ASIATODAY.ID, JAKARTA – Perdana Menteri Inggris Boris Johnson baru saja meluncurkan koalisi pada konferensi perubahan iklim tentang adaptasi dan ketahanan yang digelar untuk pertama kalinya.
Presiden Jokowi dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya turut bergabung dalam pertemuan virtual tersebut, menunjukkan kepemimpinan dan keterlibatan Indonesia dalam aspek respon manusia terhadap perubahan iklim.
Adaptasi perubahan iklim berarti mengantisipasi dampak merugikan dari perubahan iklim dan mengambil tindakan yang tepat untuk mencegah atau meminimalisir risiko yang dapat ditimbulkan oleh dampak tersebut.
Hal tersebut mencakup penggunaan sumber daya air secara lebih efisien untuk mencegah kelangkaan air; membangun pertahanan demi mencegah datangnya banjir; mengembangkan tanaman pertanian baru dengan ketahanan lebih kuat agar terhindar dari kekeringan; mengevaluasi ulang praktik kehutanan untuk memastikan tindakan ini bisa meminimalkan risiko kebakaran hutan.
Mengambil tindakan terhadap semua kerentanan ini dapat mengurangi efek negatif dan membangun ‘ketahanan’ perubahan iklim.
“Tidak dapat disangkal bahwa perubahan iklim sudah menimpa kita dan telah menghancurkan kehidupan dan ekonomi. Kita harus beradaptasi dengan iklim kita yang berubah, dan kita harus melakukannya sekarang,” kata PM Inggris Boris Johnson, dikutip dari keterangan tertulis Kedubes Inggris, Jumat (29/1/2021).
“Saya akan menjadikan kebutuhan untuk pemulihan yang tangguh sebagai prioritas kepresidenan G7 Inggris tahun ini. Untuk memastikan kita tidak hanya berbicara tetapi juga bertindak dan melakukan perubahan nyata, hari ini saya meluncurkan Koalisi Tindakan Adaptasi yang baru untuk mengatur agenda menjelang COP26,” imbuh Johnson.
“Mari bekerja sama untuk beradaptasi, menjadi lebih tangguh, dan untuk menyelamatkan nyawa serta mata pencaharian di seluruh dunia,” imbuhnya.
Dalam dekade terakhir, lebih dari 90 persen bencana alam yang terjadi adalah akibat dari bencana yang diakibatkan oleh iklim dengan kerugian sebesar Rp22,8 triliun per tahun.
Seperti yang ditekankan Presiden Jokowi di KTT tersebut, negara kepulauan seperti Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa, adalah yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
Bahkan jika secara ajaib emisi gas rumah kaca bisa dihentikan besok, manusia masih akan tetap merasakan dampak perubahan iklim selama beberapa dekade mendatang. 100 juta orang sudah berisiko jatuh miskin pada 2030 karena dampak perubahan iklim, terutama di Asia Selatan.
Untuk mulai menjawab tantangan ini, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia Siti Nurbaya membuat komitmen yang cukup menarik perhatian minggu ini – kampanye penanaman bakau untuk meningkatkan ketahanan ekosistem dan lanskap. Program ini menargetkan restorasi atau penciptaan 600.000 hektar hutan bakau di seluruh Indonesia, meningkat dari 15.000 pada 2020.
Memulihkan hutan, lahan basah dan bakau tidak hanya dapat membantu mata pencaharian masyarakat, tetapi tindakan tersebut menyerap karbon, dan membantu mengurangi risiko dan parahnya banjir, erosi dan tanah longsor yang disebabkan oleh curah hujan yang ekstrim. Ketika komitmen ini berlaku maka rakyat Indonesia akan lebih aman dan sejahtera.
Ini mengikuti peraturan yang dikeluarkan Presiden Jokowi pada Desember – memperpanjang kerja Badan Restorasi Gambut (BRG) hingga 2024, dan menambahkan mangrove ke dalam prioritas BRG. Tentunya bisa memperkuat komitmen pemerintah Indonesia terhadap agenda restorasi.
Perdana Menteri Johnson menyambut baik langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia serta beberapa komitmen lainnya yang telah dibuat, seiring dengan beliau mengumumkan koalisi internasional baru untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Langkah-langkah untuk beradaptasi dengan perubahan iklim akan menjadi penting, karena dunia berupaya menghindari dampak terburuk.
Dalam pidato virtual di KTT Adaptasi Iklim yang diselenggarakan Belanda, KTT global pertama yang hanya berfokus pada adaptasi dan ketahanan perubahan iklim, Perdana Menteri Inggris meluncurkan Koalisi Tindakan Adaptasi.
Dikembangkan oleh Inggris dalam kemitraan dengan Mesir, Bangladesh, Malawi, Belanda, Santa Lucia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Koalisi baru ini akan bekerja untuk mengubah komitmen politik internasional yang dibuat melalui Seruan Aksi PBB tentang Adaptasi dan Ketahanan menjadi dukungan di lapangan untuk komunitas yang rentan.
Banyak negara di dunia telah mengalami dampak perubahan iklim, mulai dari kebakaran hutan di Australia, banjir di Jakarta dan Kalimantan, dan siklon baru-baru ini di Mozambik. Tanpa tindakan, akan ada lebih banyak lagi yang akan mengalami gangguan signifikan dan cuaca ekstrem, menghancurkan komunitas dan mata pencaharian.
Dengan dukungan, negara dan komunitas dapat beradaptasi dan membangun ketahanan terhadap dampak perubahan iklim. Tindakan seperti sistem peringatan dini untuk badai, investasi dalam drainase banjir dan tanaman tahan kekeringan selain menghemat biaya tetapi juga menyelamatkan kehidupan dan mata pencaharian.
Di Inggris misalnya, mengalami lebih banyak curah hujan tinggi sebagai akibat dari perubahan iklim. Pemerintah telah memberikan tambahan 5,2 miliar poundsterling untuk skema perlindungan banjir dan pertahanan pantai yang baru.
Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste, Owen Jenkins turut menyambut baik inisiatif Indonesia.
“Saya menyambut baik inisiatif besar ini, dan keterlibatan Indonesia di dalamnya. Indonesia dapat memposisikan diri sebagai pemimpin dunia dalam hal adaptasi,” ucap Dubes Jenkins.
“Konsekuensi dari cara manusia menggunakan alam sama seriusnya seperti sebelumnya. Populasi global spesies lingkungan utama telah menurun lebih dari dua pertiga sejak tahun 1970-an. Dua dari lima spesies tumbuhan menghadapi kepunahan. Manusia masih merusak hutan dengan kecepatan 30 kali lapangan sepak bola per menit. Hutan tidak hanya mengatur sistem air dan iklim kita, tetapi juga menopang mata pencaharian satu miliar orang,” imbuhnya.
Lebih lanjut Dubes Jenkins menambahkan, penyebab utama dari kehancuran ini adalah pertanian, dengan tata guna lahan yang buruk sekarang menjadi sumber emisi kedua terbesar.
Secara global, manusia harus memperbaiki hubungan kdengan alam. Paling tidak karena dalam 10 tahun terakhir diperkirakan tiga perempat penyakit baru pada manusia berasal dari hewan. Kemunduran alam liar mengancam kesehatan kita – fisik dan ekonomi – seperti yang ditunjukkan oleh covid-19.
Melalui Dana Iklim Internasional Inggris -,dan melalui Dana Internasional untuk adaptasi Pembangunan Pertanian untuk program pertanian petani kecil,- Inggris bekerja untuk membantu mendapatkan kebijakan dan investasi di balik penggunaan lahan yang lebih produktif, menguntungkan, dan berkelanjutan di seluruh dunia, dan secara langsung mendukung petani kecil untuk melakukan perubahan.
“Namun kami membutuhkan pemerintah di seluruh dunia untuk meningkatkan upaya mereka – mengalihkan insentif dari kehancuran menuju keberlanjutan. Indonesia telah menunjukkan kepemimpinan – dengan peraturan SVLK yang melegalkan perdagangan kayu dan moratorium konsesi hutan baru. Seperti halnya semua negara, tentu saja, sekarang kita perlu meningkatkan kemitraan kita, untuk berbuat lebih banyak,” menurut Dubes Jenkins.
Pada sidang umum PBB virtual pada akhir tahun lalu, lebih dari 75 pemimpin dunia dan 50 aktor non-pemerintah menandatangani Leader’s Pledge For Nature. Ini adalah deklarasi yang paling ambisius, komitmen untuk membawa alam dan keanekaragaman hayati ke jalan menuju pemulihan pada tahun 2030.
Komitmen Indonesia dalam perjanjian ini akan sangat disambut baik. Dengan tiga konferensi Rio tentang perubahan iklim, keanekaragaman hayati, dan desertifikasi yang kesemuanya diselenggarakan tahun ini, Perubahan Iklim menarik perhatian yang pantas dalam diplomasi internasional.
Sekaranglah waktunya untuk membuat komitmen menjadi nyata dengan tindakan yang sesuai dengan kata-kata. (ATN)
Discussion about this post