ASIATODAY.ID, JAKARTA – Negara-negara di dunia termasuk Indonesia mulai waspada tinggi menyusul inflasi tinggi di Amerika Serikat (AS) yang mencapai hingga 6%.
Pasalnya, situasi ini bisa melahirkan kebijakan yang berpotensi mengguncang seluruh dunia.
Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Sri Mulyani Indrawati, inflasi AS yang mencapai 6% termasuk inflasi tertinggi dalam 30 tahun terakhir. Kondisi ini akan menimbulkan implikasi atas kebijakan moneter dari Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed). Lonjakan inflasi AS juga akan mempengaruhi kebijakan fiskal negara tersebut.
“Mereka pasti akan dipaksa menginjak rem, kalau Amerika melakukan itu maka seluruh dunia ikut terguncang,” ujar Sri di forum Kick Off Sosialisasi Undang-undang HPP, Jumat (19/11/2021).
Sri mengungkapkan, peningkatan inflasi hingga 6% di AS akan membuat negara tersebut melakukan pengetatan dari sisi moneter. “Ini harus kita waspadai. Dengan inflasi 6% jauh di atas reference rate-nya inflasi Amerika yang harusnya 2%, ini pasti akan menimbulkan dampak yaitu pengetatan moneter tahun-tahun depan,” ujarnya.
Situasi ini tidak hanya dihadapi oleh AS, namun negara-negara Eropa seperti Jerman juga mengalami kenaikan inflasi karena gangguan pasokan (supply disruption), termasuk China juga mengalami inflasi karena gangguan pasokan sebagai akibat sebaran virus corona varian Delta serta krisis energi.
“Situasi ini yang harus kita waspadai pada tahun depan ini, atau sampai akhir tahun ini hingga tahun depan pada saat kita harus menjaga pemulihan ekonomi dan menyehatkan kembali APBN,” tambahnya.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan pemulihan ekonomi dunia sudah sesuai prakiraan. Namun pemulihan tersebut kini dibayangi oleh gangguan rantai pasok dan keterbatasan energi.
“Pada kuartal III-2021 pertumbuhan ekonomi di berbagai negara seperti Amerika Serikat (AS), China dan Jepang melambat akibat kenaikan kasus varian delta Covid-19, serta gangguan rantai pasok dan energi,” ujar Perry dalam Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bulanan BI secara virtual, Kamis (18/11/2021).
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi di Eropa tetap tinggi didorong oleh pembukaan ekonomi yang semakin luas. Memasuki kuartal IV-2021, pemulihan ekonomi global diprakirakan terus berlangsung.
Hal ini dikonfirmasi oleh berbagai indikator dini pada Oktober 2021, seperti Purchasing Managers’ Index (PMI), keyakinan konsumen, dan penjualan ritel, termasuk mulai berkurangnya keterbatasan energi di China.
“Dengan perkembangan tersebut, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global 2021 sekitar 5,7 persen dan tetap baik pada 2022,” paparnya.
Selain itu, menurut Perry, kenaikan volume perdagangan dan harga komoditas dunia masih berlanjut. Hal tersebut menopang prospek ekspor negara berkembang meskipun ketidakpastian pasar keuangan global belum sepenuhnya mereda, karena didorong oleh kekhawatiran pengetatan kebijakan moneter global yang lebih cepat sejalan kenaikan inflasi yang terus berlangsung.
“Perkembangan tersebut mengakibatkan terbatasnya aliran modal dan tekanan nilai tukar negara berkembang, termasuk Indonesia,” tandas Perry. (ATN)
Discussion about this post