ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia turut terlibat secara aktif dalam perundingan pasar karbon internasional.
Sebagai negara dengan potensi perdagangan karbon yang mencapai triliunan rupiah, Indonesia ingin memastikan integritas pasar karbon tetap terjaga.
Hal inilah yang disuarakan delegasi Indonesia dalam pertemuan ke-58 Subsidiary Body UNFCCC di Bonn, Jerman awal Juni 2023.
Perdagangan karbon secara internasional merupakan salah satu mekanisme kerjasama yang diatur dalam pasal 6 Persetujuan Paris (PA).
Oleh karena itu mekanisme kerjasama perdagangan karbon yang beroperasi harus patuh dan tunduk pada PA, baik untuk pemenuhan NDC maupun tujuan lainnya.
Oleh karena itu, dalam perundingan keputusan-keputusan yang akan diambil, khususnya untuk operasionalisasi pasal 6.2 (cooperative approach) dan pasal 6.4 (public and private participation) di dalam PA agar implementasi pasar karbon berjalan optimal dengan tetap menjaga integritas lingkungan.
Sejauh ini, perdebatan terkait pasal 6.4 dan 6.2 masih dinamis namun Indonesia (dan beberapa negara lainnya) tetap konsisten mengawal aspek integritas pasar karbon, antara lain melalui penerapan; Setiap perdagangan karbon harus dilakukan otorisasi dan corresponding adjustment. Otorisasi merupakan proses pengakuan negara terhadap unit karbon yang ‘dijual’ keluar dari negaranya.
Sedangkan Corresponding adjusment merupakan penyesuaian pencatatan jumlah kredit karbon yang ditransfer untuk dicatatkan sebagai penurunan emisi ke pihak yang ‘membeli’nya.
Direktur Mobilisasi dan Sumberdaya Sektoral dan Regional, Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Wahyu Marjaka, selaku Alternate Ketua Delegasi Republik Indonesia, menerangkan bahwa seluruh pihak perlu memastikan bahwa penerapan perdagangan karbon selaras dengan Persetujuan Paris dengan fokus utama mendukung pengurangan emisi GRK, sedangkan nilai ekonomi karbon itu sendiri merupakan insentif positif terhadap upaya pengurangan emisi tersebut.
“Outcome sementara dalam Bonn Climate Change Conference ini tentu saja, bagi Indonesia, merupakan dynamic benchmarking untuk perkembangan Infrastruktur yang sedang dipersiapkan untuk perdagangan karbon ke depan dan menjadi pusat perhatian Global,” ujar Wahyu.
Hal tersebut berarti kebijakan dan peraturan terkait perdagangan karbon perlu secara cermat memperhatikan perkembangan yang ada di dalam proses negosiasi ini.
Selain itu isu penting yang menjadi perhatian dalam SB58 adalah konektivitas antara registrasi nasional dan registrasi internasional.
Sehubungan dengan itu, perlu diperhatikan beberapa aspek dalam pencatatan dan penelusuran satuan karbon dari satu negara ke negara lain seperti panduan, standar dan protokol koneksi agar sistem dapat berfungsi secara optimal, keamanan data nasional yang terdaftar di registrasi internasional, dan Registry yang confidential dan non-confidential.
“Ke depan Indonesia perlu mendefinisikan, memformulasi dan merinci lebih dalam dan mempersiapkan sebaik baiknya isu-isu yang diangkat di atas ke COP -28 UNFCCC di Dubai, United Arab Emirates,” imbuhnya. (AT Network)
Simak Berita dan Artikel yang lain di Google News
Discussion about this post