ASIATODAY.ID, JAKARTA – Indonesia terancam kehilangan penerimaan yang cukup besar dari sektor industri minyak dan gas (Migas) akibat pandemi coronavirus (covid-19).
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) mengatakan dengan penurunan harga minyak dunia yang memengaruhi harga minyak mentah Indonesia (ICP), sangat berdampak pada penerimaan negara dari sektor ini.
Dikatakan, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, penerimaan hulu migas ditargetkan sebesar USD32,09 miliar dengan asumsi ICP sebesar USD63 per barel.
Namun, seiring dengan pergerakan minyak dunia saat ini yang jatuh terlalu dalam hingga sempat menyentuh level minus di bawah nol, ICP diasumsikan sepanjang tahun ini sebesar USD38 per barel.
Dengan level ICP tersebut, maka penerimaan hulu migas diperkirakan hanya bisa dicapai sebesar USD19,95 miliar. Artinya ada potensi ketidaktercapaian sebesar USD12,14 miliar atau setara Rp186,9 triliun.
“Untuk aspek finansial outlook-nya USD19,05 miliar dengan asumsi ICP USD38 untuk average setahun,” papar Dwi di forum rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (28/4/2020).
Mantan Direktur Utama Pertamina ini mengatakan sepanjang semester I, realisasi pendapatan dari setor hulu migas sebesar USD6,39 miliar atau setara 19,9 persen dari target dalam APBN 2020.
Merosotnya target tersebut juga dipengaruhi oleh lifting migas yang diperkirakan akan terkoreksi. Dalam APBN, lifting minyak ditargetkan sebesar 755 ribu barel per hari (bph) atau bahkan jika mengunakan skenario terburuk yang dipaparkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya sebesar 735 ribu bph, perkiraan target tersebut tetap tidak akan tercapai.
“Kita sudah hitung dengan usaha seoptimal mungkin di akhir tahun penurunannya enggak signifikan hanya empat persen,” jelas Dwi.
Demikian juga dengan gas yang dalam APBN ditargetkan sebesar 6,670 juta standar kaki kubik (mmscfd), serta dalam skenario terburuk sebesar 5,727 mmscfd, namun outlook SKK Migas hingga akhir tahun sebesar 5,959 mmscfd.
Sebab sepanjang kuartal I saja, realisasi lifting migas sebesar 1,74 juta barel setara minyak per hari (boepd) atau 90,4 persen dari target dalam APBN yang sebesar 1,94 juta boepd. Dengan rincian lifting minyak sebesar 701,6 ribu bph atau 92,9 persen dari target APBN dan gas sebesar 5,866 mmscfd dari target APBN.
“Ke depan, lifting migas akan semakin tertekan akibat covid-19 dan rendahnya harga minyak,” jelasnya.
Dukungan Insentif
Dengan kondisi ini, Dwi Soetjipto mengatakan banyak dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) mengusulkan agar mendapatkan insentif dari pemerintah, terutama yang ditujukan pada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Insentif tersebut diyakini bisa menjadi stimulus bagi KKKS dalam mengurangi beban dari dampak covid-19 yang dirasakan.
“Ada usulan yang kami sampaikan untuk menghadapi covid-19 yang diusulkan dari KKKS,” ujar Dwi.
Menurut Dwi, setidaknya ada 9 usulan kebijakan yang diajukan dalam menghadapi covid-19 dan harga minyak yang rendah.
Pertama, penundaan pencadangan Abandonment Site Restoration (ASR) atau dana yang digunakan setelah kegiatan operasi untuk semua wilayah kerja (WK) atau blok. Stimulus ini akan berdampak pada perbaikan cash flow KKKS. Saat ini statusnya masih dalam tahap finalisasi.
Kedua, pemberian tax holiday berupa pembebasan pajak penghasilan (PPh) untuk semua WK. Insentif ini akan berdampak pada besaran pajak dan dividen bagi para pemegang kontrak bagi hasil (PSC) cost recovery sebesar 40-48 persen dan PSC gross split-Pertamina sebesar 25 persen. Usulan ini telah dibahas dengan Indonesian Petroleum Association (IPA) dan membutuhkan persetujuan dari Kementerian Keuangan.
Ketiga, penundaan atau penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) Liquefied Natural Gas (LNG) melalui revisi Peraturan Pemerintah (PP) 81 untuk semua WK yang menjual produknya sebagai LNG. Dampak stimulus ini akan memperbaiki cash flow KKKS. Usulan ini telah diharmonisasikan dan membutuhkan persetujuan dari Kementerian Keuangan.
Keempat, pembebasan biaya sewa Barang Milik Negara (BMN) hulu migas untuk semua WK yang baru menandatangani kontrak kerja sama di WK eksploitasi. Usulan ini perlu persetujuan Kementerian Keuangan.
Kelima, penghapusan biaya pemanfaatan kilang LNG Badak sebesar USD0,22 per MMBTU bagi semua WK yang produksi gasnya masuk ke sistem Kalimantan Timur. Usulan ini juga memerlukan persetujuan Kementerian Keuangan.
Keenam, penundaan atau pengurangan hingga 100 persen dari pajak-pajak tidak langsung khusus untuk WK eksploitasi yang juga membutuhkan persetujuan Kementerian Keuangan.
Ketujuh, keleluasaan untuk menjual gas dengan harga diskon untuk volume take or pay (TOP) dan daily contract quantity (DCQ).
Kedelapan, insentif berupa depresiasi dipercepat untuk batas waktu tertentu, perubahan split sementara misalnya sliding scale, dan Domestic Market Obligation (DMO) full price. Usulan ini berdampak untuk perbaikan keekonomian pengembangan lapangan. Pasalnya di tengah kondisi saat ini, biaya produksi atau kegiatan di lapangan jauh lebih tinggi dibanding harga produk yang dihasilkan.
Terakhir, dukungan dari kementerian yang membina industri pendukung hulu migas seperti industri baja, rig, jasa servis, dan lain sebagainya terhadap pembebasan pajak bagi usaha penunjang tersebut. Usulan ini membutuhkan persetujuan dari Kementerian Perindustrian dan Kementerian Keuangan.
“Ini kepada semua WK estimasi dampaknya adalah upaya menjaga keekonomian usaha,” tandasnya.(ATN)
Discussion about this post