ASIATODAY.ID, JAKARTA – Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Azwar Maas mengungkapkan, salah satu solusi berkelanjutan untuk mencegah bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia melalui program konservasi air.
“Konservasi itu bisa menjaga tersedianya air selama musim kemarau. Intinya, bagaimana antisipasi dengan konservasi air baik di permukaan maupun kubah,” jelasnya dalam telenconference di Jakarta, Jumat (8/5/2020).
Menurut Azwar, volume air terutama di lahan gambut, cepat berkurang. Ini disebabkan pori-pori lahan gambut besar ditambah proses evaporasi saat matahari terik.
“Selain itu, terdapat biomassa di permukaan dan bawah permukaan. Bahan biologis itu mudah dibakar. Sehingga tidak ada peringatan atau pengawasan status karhutla,” jelasnya.
Azwar memandang, sistem pemantau air lahan gambut (sipalaga) yang dibentuk Badan Restorasi Gambur (BRG) cukup baik. Namun, sipalaga tidak bisa menunjukkan data penyebab karhutla.
Karena itu, Azwar mendorong pemerintah membuat program konservasi air. Hal itu diyakini bisa menjaga ekosistem di sekitar hutan dan lahan gambut.
“Hal ini penting dengan mempertimbangkan faktor geofisik ditambah memasukkan neraca air ideal untuk tiap kesatuan hidrologi gambut (KHG),” tutur dia.
Dikatakan, program konservasi air bisa melalui konsensi atau inisiatif pemerintah daerah. Bahkan, BRG juga perlu dilibatkan untuk fokus menjaga keseimbangan air.
Sumatera dan Kalimantan Rawan Karhutla
Sementara itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi dua wilayah berpotensi terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Ini lantaran Indonesia mulai memasuki musim kemarau.
“Daerah rawan karhutla ada di Sumatera dan Kalimantan,” kata Kepala Pusat Meteorologi Publik BMKG Fachri Radjab dalam teleconference di Jakarta, Jumat (8/5/2020).
Menurut Fachri, curah hujan di kedua wilayah tersebut relatif menengah hingga rendah. Hal itu menyebabkan kekeringan dan berpotensi terjadi karhutla.
Dikatakan, potensi karhutla di Sumatera perlu diwaspadai sejak Mei hingga Agustus 2020. Sedangkan, potensi karhutla di Kalimantan perlu diantisipasi mulai Agustus hingga Oktober 2020.
Fachri meminta potensi karhutla diperhatikan serius, apalagi puncak musim kemarau diprediksi terjadi pada Agustus mendatang.
“Sebanyak 64,9 persen wilayah Indonesia bakal mengalami puncak musim kemarau bulan Agustus,” tandasnya. (ATN)
Discussion about this post