ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia dianggap telah menjadi korban infiltrasi China terkait isu Uyghur.
Hal itu dilontarkan oleh aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Uyghur, Rushan Abbas. Ia juga mempertanyakan sikap Pemerintah Indonesia mengenai isu Uyghur setelah menolak proposal pembahasan dugaan pelanggaran HAM terhadap etnis tersebut dan muslim lainnya di Xinjiang oleh China.
Proposal itu diajukan oleh negara-negara Barat ke Dewan HAM PBB pada Kamis, 6 Oktober 2022.
Rushan Abbas, aktivis Uyghur yang lari ke Amerika Serikat dan lantang menyuarakan masalah etnis Uyghur, menyatakan, semua bukti penyelidikan baik dari lembaga-lembaga HAM, dokumen pemerintah China yang bocor, hingga laporan PBB, menunjukkan bukti dugaan pelanggaran kemanusiaan oleh Beijing.
Menurut dia, dengan bukti-bukti itu seharusnya pemerintah Indonesia bisa melihat kebenaran tanpa tekanan apapun, termasuk kerja sama ekonomi.
“Kita seharusnya melindungi hak-hak orang-orang yang tertindas. Jadi apakah kita masih tetap netral, atau berpihak pada rezim genosida?” kata Rushan saat diskusi di YLBHI Jakarta pada Jumat (14/20/2022) lalu.
Dalam pemungutan di Dewan HAM mengenai Uyghur, 17 negara mendukung, 19 menolak, dan 11 abstain termasuk Malaysia dan Libya, serta Ukraina.
Ini merupakan kemenangan bagi China karena berusaha untuk menghindari pengawasan lebih lanjut terutama oleh Dewan HAM PBB.
Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris termasuk di antara negara-negara yang mengajukan mosi tersebut.
Penolakan mosi ini baru pertama terjadi lagi sejak 16 tahun silam. Selain Indonesia, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Pakistan menolak mosi tersebut, dengan alasan risiko mengasingkan China.
Rushan, sebagai orang Uyghur yang memiliki saudara perempuan korban penindasan langsung di Xinjiang, mengaku kecewa dengan keputusan Indonesia menolak membahas isu kemanusiaan itu di PBB.
Menurutnya, Pemerintah Indonesia sudah jadi korban disinformasi dan infiltrasi rezim Beijing.
Kelompok HAM sebelumnya telah menuduh Beijing melakukan pelanggaran terhadap Uyghur, minoritas etnis mayoritas Muslim yang berjumlah sekitar 10 juta di wilayah barat Xinjiang, termasuk kerja paksa di kamp-kamp interniran.
Amerika Serikat menganggap China melakukan genosida. Beijing dengan keras menyangkal segala pelanggaran. Pemerintah China hanya mengakui ada pusat pelatihan keterampilan kejuruan di Xinjiang dan itu diperlukan untuk mengatasi ekstremisme.
Sebelumnya, Indonesia telah menolak pembahasan pelanggaran HAM kasus Uyghur di PBB.
Indonesia adalah satu-satunya negara Asia Tenggara yang menjawab No, sementara Malaysia memilih abstain.
Draft debat tersebut bernama “Debate on the Situation of Human Rights in the Xinjiang Uyghur Autonomous Region, China.” Draft tersebut dibawa oleh Amerika Serikat dan Kerajaan Norwegia.
Berdasarkan informasi UN Human Rights Council di Twitter, sejumlah negara-negara yang mendukung termasuk Korea Selatan, Jepang, Belanda, Inggris, Amerika Serikat, Finlandia, dan Somalia.
Indonesia justru ikut menolak bersama China, Nepal, serta Pakistan, Qatar, dan Uni Emirat Arab. Draf ini kalah 19-17, sehingga satu suara Indonesia sebetulnya penting bagi rakyat Uyghur.
Hasil voting tersebut mendapat kecaman dari Amnesty International karena dianggap melindungi hak pelanggar ketimbang kelompok yang dilanggar.
Pejabat HAM Kementerian Luar Negeri RI menilai pembahasan pelanggaran HAM Uyghur bersifat politis.
“Kita tidak ingin adanya politisasi Dewan HAM yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang terkait, misalnya, rivalitas politik,” ujar Direktur HAM dan Kemanusiaan Kemlu Achsanul Habib dalam konferensi pers virtual Jumat (7/10/2022) lalu.
“Kita harapkan Dewan HAM tidak pilih-pilih ya atau selektif dalam memilih isu yang akan dibahas,” lanjut Achsanul yang mengaku sudah berkonsultasi dengan semua pihak, termasuk dengan China, Barat, dan negara-negara OKI.
Argumen Kemlu RI senada dengan argumen pihak China yang menolak isu Uyghur disorot karena dianggap politis.
Sebelumnya, China juga menolak laporan HAM dari Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) karena dianggap politis.
“Sebagai departemen HAM PBB, OHCHR seharusnya mengikuti Piagam PBB dan prinsip-prinsip universal, obyektif, dan non-politis untuk mempromosikan pertukaran internasional perkembangan HAM dan dialog konstruktif antara negara anggota,” tulis media pemerintah China, The Global Times.
Amnesty Soroti Kepentingan Ekonomi
Amnesty memberikan kritikan kepada negara-negara yang memblokir voting seperti yang dilakukan Indonesia. Organisasi itu berkata kepentingan ekonomi harusnya tidak mengalahkan masalah HAM.
“Voting hari ini melindungi pelaku pelanggaran HAM ketimbang korbannya,” tulis Amnesty International dalam situs resminya, Jumat (7/10/2022).
“Diamnya negara-negara anggota, atau lebih parah, memblokir debat, di hadapan kekejian yang dilakukan pemerintah China tambah menodai reputasi Dewan HAM. Kepentingan politik dan ekonomi seharusnya tidak menang melawan masalah HAM serius,” tulis Amnesty.
“Tidak ada negara yang seharusnya kebal dari diskusi di Dewan. Kita akan terus untuk bekerja dengan erat bersama mitra-mitra kita untuk mendapatkan keadilan dan akuntabilitas bagi korban-korban pelanggaran HAM dan kekerasan, termasuk di Xinjiang,” ujar Duta Besar Michele Taylor dari Amerika Serikat.
Pihak Amnesty International juga optimistis karena kekalahan draf ini sangat sedikit. Mereka meminta agar Dewan HAM PBB terus membahas isu ini.
“Penting bagi negara-negara anggota Dewan HAM PBB untuk kembali pada voting ini dan melanjutkan usaha-usaha untuk menyorot situasi HAM di Xinjiang secepatnya,” kata pihak Amnesty. (ATN)
Discussion about this post