ASIATODAY.ID, JAKARTA – Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) menyoroti dinamika geopolitik di kawasan Asia Timur.
Menurut Jokowi, rivalitas antara kekuatan besar masih jadi permasalahan terbesar sehingga sulit untuk mewujudkan persatuan dan mengambil aksi bersama.
Demikian disampaikan Jokowi saat berpidato dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-16 Asia Timur atau East Asia Summit (EAS) secara virtual dari Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Rabu (27/10/2021).
“Tidak ada yang diuntungkan dari berlanjutnya situasi ini dan kita harus segera mengakhirinya,” kata Jokowi.
Jokowi mengatakan, hingga saat ini belum ada upaya konkret untuk mengakhiri persoalan tersebut. Padahal, 10 tahun lalu telah disepakati Bali Principles sebagai rules of the game untuk mewujudkan hubungan antarnegara yang bersahabat dan saling menguntungkan.
Selain itu, rambu-rambu ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) juga telah didesain untuk menjawab rivalitas tersebut.
“Saya yakin semua pemimpin EAS percaya kerja sama nyata akan membangun rasa saling percaya dan memperkuat saling ketergantungan di antara kita,” ucap Jokowi.
Ia pun menegaskan pentingnya komitmen bersama terhadap penghormatan hukum internasional. Hal ini demi mewujudkan kestabilan serta kesejahteraan Asia Timur dan dunia.
Salah satu yang harus dihormati yakni komitmen terhadap UNCLOS 1982. Penghormatan terhadap komitmen tersebut sangat diperlukan untuk mewujudkan perdamaian di Laut China Selatan.
“Mari kita perkuat kerja sama, melakukan langkah nyata. Mari kita ubah trust deficit menjadi strategic trust,” kata Jokowi.
“Mari kita wujudkan kawasan yang lebih aman, yang lebih stabil, dan sejahtera,” imbuhnya.
Sementara itu, Rusia menyerukan kepada negara-negara tetangga Afghanistan untuk menolak jadi tuan rumah bagi pasukan militer Amerika Serikat (AS) atau NATO setelah penarikan mereka dari negara itu.
Kremlin khawatir dengan risiko gerilyawan Islam menyebar ke Asia Tengah dari Afghanistan dan merinding dengan gagasan Barat akan mendapatkan pijakan di wilayah yang dulunya merupakan bagian dari Uni Soviet .
“Kami menyerukan negara-negara tetangga Afghanistan untuk tidak mengizinkan kehadiran militer pasukan AS dan NATO yang berencana pindah ke sana setelah meninggalkan wilayah Afghanistan,” kata Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov seperti dikutip dari Reuters, Rabu (27/10/2021).
Diplomat Rusia itu membuat pernyataan dalam pidato melalui tautan video pada konferensi yang diadakan di Teheran tentang Afghanistan yang dihadiri oleh China, Iran, Pakistan, Tajikistan, Turkmenistan dan Uzbekistan.
Lavrov mengatakan penting untuk mengekang dan mengendalikan arus migrasi dari Afghanistan dan bahwa unsur-unsur kriminal serta teroris sudah mencoba memasuki tetangga Afghanistan yang menyamar sebagai pengungsi.
Moskow melihat wilayah bekas Uni Soviet sebagai sayap pertahanan selatan, tetapi pada bulan Juni Presiden Vladimir Putin menawarkan Washington penggunaan pangkalan militer Rusia di Asia Tengah, menurut sumber surat kabar Kommersant.
Rusia mengoperasikan pangkalan militer asing terbesarnya di Tajikistan, yang memiliki perbatasan panjang dengan Afghanistan, dan telah memperluas kehadiran pasukan serta perangkat keras militernya di sana sejak pengambilalihan Taliban. (ATN)
Discussion about this post