ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia menandatangani kesepakatan penting pembayaran tentang Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (Forest Carbon Partnership Facility/ FCPF) yang dikelola oleh World Bank untuk menurunkan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan hingga 2025.
Kesepakatan yang tertuang dalam Dokumen ERPA (Emission Reduction Payment Agreement) Indonesia tersebut ditandatangani oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mewakili pemerintah Indonesia, dan Perwakilan World Bank untuk Indonesia dan Timor-Leste, secara elektronik pada 27 November 2020.
Dengan kesepakatan ini, Indonesia berpeluang untuk menerima pembayaran berbasis hasil (Results Based Payment/RBP) hingga USD110 juta untuk mengurangi 22 juta ton emisi karbondioksida di Provinsi Kalimantan Timur.
Kesepakatan ini juga membuka peluang Indonesia masuk call option, sebuah mekanisme untuk mengajukan kembali insentif RBP kepada World Bank apabila berhasil melampaui target pada akhir periode.
Menurut Dr. I. Wayan Susi Dharmawan, Project Manager FCPF- Indonesia melalui kegiatan implementasi program penurunan emisi FCPF Carbon Fund ini, masyarakat akan mendapatkan insentif positif berbasis kinerja penurunan emisi.
“Kegiatan yang masuk kategori sebagai upaya mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan dapat memperoleh insentif ini,” jelas Wayan, dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (5/12/2020).
Selain itu juga diharapkan dapat memperbaiki mata pencaharian alternatif masyarakat.
Lebih lanjut Wayan menjelaskan, bahwa untuk memperoleh pembayaran tersebut, setelah dokumen ERPA di tandatangani, beberapa hal penting harus disiapkan.
“Selain dokumen pelaporan monitoring penurunan emisi yang harus selesai pada Maret 2021 (untuk tahap I/2021), finalisasi dokumen Benefit Sharing Plan (BSP) dan dokumen Retroactives Safeguards Due Diligence juga harus segera dilakukan,”lanjutnya.
Nantinya, pembayaran akan diterima secara bertahap sesuai target penurunan emisi yang berhasil dicapai.
Pada 2021, target penurunan emisi sebesar 5 juta ton CO2 atau setara USD25 juta, tahun 2023 sebesar 8 juta ton CO2 atau setara USD40 juta, dan tahun 2025 sebesar 9 juta ton CO2 atau setara USD45 juta, sehingga total mencapai USD110 juta.
Apabila target tersebut tercapai, maka Kalimantan Timur akan berkontribusi untuk mencapai target penurunan emisi NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia dari sektor berbasis lahan sekitar 17 persen, sebagaimana tercantum dalam dokumen ERPD (Emission Reduction Program Document, 2019).
Sekretaris Jenderal KLHK, Dr. Bambang Hendroyono mengungkapkan, kesepakatan ini merupakan bukti kerja keras Indonesia yang secara terus menerus mengurangi deforestasi dan melindungi hutan.
“Meski baru dilaksanakan di Provinsi Kalimantan Timur saja, kami optimis hasilnya akan membantu negara untuk mencapai tujuan mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, mengatasi dampak perubahan iklim, dan menempatkan Indonesia di jalur pembangunan hijau,” katanya.
Kepala Perwakilan World Bank untuk Indonesia dan Timor-Leste, Satu Kahkonen, mengatakan bahwa hutan tropis Indonesia merupakan sumber daya yang penting dalam skala global.
Menurutnya, kesepakatan ini merupakan bukti upaya Indonesia dalam melindungi dan mengelola hutan tropis secara berkelanjutan, selain sebagai dukungan World Bank untuk mencapai komitmen Indonesia dalam mengurangi 41 persen emisi gas rumah kaca pada tahun 2030.
Dari 47 negara yang tergabung dalam FCPF, saat ini sudah ada 6 negara yang telah menandatangani ERPA, yakni Mozambique, Ghana, Chile, Lao PDR, Vietnam, dan Indonesia.
Meski bukan negara pertama yang berhasil menandatangani ERPA, namun Indonesia telah menorehkan tonggak sejarah pertama kali implementasi REDD+ berbasis kinerja dengan batas yurisdiksi provinsi. (ATN)
Discussion about this post