ASIATODAY.ID, DENPASAR – Kepala Badan Geologi Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rudy Suhendar mengingatkan bahaya jangka panjang akibat eksploitasi air tanah secara berlebihan. Agar cekungan tanah (CAT) rusak eksploitasi air tanah harus dikelola dengan baik.
“Eksploitasi air tanah yang berlebihan mengakibatkan kerusakan lingkungan dan turunnya permukaan tanah,” kata Rudy dalam diskusi “Penyelamatan Air Tanah dalam Mendukung Pengembangan Pariwisata yang Berkelanjutan,” di Bali, Rabu (7/8/2019).
Pengelolaan air tanah, kata Rudiy, harus memperhatikan antara pemasukkan dengan pengambilan. Beberapa tahun ini pengambilan air tanah di beberapa tempat sangat banyak.
“Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sumber air untuk kebutuhan pokok itu hampir 70 persen berasal dari air tanah, sehingga keberadaannya perlu diperhatikan,” ujarnya.
Ditambahkan Rudy, proses pengendalian pengambilan dan pemberian perijinan perlu dibatasi. Arah kebijakan Pemerintah adalah bagaimana mengendalikan pengambilan air tanah dengan berbagai kebijakan-kebijakan yang dibuat.
“Jangan sampai terjadi seperti sekarang ini, banyak terjadi kekeringan di berbagai wilayah karena kekurangan asupan keseimbangan airnya,” kata Rudy.
Pengelolaan air tanah oleh Pemerintah, kata Rudy, dilakukan berdasarkan konsep one basin one management, yaitu pengelolaan air tanah di setiap cekungan air tanah dengan mengutamakan batas CAT. Bukan mengutamakan batas administrasi daerah. Sehingga dalam pengelolaannya, lanjut Rudy, para pemangku kepentingan diharapkan dapat bekerja sama dengan baik agar air tanah tetap terjaga kelestariannya.
Khusus Pulau Bali, Badan Geologi Kementerian ESDM telah melakukan pemetaan konservasi air tanah di CAT Denpasar-Tabanan (2011) dan ditemukan adanya zona rawan.
Zona rawan merupakan zona yang menunjukkan terjadinya penurunan muka air tanah 40-60 persen atau terjadinya intrusi air laut akibat pengambilan air tanah, yang ditandai dengan kenaikan nilai daya hantar listrik sampai dengan 1.000-10.000 mg/liter.
Untuk CAT Denpasar-Tabanan, kata Rudy, zona rawan diindikasikan oleh penurunan muka air tanah (belum ada indikasi intrusi air laut), yaitu di daerah Sumerta Kaja (Denpasar), dan Sading (Badung).
Pada tahun 2014, survei oleh Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali menunjukkan meluasnya zona rawan air tanah, berupa penurunan muka air tanah meliputi Semarapura, Sumerta Kaja (Denpasar), Sading (Badung), Sudimara dan Tabanan. Serta terjadinya intrusi air laut di Nusa Dua dan daerah pantai barat (sepanjang Pantai Kuta).
Meluasnya zona rawan air tanah di daerah tersebut disebabkan oleh semakin meningkatnya pengambilan air tanah dalam jumlah yang tidak seimbang bila dibandingkan dengan jumlah pengimbuhan air tanah.
Di sisi lain, suplai air bersih dari PDAM belum dapat mencukupi kebutuhan air bersih baik bagi penduduk, maupun bagi sektor pariwisata. Sehingga bagi sektor pariwisata, terjadi ketergantungan pemenuhan air bersih dari air tanah.
“Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi terhadap pengelolaan air tanah yang telah dilaksanakan,” kata Rudy.
,’;\;\’\’
Discussion about this post