ASIATODAY.ID, JAKARTA – Aktivitas impor tekstil dan produk tekstil (TPT) ilegal di Indonesia naik tajam sepanjang tahun 2022.
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) mencatat, volume impor produk itu mencapai 320 ribu ton, atau melampaui volume impor pakaian legal sebanyak 250 ribu ton.
Dari aktivitas ilegal ini, negara kehilangan potensi pendapatan sebesar Rp 19 triliun.
“Jika kita hitung 230 ribu ton nilainya sekitar Rp32 triliun. Kalau pemerintah kasih PPN, PPh, bea masuk dan BMTP, seharusnya pemerintah bisa dapat Rp 19 triliun. Artinya pemerintah kehilangan pendapatan Rp 19 triliun dari sektor pajak pakaian ilegal ini,” kata Ketua Umum APSyFI, Redma Wirawasta dalam konferensi pers, Jumat (31/3/2023).
Menurut Redma, sepanjang tahun 2022, impor sektor TPT termasuk pakaian bekas ilegal (thrifting) sebesar 320 ribu ton itu setara dengan 16 ribu kontainer per tahun atau 1.333 kontainer per bulan.
Selain kerugian dari potensi pendapatan yang menguap, impor ilegal juga membuat kehilangan potensi serapan 545 ribu tenaga kerja langsung dan 1,5 juta tidak langsung dengan total pendapatan karyawan Rp 54 triliun per tahun.
Pdahal, menurut Redma, bila tekstil diproduksi di dalam negeri, masukan sektor pajak bisa mencapai Rp 6 triliun dan setoran ke BPJS bisa tembus Rp 2,7 triliun.
“Serta berimplikasi pada kegiatan ekonomi disektor energi, perbankan, logistik, industri pendukung dan sektor lainnya,” jelasnya.
Tak hanya itu, daya destruktif impor ilegal tersebut mencapai 29,6 persen atau setara US$ 6 miliar dari US$ 20 miliar total turnover lokal sehingga menjadi hambatan investasi dan menekan utilisasi produksi industri TPT Nasional menjadi hanya tinggal 50 persen.
Lebih lanjut Redma menyampaikan bahwa saat ini banyak ditemukan perusahaan impor bodong yang menyalahgunakan izin impor untuk menyelundupkan barang. Banyak perusahaan yang punya Angka Pengenalan Importir-P (API-P untuk produsen) dan API-U (untuk pedagang umum) misalnya, yang hanya punya Izin Usaha Industri (IUI) saja, namun tidak punya mesin dan kapasitas produksi.
Ajaibnya kata Redma, mereka mendapatkan izin impor dalam jumlah puluhan hingga ratusan juta meter tekstil dan produk tekstil. Ada juga modus under inovoice, sehingga terjadi pelarian HS dan transshipment untuk menghindari kewajiban pajak dan pabean.
Ia menyebut sebagian besar oknum importir mempunyai banyak perusahaan importir tekstil dan produk tekstil bodong, baik yang berperan sebagai produsen untuk mendapatkan Persetujuan Impor (PI) API-P dari Kemenperin.
“Maupun yang berperan sebagai API-U untuk mendapatkan PI dari Kemendag,” katanya. (ANT)
Simak Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post