ASIATODAY.ID, GLASGOW – Indonesia memainkan peran sentral dalam merumuskan arah aksi iklim global.
Pada tanggal 31 Oktober s.d. 12 November 2021 di Glasgow, Skotlandia, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama pemangku kepentingan lainnya menghadiri pertemuan penting terkait upaya global memitigasi dan menanggulangi dampak perubahan iklim yaitu Conference of the Parties ke-26 (COP26) United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
“COP26 menjadi sebuah pertemuan sangat penting karena merupakan pertemuan tingkat tinggi pertama yang mengevaluasi kemajuan yang telah dilakukan sejak Paris Agreement diadopsi pada tahun 2016 dimana 191 negara harus menetapkan target yang lebih ambisius lagi terkait kontribusinya untuk aksi perubahan iklim di bawah Persetujuan Paris,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Febrio Kacaribu dalam keterangan persnya, dikutip Selasa (2/11/2021).
Menurutnya, perundingan COP tidak terlepas dari sejarah di mana Indonesia menjadi Presidensi COP13 di Bali pada tahun 2007 yang menghasilkan dokumen mendasar yaitu Bali Roadmap. Hasil tersebut kemudian mengantarkan pada COP21 di Paris pada 2015 yang menghasilkan Paris Agreement sebagai basis implementasi global pasca 2020.
Persetujuan Paris bersifat mengikat dan diterapkan tidak hanya pada negara maju saja, namun ke semua negara (legally binding and applicable to all Parties), dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan dan berdasarkan kemampuan masing-masing (common but differentiated responsibilities and respective capabilities).
Komitmen Indonesia sendiri terhadap upaya pengendalian perubahan iklim tercermin dalam keikutsertaannya dalam Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change).
Sebagai tindak lanjut atas keikutsertaan ini, Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement melalui UU No. 16 Tahun 2016. Indonesia juga telah menyampaikan dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) dan dokumen updated NDC ke Sekretariat UNFCCC yang menunjukkan betapa nyatanya komitmen Indonesia.
“Peran aktif Indonesia juga dibuktikan dalam fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu negara berkembang pertama di dunia yang menyampaikan target nasionalnya sebagai bentuk komitmen sukarela di tingkat internasional yaitu penurunan emisi sebanyak 26% dari kondisi business-as-usual pada tahun 2030 dengan sumber daya nasional dan hingga 41% jika mendapatkan dukungan dan kerja sama internasional” jelas Febrio.
Pendanaan Iklim
Indonesia mendorong negara maju untuk dapat menunjukkan aksi nyata dalam dukungan pendanaan terhadap negara berkembang. Hal tersebut sesuai dengan beberapa isu pembahasan pada Conference of the Parties ke-26 (COP26), yakni Long-term Finance, di mana negara maju akan memobilisasi dana sampai USD100 miliar per tahun mulai 2020.
Indonesia, khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu), telah mengawal pembahasan agenda ini dalam berbagai ruang. Menkeu Indonesia bersama dengan Finlandia juga memegang peran sebagai Co-chair (periode 2021-2023) Coalition of Finance Ministers for Climate Actions (Koalisi Menkeu Dunia terkait Iklim). Kemenkeu juga dijadwalkan hadir dalam pertemuan Koalisi Menkeu Dunia terkait Iklim dan Finance Day: 4th High-level Ministerial Dialogue on Long Term Climate Finance tanggal 3 November 2021 di Roma.
Dengan berbagai keterlibatan ini, langkah Indonesia untuk mendorong pertanggungjawaban nyata dari komitmen pendanaan iklim negara maju dapat semakin terealisasi.
“Perlu ada kejelasan dan transparansi terkait pencapaian angka komitmen tersebut. Hal ini penting untuk mengidentifikasi gap yang masih ada serta strategi untuk memenuhi gap tersebut. Ini inti dari yang akan Indonesia serukan dalam rangkaian COP26”, jelas Febrio Kacaribu.
Indonesia, lanjutnya, akan terus melakukan aksi nyata dalam penurunan emisi gas rumah kaca. Sektor kehutanan, energi, dan transportasi telah mencakup 97% dari total target penurunan emisi Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.
Untuk mendukung hal tersebut, Indonesia melakukan penetapan nilai ekonomi karbon (carbon pricing) melalui Perpres mengenai Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Pemerintah juga secara nyata menunjukkan dukungan terhadap isu perubahan iklim melalui pengenalan pajak karbon dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
“Indonesia telah menjadi salah satu dari sedikit negara, bahkan yang terbesar di negara berkembang, yang melakukan tindakan yang nyata terkait transisi energi yang adil dan terjangkau, hal ini menunjukkan sinyal yang kuat tentang keseriusan Indonesia dalam menangani risiko perubahan iklim”, ungkap Febrio.
Sebagai Ketua Bersama Koalisi Menteri Keuangan untuk Perubahan Iklim, Indonesia juga akan mendorong COP26 agar dapat membangun pemahaman dan tanggung jawab bersama yang lebih baik dan lebih kuat antara negara berkembang dan negara maju.
Lebih lanjut, Presidensi G20 tahun 2022 dan Keketuaan ASEAN tahun 2023 juga semakin meletakkan Indonesia dalam posisi yang sangat strategis di dunia internasional dan dapat dimanfaatkan untuk lebih mendorong negara negara lain mencapai target pengendalian perubahan iklim global.
“Pemerintah Indonesia akan mengoptimalkan keterlibatan aktif di forum-forum internasional termasuk COP26 ini sebagai sarana untuk memberi contoh kepada negara-negara lain dan mengkatalisasi kerja sama untuk memitigasi dan mengatasi dampak perubahan iklim dengan tindakan nyata”, tutup Febrio. (ATN)
Discussion about this post