ASIATODAY.ID, JAKARTA – Ekspansi besar-besaran perusahaan China menggarap nikel di Indonesia menyisakan persoalan tersendiri bagi masyarakat dan lingkungan hidup.
Salah satu wilayah yang kini jadi sorotan, yakni aktivitas industri nikel China di Pulau Obi, Maluku Utara.
Pasalnya, industri nikel Lygend Mining China melalui PT Halmahera Persada Lygend yang menambang nikel di kepulauan Obi, limbahnya telah mengancam keselamatan dan nyawa penduduk.
Laporan The Guardian yang dikutip Minggu (20/2/2022) disebutkan, penambangan besar-besaran nikel di kawasan itu membuat sumber air minum masyarakat di tercemar limbah berbahaya berupa heksavalen kromium (Cr6) dalam kadar tinggi.
Bahan kimia itu adalah bahan beracun yang dapat mengakibatkan penyakit kanker dan paru-paru.
Dan berdasarkan liputan itu, juga ditemukan jumlah warga dengan infeksi paru-paru juga meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Richard, penduduk Desa Kawasi, Pulau Obi mengaku, sejak akvititas pertambangan di kawasan itu, air di daerah mereka menjadi berbahaya untuk diminum.
“Dulu, sebelum ada perusahaan, meskipun kami hidup tanpa listrik, kami aman. Sekarang kami takut,” kata Richard.
Sampel air yang diambil oleh Guardian di dekat Desa Kawasi dan diuji di laboratorium resmi pemerintah menunjukkan tingkat kontaminasi yang tinggi dari kromium heksavalen (Cr6), bahan kimia penyebab kanker.
Penduduk desa juga mengklaim bahwa sejak tambang tiba, banyak orang di kampung itu yang jatuh sakit.
Seorang bidan desa, kepada The Guardian mengatakan, lebih dari 900 kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang berpotensi mematikan di antara sekitar 4.000 penduduk Kawasi pada tahun 2020.
Separuh dari kasus infeksi saluran pernafasan akut itu terjadi pada bayi baru lahir atau balita berusia empat tahun dan ke bawah.
“Sebelum pertambangan dimulai, pantai di sini masih bersih, lautnya belum becek seperti ini dan belum merah. Orang-orang masih mencari ikan di depan rumah mereka,” kata seorang perawat yang tinggal di desa itu sejak 2009,
Namun kini, kata dia, air jadi merah, ikan-ikan tiba-tiba menghilang dari lautan.
“Dan tren kasus ISPA semakin tinggi seiring dengan eksplorasi dimulai,” kata bidan desa tersebut.
Beberapa tahun terakhir, sejumlah perusahaan China berlomba-lomba mendapatkan izin atas cadangan nikel terbesar di dunia yang berada di Indonesia.
Nikel sendiri adalah komponen penting dalam baterai kendaraan listrik (EV).
Di Pulau Obi, tambang nikel itu dikuasai oleh perusahaan China.
Potensi tambang senilai lebih dari USD1 miliar itu disedot oleh Lygend Mining China dan Harita Group yang berbasis di Indonesia lewat bendera PT Halmahera Persada Lygend, perusahaan ini menggali dan memproses nikel untuk digunakan dalam baterai EV.
Produk nikel dari Maluku Utara itu dikirim ke GEM, produsen komponen baterai asal China, GEM.
GEM sendiri memasok komponen baterai ke banyak produsen baterai EV terkemuka dunia, termasuk CATL milik China, yang menguasai sekitar 30 persen pasar baterai global.
Baterai mobil dari bahan Nikel Maluku Utara itu selanjutnya dikirim oleh GEM ke Mercedes-Benz dan Volkswagen (VW).
Dukungan Pemerintah
Booming harga nikel dan “perlombaan senjata baterai” telah membuat perusahaan-perusahaan tambang asal China berburu ke berbagai belahan bumi.
“Pemerintah Indonesia menfasilitasi dengan cara menghapus birokrasi untuk membuat industri ini lebih menarik untuk investasi. Sayangnya, pemerintah mengabaikan penilaian lingkungan yang tepat,” kata pakar pertambangan nikel Indonesia Steven Brown.
Desa Kawasi sendiri kawasan yang sangat terpencil, tak heran jika hingga saat ini hanya sedikit aktivis atau jurnalis yang berkunjung ke Pulau Obi untuk berbincang dengan warga.
Dari ibu kota, Jakarta, dibutuhkan tiga setengah jam penerbangan, kapal semalam dan dua jam lagi di laut untuk mencapai pelabuhan Kawasi.
Bangunan kayu lapis dan lampu jalan sporadis di Kawasi terasa sangat jauh dari ruang pamer kota mewah yang mengklaim perjalanan bebas bahan bakar fosil. (ATN)
Discussion about this post