listrik yang ada di seluruh dunia saat ini.
Menurut IEA, pembangunan jalur transmisi yang luar biasa di seluruh dunia ini akan membutuhkan investasi tahunan lebih dari US$ 600 miliar (Rp 9.400 triliun) per tahun hingga 2030.
Hal ini juga akan membutuhkan perubahan dalam cara jaringan listrik di setiap negara dioperasikan dan diatur.
“Kemajuan energi bersih baru-baru ini yang kita lihat di banyak negara adalah luar biasa dan merupakan alasan untuk optimisme, tetapi bisa terancam jika pemerintah dan bisnis tidak bekerja sama untuk memastikan jaringan listrik dunia siap untuk ekonomi energi global baru yang sedang muncul dengan cepat,” kata Direktur Eksekutif IEA, Fatih Birol, dalam pernyataan tertulis yang diterbitkan, Rabu (18/10/2023).
Saat ini, ada 1.500 gigawatt proyek energi bersih terbarukan dalam “tahap pengembangan lanjut” yang menunggu untuk terhubung ke jaringan listrik di seluruh dunia.
Bill Gates, pendiri Microsoft dan investor iklim, dalam bukunya, “How to Avoid a Climate Disaster,” mengatakan, sebagai gambaran, sebuah kota berukuran sedang memerlukan satu gigawatt listrik, kata dia.
IEA mengatakan bahwa 1.500 gigawatt proyek energi bersih terbarukan yang menunggu untuk terhubung ke jaringan listrik adalah lima kali lipat dari total tenaga angin dan surya yang ditambahkan di seluruh dunia pada tahun 2022.
Permintaan akan listrik akan terus meningkat ketika lebih banyak sektor ekonomi global beralih ke tenaga listrik.
Selain itu, jaringan listrik dibangun untuk mengalirkan listrik dari lokasi pembakaran bahan bakar fosil ke tempat di mana listrik tersebut dibutuhkan. Saat dunia bertransisi ke ekonomi energi bersih, jaringan listrik akan semakin harus berjalan dari tempat pembangunan pembangkit listrik tenaga angin dan surya ke tempat di mana listrik digunakan.
Jika jaringan listrik tumbuh lambat, maka hampir 60 miliar ton emisi karbon dioksida ekstra (tambahan) akan dilepaskan antara tahun 2030 dan 2050. Ini setara dengan jumlah emisi yang telah dilepaskan oleh sektor energi di seluruh dunia selama empat tahun terakhir, kata IEA.
IEA menyebut skenario ini sebagai “Grid Delay Case”.
Dalam kasus ini, suhu rata-rata global pada tahun 2050 akan meningkat lebih dari 1,5 derajat celsius di atas tingkat pra-industri yang ditetapkan sebagai target iklim dalam Perjanjian Iklim Paris 2015. Bahkan akan ada kemungkinan melebihi 2 derajat.
Salah satu tantangan adalah jalur transmisi memerlukan waktu yang lama untuk dibangun. Membangun jalur transmisi baru memerlukan waktu antara lima hingga 15 tahun, termasuk perencanaan dan izin.
Sebaliknya, proyek energi terbarukan baru memerlukan waktu antara satu hingga lima tahun, dan infrastruktur baru untuk mengisi daya kendaraan listrik memerlukan waktu kurang dari dua tahun.
Oleh karena itu, IEA menyarankan investasi dalam peningkatan dan pertumbuhan infrastruktur jalur transmisi harus dilakukan sekarang atau akan menjadi faktor yang lebih besar dan lebih membatasi dalam rencana global dekarbonisasi.
“Memastikan bahwa negara berkembang memiliki sumber daya yang mereka butuhkan untuk membangun dan memodernisasi jaringan listrik adalah tugas penting bagi komunitas internasional,” kata Birol dalam pernyataan tertulis. (AT Network)
Simak Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post