ASIATODAY.ID, JAKARTA – Konflik di Laut China Selatan yang melibatkan dua kekuatan besar Amerika Serikat dan China kian menajam.
Walau pertempuran belum meletus, namun Filipina sudah ‘buang handuk’ atau menyerah lebih awal.
Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, mengatakan negaranya tak sanggup jika harus berperang dengan China.
Dalam pidato tahunan negara, Duterte mengatakan ia tak punya pilihan selain menganggap sengketa di Laut China Selatan sebagai isu diplomatik karena di luar itu negaranya harus berperang dengan China.
Duterte membela keputusan pemerintahannya untuk tidak meneken keputusan pengadilan arbitrase 2016 yang mendukung tuntutan FIlipina terhadap China.
Putusan arbitrase itu mementahkan seluruh klaim historis China di Laut China Selatan, termasuk wilayah yang diperebutkan Beijing dan Manila.
Menurut Duterte saat ini negaranya tidak memiliki kemampuan untuk menentang China secara militer.
“Kita tidak bisa berperang,” kata Duterte melansir The Star pada Selasa (28/7/2020).
Agak aneh, sebab Duterte mengungkapkan hal itu di saat ketegangan di Laut China Selatan terus memanas belakangan, terutama antara China dan Amerika Serikat yang saling mengerahkan armada militernya untuk memperkuat pengaruh di perairan itu.
Belakangan, China terus memperkuat klaim historis atas hampir 90 persen wilayah Laut China Selatan dengan mengerahkan kapal-kapal ikan dan patrolinya ke perairan kaya sumber daya alam itu.
Agresivitas China di Laut China Selatan baru-baru ini bahkan sempat memicu friksi antara Vietnam, Malaysia, hingga Indonesia pada awal tahun ini ketika kapal ikan dan kapal patroli China menerobos ZEE Indonesia di dekat Natuna.
Menurut Duterte, ada hal yang jauh lebih prioritas bagi pemerintahannya saat ini yaitu menangani penularan pandemi Covid-19 yang masih melonjak di Filipina, ketimbang harus berkonflik dengan negara lain.
Sementara itu, Indonesia tidak ingin lengah dan terus meningkatkan kesiagaan.
Koarmada I TNI AL menyiagakan empat kapal perang Indonesia (KRI) di Natuna, Kepulauan Riau, untuk mengantisipasi meluasnya konfl di Laut Cina Selatan (LCS). Kapal-kapal berjenis Fregat dan Korvet, kapal antikapal selam, tersebut akan melakukan patroli rutin di perairan Laut Natuna Utara.
“Kita menyiagakan empat KRI di Natuna, yang pertama adalah patroli rutin, karena Laut Natuna Utara itu wilayah kita,” jelas Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) Koarmada I TNI AL, Letkol Laut Fajar Tri Rohadi.
Jumlah tersebut bertambah jika dibandingkan dengan kegiatan rutin, yakni biasanya hanya dua hingga tiga kapal yang berpatroli.
Menurut Fajar, di dalam setiap kapal tersebut juga bersiagakan 100 orang personel TNI AL. Selain itu, ada juga pasukan TNI lainnya yang terintegrasi bersiaga di sekitar sana.
“Ada pasukan di satuan TNI terintegrasi. Satu KRI rata 100 personel. Total personel yang ikut berpatroli di kapal ada 400 orang,” jelasnya.
Dikatakan, TNI akan terus melindungi kedaulatan dan kepentingan NKRI di wilayah tersebut.
Peningkatan kesiagaan di wilayah Laut Natuna Utara itu sudah menjadi hal yang pasti dan sudah dilaksanakan sejak lama. TNI AL, dalam hal ini Koarmada I, akan terus menyiagakan unsur KRI di Natuna.
Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo juga sebelumnya juga menyinggung konflik di Laut China Selatan.
Pihaknya menekankan, komandan lanud di bagian barat Indonesia yang berada di bawah Koopsau I harus selalu dalam kondisi siaga. Dengan demikian, kapan pun dibutuhkan untuk melakukan operasi, mereka dalam keadaan siap.
AS Minta Sekutu di Asia Kendalikan China
Sementara itu, Menteri Pertahanan Amerika Serikat Mark Esper mengatakan bahwa pihaknya sangat mengandalkan sekutu-sekutunya di Asia untuk membantu mengendalikan China yang semakin agresif di perairan Indo-Pasifik, terutama Laut China Selatan.
Dia menuduh China telah mengganggu negara-negara di kawasan dan merampas hak-hak sekutunya terutama dengan klaim sepihak Beijing atas Laut China Selatan dan kekayaan sumber daya alam di perairan tersebut.
Esper menganggap China “bersikap kurang ajar terhadap komitmen internasional”.
“Jangan salah, Partai Komunis China (CCP) telah berperilaku seperti ini selama bertahun-tahun. Tapi hari ini, niat China sebenarnya sudah terlihat jelas semua orang,” ujarnya pada Selasa (28/7).
Pernyataan itu diutarakan Esper saat berpidato secara virtual di forum International Institute of Strategic Studies.
Dalam kesempatan itu, dia menyatakan AS siap menegakkan janji dan komitmennya untuk mempertahankan kawasan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka.
“Caranya yakni dengan persiapan, perkuat kemitraan, dan mempromosikan wilayah yang lebih terintegrasi,” kata Esper seperti dikutip CNN.
Pidato Esper itu berlangsung ketika dua kapal induk terkuat AS tengah melakukan serangkaian latihan bersama sekutu-sekutu Negeri Paman Sam di Samudera Hindia dan Pasifik.
Di Laut China Selatan tepatnya lepas perairan Filipina, kapal induk USS Ronald Reagan dan armada penyerangnya tengah melakukan latihan bersama dengan kapal perang Australia dan Jepang.
Sementara itu, kapal induk USS Nimitz bersama angkatan laut India tengah melakukan latihan pertahanan udara dan komunikasi di Samudera Hindia.
Latihan militer tersebut berlangsung ketika China terus mempertegas klaim atas 90 persen wilayah di Laut China Selatan dengan mengerahkan kapal-kapal ikan hingga kapal militer ke perairan itu.
Selain India, Jepang, dan Australia, Esper mengatakan AS juga memiliki kemitraan strategis dan kerja sama militer terkait keamanan maritim dengan Indonesia, Malaysia, Filipina, Brunei, dan Vietnam.
Negara-negara tersebut merupakan negara yang bersengketa dengan China di Laut China Selatan. (ATN)
Discussion about this post