ASIATODAY.ID, JAKARTA – Energi panas bumi (Geothermal) bukanlah hal baru bagi Indonesia. Pasalnya, pemanfaatan energi ini sudah dimulai sejak 1926, di Kamojang, Jawa Barat.
Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang mempunyai sejarah panjang dalam pemanfaatan panas bumi sebagai sumber energi bagi Bangsa Indonesia. PLTP Kamojang merupakan PLTP pertama di Indonesia.
Di PLTP Kamojang terdapat Kawah Kamojang (KMJ)-3 atau sering disebut Kawah Kereta Api merupakan sumur panas bumi pertama di Indonesia yang dibor oleh pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1926. Sampai saat ini sumur ini masih mengeluarkan uap panas bumi meski dibor hanya sedalam 60 meter. Hal ini mengindikasikan panas bumi merupakan energi yang berkelanjutan (sustainable energy) di bumi Indonesia.
Sumur panas bumi pertama di Indonesia ini saat ini menjadi salah satu objek wisata Garut yang cukup terkenal selain Gunung Papandayan dan Curug Orok. Kawah ini terletak di daerah Samarang, garut, jawa barat yang berada di ketinggian 1.730 M DPL.
Kamojang merupakan pionir pengembangan panas bumi di Indonesia. Pada tahun 1926 Pemerintah Kolonial Belanda sudah mengeksplor potensi panas bumi yang ada di Kamojang. Mereka melakukan pemboran dangkal sebanyak 5 sumur.
Pemerintah Kolonial Belanda sempat juga melakukan uji produksi tetapi setelah tahun 1928 sempat terhenti kemudian pada tahun 1978 kembali melakukan pemboran bekerjasama dengan Pemeringtah New Zealand untuk mengeksplor kembali potensi yang ada di Kamojang dengan melakukan beberapa pemboran tambahan.
Setelah dikembangkan kembali, pada tahun 1978 Kamojang sukses beroperasi dan menjadi PLTP pertama di Indonesia dengan kapsitas produksi yang dihasilkan 250 Kw dan diresmikan pengoperasiaannya oleh Menteri Pertambangan dan Energi pada waktu itu Profesor Soebroto pada 27 November 1978
Keberhasilan PLTP Kamojang semakin menyakinkan bangsa Indonesia bahwa sumber energi panas bumi yang potensinya banyak terdapat di Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi menggantikan sumber energi lain.
Wilayah Indonesia terletak pada lajur sabuk gunungapi aktif mempunyai potensi panas bumi yang besar yang tersebar sepanjang lajur Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Busur Banda hingga Sulawesi Utara, dan lajur Halmahera. Pada kawasan ini telah diketahui sebanyak 276 titik potensi panas bumi dengan total potensi sebesar 29.038 MW.
Uji Coba Perdagangan Karbon di 80 Pembangkit
Saat ini, Pemerintah mulai melakukan uji coba jual beli karbon di subsektor ketenagalistrikan yang akan dimulai pada Maret sampai dengan Agustus 2021.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Rida Mulyana mengatakan langkah ini bertujuan untuk mendukung target pemangkasan emisi karbon atau gas rumah kaca (GRK) di sektor energi sebesar 314-398 juta ton pada 2030.
“Pelaksanaan uji coba pasar karbon ini akan menambah capaian penurunan emisi GRK dalam rangka pemenuhan target emisi khususnya untuk sektor energi. Karena dengan adanya upaya mitigasi di beberapa pembangkit listrik maka pemenuhan GRK melalui capping akan bisa lebih dijalankan,” ujar Rida Mulyana dalam peluncuran Penghargaan Subroto Bidang Efisiensi Energi 2021, dikutip Selasa (23/3/2021).
Rida menjelaskan, uji coba perdagangan karbon ini menerapkan mekanisme cap, trade, dan offset sehingga diperlukan pembatasan terhadap nilai emisi karbon yang dihasilkan dari setiap pembangkit listrik batubara.
“Nilai batas atas caping emisi GRK akan ditetapkan pemerintah berdasarkan intensitas emisi GRK rata-rata tertimbang pada 2019. Perdagangan adalah selisih tingkat GRK terhadap nilai cap,” jelasnya.
Adapun, uji coba ini merupakan bagian dari kategori penilaian Penghargaan Subroto Bidang Efisiensi Energi (PSBE) 2021. Pada PSBE tahun ini, komitmen Pemerintah untuk efisiensi energi dan penurunan GRK diperkuat melalui pemberian penghargaan bagi pelaku perdagangan emisi karbon di pembangkit listrik.
Uji coba ini akan diikuti 80 pembangkit listrik, yakni 19 unit pembangkit berkapasitas lebih dari 400 megawatt (MW), 51 unit pembangkit berkapasitas 100-400 MW, dan 10 unit pembangkit mulut tambang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 54 pembangkit adalah milik PLN dan 26 pembangkit dimiliki pengembang swasta (Independent Power Producer/ IPP).
Untuk diketahui, hingga tahun 2019, penurunan emisi GRK subsektor ketenagalistrikan mencapai 8,79 juta ton CO2 atau 187 persen dari target renstra KESDM 2020-2024 sebesar 4,71 juta ton. Capaian tersebut berasal dari PLTU yang menggunakan teknologi CCT atau clean coal technology sebesar 1,29 juta ton CO2 dan dari total kapasitas 3.795 MW.
Kedua dari PLTGU Combine Cycle sebesar 4,62 juta ton CO2 dari total kapasitas 4.097 MW. Kemudian dari pembangkit EBT 2,89 juta ton CO2 dengan kapasitas pembangkit 805 MW. (ATN)
Discussion about this post