ASIATODAY.ID, JAKARTA – Pemerintah India memutuskan untuk menutup ekspor semua gandum setelah mengumumkan inflasi harga konsumen tahunan, yang mendekati level tertinggi selama 8 tahun di 7,79 persen pada April 2022 dan inflasi makanan ritel yang melonjak tinggi menjadi 8,38 persen.
“Ekspor semua gandum termasuk durum berprotein tinggi dan varietas roti, telah diubah kategorinya dari ‘bebas’ ke ‘terlarang’ mulai 13 Mei 2022,” kata Perdana Menteri India Narendra Modi, dikutip dari Indian Express, Sabtu (14/5/2022).
Sebagaimana diketahui, India merupakan produsen gandum nomor dua terbesar di dunia setelah China, dengan kapasitas produksi 107,5 juta ton. Indonesia sendiri mengimpor gandum sebesar 11,7 juta tiap tahunnya atau setara US$3,45 miliar.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memandang, pelarangan ekspor semua gandum yang dilakukan India dapat berdampak terhadap stabilitas pangan di Indonesia.
“Impor gandum Indonesia dari India naik 31,6 persen dibanding tahun sebelumnya. Jadi kalau India melakukan proteksionisme dengan larangan ekspor gandum, sangat berisiko bagi stabilitas pangan di Indonesia. Dengan inflasi yang mulai naik, dikhawatirkan garis kemiskinan akan meningkat,” kata Bhima dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (14/5/2022).
Menurut Bhima, ada 4 dampak yang akan dirasakan akibat pelarangan ekspor gandum tersebut.
Pertama, harga gandum di pasar internasional telah naik 58,8 persen dalam setahun terakhir. Imbas pada inflasi pangan tentu akan menekan daya beli masyarakat. Misalnya saja, tepung terigu, dan mie instan, ditambah lagi, Indonesia tak bisa memproduksi gandum. Sehingga, banyak industri makanan minuman skala kecil yang harus putar otak untuk bertahan di tengah naiknya biaya produksi.
Kedua, pelarangan ekspor gandum yang belum diketahui sampai kapan waktunya membuat kekurangan pasokan menjadi ancaman serius.
Perang Rusia-Ukraina yang telah berlangsung sejak Februari 2022 membuat stok gandum global turun signifikan.
“Dengan adanya kebijakan India, tentunya akan berimbas signifikan ke keberlanjutan usaha yang membutuhkan gandum,” jelasnya.
Ketiga, pengusaha harus segera mencari sumber alternatif gandum. Menurut Bhima, ini seharusnya menjadi kesempatan untuk alternatif bahan baku selain gandum seperti jagung, singkong, hingga sorgum yang banyak ditemukan di Indonesia.
Keempat, pakan ternak yang sebagian menggunakan campuran gandum akan terdampak yang pada akhirnya dapat menyebabkan harga daging dan telur juga naik karena harga gandum meningkat.
Bhima menyarankan agar pemerintah harus segera mempersiapkan strategi untuk mitigasi berlanjutnya ekspor gandum India.
“Pengusaha di sektor makanan minuman dan pelaku usaha ternak perlu berkoordinasi mencari jalan keluar bersama dengan pemerintah. Sekarang harus dihitung berapa stok gandum di tanah air, dan berapa alternatif negara penghasil gandum yang siap memasok dalam waktu dekat,” imbuhnya.
Dengan kebijakan ini kata Bhima, bukan tidak mungkin Pemerintah Indonesia bersama negara lain melakukan gugatan kepada India ke WTO karena kebijakan unilateral India merugikan konsumen dan industri di Indonesia. (ATN)
Discussion about this post