ASIATODAY.ID, JAKARTA – Kepala Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia, Eko Budi Lelono mengatakan bahwa Gunung Anak Krakatau saat ini masih dalam status Waspada.
Tim Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) terus melakukan evaluasi data secara menyeluruh untuk melakukan estmasi potensi ancaman bahaya yang ada ke depan.
“Belum perlu kenaikan status,” ungkap Eko saat konferensi pers secara virtual, Rabu (9/2/2022).
Lebih lanjut, Eko menjelaskan, apakah ada keterkaitan aktivitas Gunung Anak Krakatau dengan gempa bumi yang terjadi beberapa waktu lalu di Banten, hal tersebut perlu dilakukan analisis data terlebih dahulu.
“Namun kami melihat berdasarkan data pemantauan, menunjukkan overpressure di Gunung Anak Krakatau sudah terjadi sebelum gempa Banten,” imbuh Eko.
Secara karakteristik, Gunung Anak Krakatau identik dengan Gunung Honga Tonga di Kepulauan Tonga yang menimbulkan kejadian tsunami pada bulan Januari lalu. Namun, Eko menjelaskan bahwa berdasarkan data pemantauan, kemungkinan hal tersebut terjadi di Gunung Anak Krakatau sangat kecil karena beberapa alasan.
“Pertama adalah karena volume intrusi magma di Gunung Anak Krakatau saat ini belum besar yang terindikasi dari seismik, deformasi dan kandungan gas SO2. Kedua, ketinggian puncak Gunung Anak Krakatau saat ini kurang dari 100 meter, sedangkan pada tahun 2018 lalu ketinggian puncaknya melebihi 300 meter dan akibat ketidakstabilan lereng, maka mengalami longsor atau runtuh,” paparnya.
Menurut Eko, dalam menghadapi erupsi Gunung Anak Krakatau, Badan Geologi telah melakukan beberapa langkah, yaitu dengan mengirimkan Tim Tanggap Darurat untuk mengevaluasi data secara komprehensif. Kemudian melakukan koordinasi dengan BMKG dan BPBD terkait penguatan pemantauan Gunung Anak Krakatau, analisis potensi longsoran dan penguatan early warning system tsunami.
“Kami menyarankan untuk menempatkan tide gauge dan buoy pada pulau terdekat Gunung Anak Krakatau, sehingga informasi potensi terjadinya tsunami dapat diketahui sebelum gelombang tsunami sampai ke pantai,” kata Eko.
Pada kesempatan yang sama, Kepala PVMBG, Badan Geologi Kementerian ESDM Andiani mengatakan, Badan Geologi berkomitmen untuk memberikan pelayanan terbaik dan prima kepada masyarakat. Pemantauan Gunung Anak Krakatau dilakukan selama 24 jam penuh.
“Tentunya segala perubahan secara fisik, maupun instrumen ataupun secara kimia akan kami sampaikan kepada masyarakat.” ujarnya.
Andiani mengatakan, untuk mendapatkan informasi terkini tentang bencana geologi, masyarakat dapat mengunduh aplikasi Magma Indonesia.
“Karena aplikasi ini sangat bermanfaat untuk mengetahui kondisi kebencanaan secara realtime termasuk bencana gunungapi di dalamnya” tutup Andiani.
Tidak Ada Gunungapi Dalam Status “Awas”
Lebih jauh Eko Budi Lelono menginformasikan, berdasarkan Pemantauan Pusat Vulkanologi Dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), saat ini tidak ada gunungapi di Indonesia dalam status “Awas” atau level IV.
Seluruh gunungapi yang dipantau secara realtime 24 jam tersebut berada dibawah status Awas, yakni dalam status Siaga (Level 3), Waspada (Level 2) dan “Normal” (Level 1).
“Saat ini tidak ada gunungapi aktif di Indonesia yang dipantau berada pada tingkat aktivitas AWAS atau Level IV,” jelas Eko.
Terdapat 4 gunungapi aktif yang berada pada tingkat aktivitas SIAGA, 18 Gunungapi berada pada WASPADA dan 47 gunungapi berada tingkat aktivitas Status Normal.
“Empat gunungapi aktif yang berada pada tingkat aktivitas SIAGA atau Level 3, yaitu Gunung Sinabung di Sumatera Utara, Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, Gunung Semeru di Jawa Timur, dan Gunung Ili Lewotolok di Nusa Tenggara Timur. Sedangkan 18 gunungapi yang berada pada Level 2 atau Waspada, yakni Gunung Dempo, Awu, Kerinci, Marapi, Anak Krakatau, Bromo, Rinjani, Sangeangapi, Ili Werung, Sirung, Soputan, Lokon, Karangetang, Gamalama, Gamkonora, Ibu, Dukono dan Banda Api,” lanjutnya.
Dari 69 gunungapi yang dipantau PVMBG tersebut, terdapat 11 gunungapi yang mengalami erupsi yaitu, Sinabung, Kerinci, Anak Krakatau, Merapi, Dieng, Semeru, Ili Lewotolok, Ile Werung, Sirung, Ibu dan Dukono.
Selain menimbulkan bahaya primer berupa jatuhan piroklastik ataupun aliran piroklastik, erupsi gunungapi juga berpotensi disertai oleh bahaya ikutan lainnya yang mungkin timbul, seperti terjadinya tsunami. Saat ini terdapat 9 gunungapi yang berpotensi membangkitkan tsunami jika terjadi erupsi, yaitu: Gunung Anak Krakatau (Selat Sunda), Gunung Tambora (NTB), Gunung Iliwerung, Hobal (NTT), Gunung Rokatenda (NTT), Utara Flores, Gunung Ruang (Sulut), Gunung Awu (Sulut), Gunung Gamkonora (Maluku utara), Gunung Teon (Maluku), dan Gunung Gamalama (Ternate, Maluku utara).
Sejarah mencatat korelasi erupsi gunungapi dengan terjadinya tsunami, di mana kejadian yang paling baru adalah erupsi Gunung Anak Krakatau pada tahun 2018, yang sebelumnya juga tercatat kejadian pada tahun 1883. Kejadian lainnya adalah erupsi Gunungapi Tambora tahun 1815, Ili werung-Hobal (tahun 1973, 1979, dqn 1983), Rokatenda (1928), Gamkonora (1673), dan Gunungapi Ruang pada tahun 1871. (ATN)
Discussion about this post